Benarkah Syi'ah Kafir?


SYI'AH KAFIR?


Siapakah ulama yang mengkafirkan Syi’ah?


PENDAPAT IMAM MALIK:

روى الخلال عن أبي بكر المروذي قال: سمعت أبا عبد الله يقول: قال الإمام مالك: الذي يشتم أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم ليس لهم اسم - أو قال -: نصيب في الإسلام
[الخلال/ السنة: 2/557، قال محقق الرسالة: إسناده صحيح.].

Al-Khallal meriwayatkan dari Abu Bakr al-Marwazi, ia berkata, “Saya mendengar Abu Abdillah berkata, ia berkata, Imam Malik berkata:
“Orang yang mencaci maki shahabat nabi, mereka tidak punya bagian dalam Islam/KAFIR”.

PENDAPAT IMAM SYAFI’I:

وأخرج الهروي عن يوسف بن يحيي البويطي قال ( سألت الشافعي أأصلي خلف الرافضي ؟ قال : لا تصل خلف الرافضي ولا القدري ولا المرجئ . قلت : صفهم لنا , قال : من قال : الإيمان قول فهو مرجئ , ومن قال : إن أبابكر وعمر ليسا بإمامين فهو رافضي , ومن جعل المشيئة إلى نفسه فهو قدري

Al-Harawi meriwayatkan dari Yusuf bin Yahya al-Buwaithi, ia berkata, “Saya bertanya kepada Imam Syafi’i, ‘Apakah saya shalat di belakang syi’ah Rafidhah?”.
Imam Syafi’i menjawab, “Janganlah engkau shalat di belakang syi’ah rafidhah, qadariyah dan murji’ah”.
Al-Buwaithi: “Sebutkanlah ciri-ciri mereka”.
Imam Syafi’i: “Siapa yang mengatakan bahwa iman itu cukup ucapan saja, berarti dia murji’ah. Siapa yang mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar bukan khalifah, maka ia syi’ah rafidhah. Siapa yang menyatakan bahwa kehendak itu hanya dirinya sendiri, berarti ia qadari”.
(sumber: Siyar A’lam an-Nubala’, Imam adz-Dzahabi, juz.X, hal.31).

PENDAPAT IMAM HANBALI:

"هم الذين يتبرؤون من أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم ويسبونهم، ويتنقصون ويكفرون الأئمة إلا أربعة: علي، وعمار، والمقداد، وسلمان، وليست الرافضة من الإسلام في شيء" [السنة للإمام أحمد: ص82، تصحيح الشيخ إسماعيل الأنصاري.].

Mereka yang mengkafirkan dan mencaci maki shahabat nabi, mencela dan mengkafirkan para imam, kecuali empat: Ali, Ammar, al-Miqdad dan Salman. Syi’ah Rafhidhah bukan Islam”. (sumber: as-Sunnah, hal.82).

PENDAPAT IMAM ABDURRAHMAN IBNU MAHDI:

قال عبد الرحمن بن مهدي: هما ملتان: الجهمية والرافضية [خلق أفعال العباد للبخاري: ص125

Al-Jahamiyyah dan Syi’ah Rafidhah adalah  dua agama (Bukan Islam).
(Sumber: Khalq Af’al al-’Ibad: hal.125).

PENDAPAT IMAM AL-BUKHARI:

قال - رحمه الله -: ما أبالي صليت خلف الجهمي والرافض، أم صليت خلف اليهود والنصارى، ولا يسلم عليهم ولا يعادون ولا يناكحون ولا يشهدون ولا تؤكل ذبائحهم [الإمام البخاري/ خلق أفعال العباد: ص125.].

Imam al-Bukhari berkata:
“Saya tidak peduli apakah saya shalat di belakang penganut mazhab Jahamiyah atau Syi’ah Rafidhah, di belakang Yahudi dan Nasrani (Mereka KAFIR). Tidak boleh mengucapkan salam kepada mereka, tidak boleh dijenguk, tidak boleh dinikahi, tidak boleh bersaksi, tidak dimakan sembelihan mereka”.
(Sumber: Khalq Af’al al-’Ibad, hal.125).


PENDAPAT IMAM AL-GHAZALI:

فلو صرح مصرح بكفر أبي بكر وعمر - رضي الله عنهما - فقد خالف الإجماع وخرقه، ورد ما جاء في حقهم من الوعد بالجنة والثناء عليهم والحكم بصحة دينهم وثبات يقينهم وتقدمهم على سائر الخلق في أخبار كثيرة.. ثم قال: "فقائل ذلك إن بلغته الأخبار واعتقد مع ذلك كفرهم فهو كافر.. بتكذيبه رسول الله صلى الله عليه وسلم، فمن كذبه بكلمة من أقاويله فهو كافر بالإجماع

“Jika seseorang secara jelas mengkafirkan Abu Bakar dan Umar, maka ia telah bertentangan dengan Ijma’ dan merusaknya. Menolak hak shahabat yaitu janji mendapat surga, pujian, kebenaran agama, kokoh keyakinan, didahulukan dari selua makhluk. Orang yang mengingkari semua itu, jika hadits telah sampai kepadanya, namun ia tetap kafir, MAKA IA KAFIR, karena ia telah mendustakan Rasulullah Saw. Siapa yang mendustakan Rasulullah Saw dengan satu kalimat, maka ia KAFIR menurut Ijma’”
(Sumber: Fadha’ih al-Bathiniyyah, 149).

PENDAPAT IMAM ABDUL QAHIR AL-BAGHDADI:

"وأما أهل الأهواء الجارودية الهاشمية والجهمية، والإمامية الذين أكفروا خيار الصحابة.. فإنا نكفرهم، ولا تجوز الصلاة عليهم عندنا ولا الصلاة خلفهم" [الفرق بين الفرق: ص357.].
“Adapun ahli hawa seperti kelompok al-Jarudiyah, al-Hasyimiyah, al-Jahamiyah dan Syi’ah Imamiyah yang telah mengkafirkan para shahabat, maka kami MENGKAFIRKAN mereka. Mereka tidak boleh dishalatkan dan tidak boleh shalat di belakang mereka”.
(Sumber: al-Farq Bain al-Firaq: hal.357).

PENDAPAT IMAM IBNU HAZM:

وأما قولهم (يعني النصارى) في دعوى الروافض تبديل القرآن فإن الروافض ليسوا من المسلمين [يعني فلا حاجة في كلامهم على المسلمين، ولا على كتابهم.]، إنما هي فرقة حدث أولها بعد موت رسول الله صلى الله عليه وسلم بخمس وعشرين سنة. وهي طائفة تجري مجرى اليهود والنصارى في الكذب والكفر [الفصل: 2/213.].
“adapun pendapat mereka (Nasrani) sama seperti pendapat Syi’ah Rafidhah tentang pertukaran al-Qur’an. Sesungguhnya Syi’ah Rafidhah itu bukan kaum muslimin. Mereka adalah kelompok yang muncul setelah 25 tahun kematian Rasulullah Saw. Kelompok ini sama seperti Yahudi dan Nasrani dalam hal dusta dan KEKAFIRAN”.
(Sumber: al-Fishal, juz.II, hal.213).

PENDAPAT IMAM FAKHRUDIN AR-RAZI:

•         الأشاعرة يكفرون الروافض من ثلاثة وجوه:
•         أولها: أنهم كفروا سادات المسلمين، وكل من كفر مسلماً فهو كافر لقوله عليه السلام: "من قال لأخيه: يا كافر فقد باء بها أحدهما" [سيأتي تخريجه.] فإذن يجب تكفيرهم.
•         وثانيها: أنهم كفروا قوماً نص الرسول عليه السلام بالثناء عليهم وتعظيم شأنهم، فيكون تكفيرهم تكذيباً للرسول عليه السلام.
•         وثالثها: إجماع الأمة على تكفير من كفر سادات الصحابة [الرازي/ نهاية العقول، الورقة 212 (مخطوط).].

Ulama mazhab Asy’ari mengkafirkan Syi’ah Rafidhah
Dari tiga aspek:
  • Pertama, mereka mengkafirkan kaum muslimin. Siapa yang mengkafirkan kaum muslimin, maka ia kafir. Berdasarkan hadits. Maka mereka WAJIB DIKAFIRKAN.
  • Kedua, mereka mengkafirkan orang-orang yang dipuji nabi, berarti mereka mendustakan nabi.
  • Ketiga, Ijma’ untuk MENGKAFIRKAN orang yang telah mengkafirkan para shahabat nabi”.
(Sumber: Nihayat al-’Uqul: kertas: 212).

Apakah Syi’ah di Indonesia itu syi’ah rafidhah? Hingga fatwa-fatwa di atas berlaku bagi mereka? Jawabannya "Iya", karena mereka mencaci maki shahabat.

Apa buktinya?
Fakta, mereka menyatakan:
•      Abu Bakar Munafiq
•      Umar arogan.
•      Utsman hedonis.
•      Abu Bakar dan Umar adalah Iblis.
Dalam buku “KECUALI ALI”.
Penerbit al-Huda, Jakarta.
Cetakan Pertama: Juli 2009.

Mereka menyatakan:
•      Aisyah biang fitnah.
•      Aisyah licik dan pembohong.
•      Abu Hurairah pemalsu hadits.
•      Abu Hurairah Yahudi pura-pura masuk Islam.
Buku “ANTOLOGI ISLAM”.
Penerbit al-Huda Jakarta.
Cetakan pertama Januari 2005.

Mereka menyatakan:
•      Laknat Syi’ah terhadap Abu Bakar
•      Abu Bakar dan Umar pelaku bid’ah.
Buku “THE SHI’A”.
Penerbit Lentera Jakarta.
Cetakan pertama Maret 2008

Mereka menyatakan:
•      Laknat Syi’ah terhadap Abu Bakar
•      Abu Bakar dan Umar pelaku bid’ah.
Buku “40 MASALAH SYI’AH”.
Penulis :Emilia Renita.
Editor: Jalaluddin Rakhmat
Penerbit IJABI (Ikatan Jamaah Ahli Bait Indonesia)
Hal.194: Abu Bakr la
(laknatullah ‘alaihi: Allah melaknatnya).

Mereka menyatakan:
•      Aisyah berdusta
•      Manipulasi nama tempat dalam hadits.
Buku  : "Al-Mustafa Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi Saw"
Penulis: Jalaluddin Rakhmat.
Penerbit: Muthahhari Press
Cetakan Pertama Juni 2002

إذا ظهرت البدعُ فى أمتى وشُتِمَ أصحابى فليُظْهِر العالمُ علمَه فإنْ لم يفعلْ فعليه لعنةُ اللهِ 
(الديلمى عن معاذ)

“Apabila telah muncul bid’ah-bid’ah di tengah ummatku, para shahabatku dicaci maki, maka hendaklah orang yang mengetahui menunjukkan pengetahuannya.
Jika ia tidak melakukan itu, maka laknat Allah baginya”.
(HR. ad-Dailami dari Mu’adz. Hadits dha’if. Bisa dipakai untuk at-Targhib wa at-Tarhib).

Belajar Bahasa Arab: Menanyakan Pendapat



أَسْئِلَةُ الرَّأْيِ

“MENANYAKAN PENDAPAT”


Untuk menanyakan pendapat kepada seseorang, maka bisa dipakai kata “MA RA’YUKA FI” atau “MA RA’YUKA IDZA”.

1. KATA “MA RA’YUKA FI ” (مَا رَأْيُكَ فِي):
a. Penjelasan (شَرْحٌ)
Kata “MA RA’YUKA FI” yang berarti “permohonan minta pendapat” atas perbuatan yang dilakukan yang bersiafat ke dalam. Dipakai dalam kalimat yang beraneka raga bentuknya, sesuai konteknya. Untuk lebih jelas, silahkan perhatikan kosakata, frase dan kalimat di bawah ini.

b. Contoh Kalimat (نَمُوْذَجُ الْجُمْلَةِ)
*
Anda telah melihat fasilitas fitness, apa pendapat Anda tentang hotel ini?


تَدَافَقْتَ قَاعَةً لِلْيَاقَةِ الْبَدَنِيَةِ، مَارَأْيُكَ فِيْهَا؟
*

Tadâfaqta qâ´ah li’l yâqah albadaniyah, mâ ra’yuka fîhâ?

2. MA RA’YUKA IDZA (مَارَأْيُكَ اِذَا):
a. Penjelasan (شَرْحٌ)
Kata “MA RA’YUKA IDZA” yang berarti “permohonan minta pendapat” atas penawaran yang bersiafat inisiatif. Dipakai dalam kalimat yang beraneka raga bentuknya, sesuai konteknya. Untuk lebih jelas, silahkan perhatikan kosakata, frase dan kalimat di bawah ini.

b. Contoh Kalimat (نَمُوْذَجُ الْجُمْلَةِ)
*
Apa pendapat Anda, jika kita menyimpan barang di front office?

مَارَأْيُكَ اِذَا نَضَعُ الْبَضَائِعَ فِي اِسْتِقْبَالِ الضَّيْفِ؟
*

Mâ ra’yuka idzâ nadha´u albadhâ’i´a fî istiqbâl dhaifi

sedangkan jawaban ketika diminta pendapat:

Jawaban Untuk Minta Pendapat (اَلْإِجَابَةُ لِلرَّأْيِ)
*
Saya setuju
أَنَا مُوَافِقٌ
*
*
Setuju sekali
مُوَافِقٌ كُلُّ الْمُوَافَقَةِ
*
*
Saya setuju dengan Anda
أَنَا مَعَكَ

Saya sependapat dengan Anda
أَنَا مَعَكَ فِي هَذَا الرَّأْيِ
*
*
Tidak keberatan
لَامَانِعَ
*
*
Saya tidak keberatan

لَيْسَ لَدَيَّ مَانِعٌ
*


Belajar Bahasa Arab: Permohonan Minta Maaf


طَلَبُ الْعَفْوِ

“PERMOHONAN MINTA MA’AF”

 Untuk menyampaikan permohonan maaf dalam bahasa Arab dapat menggunakan beberapa kata yang artinya adalah sama, yaitu memohon maaf. Kata yang bermakanakan “mohon maaf” itu, di antaranya ada 8 (delapan) kata, yaitu:

1. KATA “MA’DZIRAH” (مَعْذِرَةْ):
Penjelasan (شَرْحٌ)
Kata “MADZIRAH” yang berarti “permohonan maaf” atas ketidaksengajaan melakukan sesuatu. Dipakai dalam kalimat yang beraneka raga bentuknya, sesuai konteknya. Untuk lebih jelas, silahkan perhatikan contoh-contoh kalimat di bawah ini.

Contoh Kalimat (نَمُوْذَجُ الْجُمْلَةِ)
*
Maaf pak, kami tidak bisa memperbaiki AC sekarang.

مَعْذِرَةْ يَاسَيِّدِي، لَانَسْتَطِيْعُ إِصْلَاحَ الْمُكَيَّفِ اليَوْمَ؛


2. KATA “YA KHASARAH” (يَاخَسَارَةْ):
Penjelasan (شَرْحٌ)
Kata “YA KHASARAH” menunjukkan kepada makna penyesalan tidak bisa melakukan sesuatu, sehingga perlu menyampaikan permohonan maaf. Posisi penggunaanya bisa di depan, di tengah, ataupun di akhir kalimat. Contoh kalimat di bawah ini dapat menjelaskan penggunaan kata tersebut.

Contoh Kalimat (نَمُوْذَجُ الْجُمْلَةِ)
*
Dengan menyesal sekali, saya tidak bisa mengantar minuman ke ruangan refleksi.

يَاخَسَارَةْ، اَنَا لَااَسْتَطِيْعُ اَنْ اَحْمِلَ الْمَشْرُوْبَاتِ إِلَي غُرْفَةِ التَّدْلِيْكِ؛

“Yâ khasârah, anâ lâ astathî´u an ahmilal masyrûbâti
ilâ ghurfatit tadlîk.”

3. KATA “MUTA’ASIF” (مُتَأَسِفْ):
Penjelasan (شَرْحٌ)
Kata “MUTA’ASIF” dipakai umpamanya kita lupa akan janji, jika sesuatu ucapan atau perbuatan kita sangat melukai hati atau perasaan seseorang, pendek kata kita berbuat sesuatu yang bersifat sangat mengganggu atau sangat merugikan bagi orang lain. Contoh kalimat di bawah ini dapat menjelaskan penggunaan kata tersebut.

Contoh Kalimat (نموذج الجملة)

Maaf, kami telah mengganggu istirahat Anda.

مُتَأَسِفْ، نُزْعِجُكَ لِوَقْتِ رَاحَتِكَ؛

“Muta’asif, nuz´ijuka liwaqti râhatik.”

4. ASIF  (آسِفْ):
Penjelasan (شَرْحٌ)
Kata “ASIF” pemakaianya sama dengan kata “MUTA’ASIF”. Namun, nada permohonan maafnya lebih rendah daripada kata “MUTA’ASIF”. Contoh kalimat di bawah ini dapat menjelaskan penggunaan kata tersebut.

Contoh Kalimat (نموذج الجملة)

Kami menyesal atas kejadian tadi.

نَحْنُ آسِفْ، عَلَي مَاحَدَثَ فِي الْفُنْدُقِ؛
Nahnu âsif, ´alâ mâ hadats fi’l funduqi

5. ‘AFWAN (عَفْوًا):
Penjelasan (شَرْحٌ)
Kata “AFWAN”, maknanya sama dengan kata “MA’DZIRAH”, dan merupakan jawaban dari ucapan “TERIMAKASIH”. Untuk lebih jelas, silahkan perhatikan contoh-contoh kalimat di bawah ini.
                                 
c. Contoh Kalimat (نموذج الجملة)

Terimakasih, atas waktu menunggu Anda, taman depan kamar sedang dibersihkan. Maaf, terimakasih sama-sama.

شُكْرًا عَلَي وَقْتِ انْتِظَارِكَ، اَلْحَدِيْقَةُ أَمَامَ الْغُرْفَةِ فِي التَّنْظِيْفِ، عَفْوًا؛

Syukran ´alâ waqti intidzarika, alhadiqah amâma ghurfah fittandhîf, ´afwan.



Belajar Bahasa Arab: Ucapan Salam Dan Selamat


التَّحِيَّةُ وَالتَّهْنِئَةُ


“UCAPAN SALAM DAN SELAMAT”


Ucapan SALAM DAN SELAMAT dalam Al-Qur’an disampaikan dalam berbagai kontek. Dalam materi ini, kita akan mencoba menerapkan dalam percakapan, dengan tidak melihat penafsiranya secara mendalam, melainkan hanya bagaimana kita bercakap bahasa Arab dengan kosakatanya diambil dari Al-Qur’an. Wajar, nanti para peserta menemukan ada “seakan-akan” campuran dari kata (bahasa harian) dengan bahasa Al-Qur’an, itu hanya untuk menghidupkan percakapan, sehingga tidak kaku. Sehingga percakapan ini, akan menjadi murni percakapan sehari-hari yang kosakatanya mayoritas diambil dari Al-Qur’an. UCAPAN SALAM DAN SELAMAT ini meliputi beberapa tema. Nanti akan disampaikan dalam beberapa modul.
                                  

Ucapaan salam ketika bertamu dalam Al-Qur’an, di antaranya, ada enam ayat yang bisa dijadikan sebagai contoh dalam percakapan sehari-hari. Adapun cara penggunaannya, silahkan perhatikan kosakata, frase dan kalimat di bawah ini.

Tema:
Mengucapkan Salam Ketika Bertamu
إلقاء السلام عند الزيارة

Penjelasan:
Ucapkanlah berulang-ulang kosakata dan contoh kalimat dalam tema ini sampai hafal di luar kepala. Kemudian praktekan bersama teman dalam keseharian, serta tulis kembali kosakata dan contoh kalimatnya, agar semakin lancar menulis huruf Arab, dan memperkuat hafalan juga. Semoga bertambah penguasaan bahasa Arab yang baik dan tepat.

a. Materi I (Hari Pertama/Senin):
Kosakata:
سَلَامًا: “Selamat sejahtera”
دُخُوْلِ: “Masuk”
أَهْلِ: “Keluarga”
سَلَّمَ عَلَي: “Menyampaikan salam”
مُتَذَكِّرٌ: “Ingat”
طَيِّبْ: “Baik/tentu”

Contoh:

Ahmad, ucapkanlah salam sebelum masuk ke rumah, sebagaimana orang-orang beriman mengucapkanya. Baik, saya akan selalu ingat.  Wahai sahabatku.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya, yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (Annûr: 24:27)

Kosakata:
أَخُوْكُمُ الْكَبِيْرُ: “Kakak”
رَدَّ: “Menjawab”
أَلَيْسَ: “Bukankah…”
مِثْلَ ذَلِكَ: “Seperti itu/demikian”
$yJsù y]Î7s9 br&: “Maka tidak lama kemudian…”
عِجْلٌ حَنِيْذٌ: “Anak sapi yang dipanggang”


Contoh Kalimat:
يَاطَهَ، يُسَلِّمُكَ أَخُوْكُمُ الْكَبِيْرُ فِي سِيْمَارَانجْ، وَرَدَّ طَهَ: سَلِّمْ عَلَيْهِ،
أَلَيْسَ نَبِيُّنَا اِبْرَاهِيْمُ  يَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ؟ قَالَ أَسَيفْ، بَلَي يَاسَيِّدِي طَهَ؛

Thoha, kakakmu di Semarang, menyampaikan “salam” kepadamu. Thoha pun menjawab, salam juga untuknya. Bukankah, nabi Ibrahim juga telah melakukan demikian? Asep menjawab, tepat sekali, Thoha.
“Sesungguhnya utusan-utusan Kami  telah datang kepada lbrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: "Selamat." Ibrahim menjawab: "Selamatlah," Maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang.” (Hûd: 11:69)

Amalan Sunnah Yang Terlewat Ketika Sholat Mempunya Nilai Pahala

Sutrah adalah segala sesuatu yang terletak di depan orang yang sedang shalat (wajib ataupun sunnah), dapat berupa tongkat, ataupun tanah yang disusun, atau semacamnya untuk mencegah orang lewat di depannya (seperti tas, kotak, dan lain-lain)

 

Diantara sunnah yang mulai luntur di tengah kaum muslimin pada saat ini terkait ibadah shalat adalah menghadap SUTRAH ketika shalat. Mudah-mudahan penjelasan yang singkat berikut ini dapat memberikan pencerahan kepada kita mengenai sutrah dalam shalat.
Sutrah secara bahasa arab artinya segala apapun yang dapat menghalangi (lihat Qamus Al Muhith). Jadi sutrah adalah penghalang. Dalam terminologi ilmu fiqih, sutrah artinya segala sesuatu yang ada di depan orang yang sedang shalat, dapat berupa tongkat, atau tanah yang disusun, atau dinding, atau tiang atau semacamnya untuk mencegah orang lewat di depannya (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 3/176-177).
Menghadap sutrah ketika shalat adalah sesuatu hal yang disyariatkan. Banyak hadits yang mendasari hal ini diantaranya hadits Abu Sa’id Al Khudri bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إذا صلَّى أحدُكم فلْيُصلِّ إلى سُترةٍ ولْيدنُ منها

Jika seseorang mengerjakan shalat maka shalatlah dengan menghadap sutrah dan mendekatlah padanya” (HR. Abu Daud 698, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

juga hadits dari Sabrah bin Ma’bad Al Juhani radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
سُتْرَةُ الرَّجُلِ فِي الصَّلَاةِ السَّهْمُ ، وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ ، فَلْيَسْتَتِرْ بِسَهْمٍ

Sutrah seseorang ketika shalat adalah anak panah. Jika seseorang diantara kalian shalat, hendaknya menjadikan anak panah sebagai sutrah” (HR. Ahmad 15042, dalam Majma Az Zawaid Al Haitsami berkata: “semua perawi Ahmad dalam hadits ini adalah perawiShahihain”).
juga sabda beliau:
لَا تُصَلِّ إِلَّا إِلَى سُتْرَةٍ، وَلَا تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ؛ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ

Janganlah shalat kecuali menghadap sutrah, dan jangan biarkan seseorang lewat di depanmu, jika ia enggan dilarang maka perangilah ia, karena sesungguhnya bersamanya ada qarin (setan)” (HR. Ibnu Khuzaimah 800, 820, 841. Al Albani dalam Sifatu Shalatin Nabi (115) mengatakan bahwa sanadnya jayyid, ashl hadist ini terdapat dalam Shahih Muslim).

Hukum Menghadap Sutrah Ketika Shalat

Para Ulama berbeda pendapat mengenai hukum menghadap sutrah ketika shalat dalam 4 pendapat:
  1. Wajib. Ini merupakan pendapat Ibnu Hazm, Asy Syaukani dan pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
  2. Sunnah secara mutlak. Ini merupakan pendapat Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam Malik
  3. Sunnah jika dikhawatirkan ada yang lewat. Ini merupakan pendapat Malikiyyah dan Hanafiyyah.
  4. Sunnah bagi imam dan munfarid. Ini pendapat Hanabilah (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/178, Tamaamul Minnah, 300).
Jika melihat beberapa hadits yang telah lalu tentang sutrah, di sana tertulis lafadz perintah فلْيُصلِّ إلى سُترةٍ (shalatlah menghadap sutrah) dan juga lafadz فَلْيَسْتَتِرْ (bersutrahlah), yang pada asalnya menghasilkan hukum wajib kecuali terdapat qarinah (tanda-tanda) yang memalingkannya dari hukum wajib. Alasan inilah yang dipegang oleh para ulama yang mewajibkan sutrah. Namun tidak wajibnya sutrah adalah pendapat jumhur ulama, bahkan sebagian ulama menukil ijma’ akan hal ini. Ibnu Qudamah dalam Al Mughni mengatakan:
وَلَا نَعْلَمُ فِي اسْتِحْبَابِ ذَلِكَ خِلَافًا

“kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang hukum mustahab (sunnah) mengenai penggunaan sutrah dalam shalat” (Al Mughni, 2/174). Mengenai validitas ijma Ibnu Qudamah dan ulama lain yang mengklaim ijma sunnahnya sutrah perlu dikaji lebih jauh, namun bukan dalam tulisan ini. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dalam Syahrul Mumthi’ (3/277) menyebutkan beberapa qarinah yang menunjukkan tidak wajibnya shalat menghadap sutrah:
  1. Hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
    اذا صلَّى أحدُكُم إلى شيءٍ يستُرُهُ من الناسِ،فأرادَ أحَدٌ أنْ يَجتازَ بين يديْهِ، فليدفَعْهُ، فإنْ أبى فَليُقاتِلهُ، فإنما هو شيطانٌ
    Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah. jika ia enggan dicegah maka perangilah ia, karena sesungguhnya ia adalah setan” (HR. Al Bukhari 509)
    perkataan Nabi ‘jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah‘ menunjukkan orang yang shalat ketika itu terkadang shalat menghadap sesuatu dan terkadang tidak menghadap pada apa pun. Karena konteks kalimat seperti ini tidak menunjukkan bahwa semua orang di masa itu selalu shalat menghadap sutrah. Bahkan menunjukkan bahwa sebagian orang menghadap ke sutrah dan sebagian lagi tidak menghadap ke sutrah.
  2. Hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma:
    رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم يُصَلِّي بمِنًى إلى غيرِ جِدارٍ
    Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat di Mina tanpa menghadap ke tembok” (HR. Al Bukhari 76, 493, 861)
  3. Hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma:
    أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ صلَّى في فضاءٍ ليسَ بينَ يدَيهِ شيءٌ
    Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat di lapangan terbuka sedangkan di hadapan beliau tidak terdapat apa-apa” (HR. Ahmad 3/297, Al Baihaqi dalam Al Kubra 2/273)
  4. Hukum asal tata cara ibadah adalah bara’atu adz dzimmah (tidak adanya kewajiban).
Mengenai hadits Ibnu ‘Abbas :
أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ صلَّى في فضاءٍ ليسَ بينَ يدَيهِ شيءٌ

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat di lapangan terbuka sedangkan di hadapan beliau tidak terdapat apa-apa
ini diperselisihkan keshahihannya, karena di dalamnya terdapat perawi Al Hajjaj bin Arthah yang statusnya “shaduq katsiirul khata’ wat tadlis” (shaduq, banyak salah dan banyak melakukan tadlis), dan di dalam sanadnya Al Hajjaj pun melakukan ‘an’anah. Namun hadits ini memiliki jalan lain dalam Musnad Ahmad (5/11, 104) dari Hammad bin Khalid ia berkata, Ibnu Abi Dzi’bin menuturkan kepadaku, dari Syu’bah dari Ibnu ‘Abbas ia berkata:
مَرَرْتُ أَنَا وَالْفَضْلُ عَلَى أَتَانٍ ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ فِي فَضَاءٍ مِنَ الْأَرْضِ ، فَنَزَلْنَا وَدَخَلْنَا مَعَهُ ، فَمَا قَالَ لَنَا فِي ذَلِكَ شَيْئًا

“Aku pernah di menunggangi keledai bersama Al Fadhl (bin Abbas) dan melewati RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam yang sedang shalat mengimami orang-orang di lapangan terbuka. Lalu kami turun dan masuk ke dalam shaf, dan beliau tidak berkata apa-apa kepada kami tentang itu”
Semua perawi hadits ini tsiqah kecuali Syu’bah, Ibnu Hajar berkata: “ia shaduq, buruk hafalannya”. Juga hadits ini juga memiliki jalan lain yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalamSunan-nya (718), dari Abdul Malik bin Syu’aib bin Al Laits, ia berkata: ayahku menuturkan kepadaku, dari kakeknya, dari Yahya bin Ayyub, dari Muhammad bin Umar bin Ali, dari Abbas bin Ubaidillah, dari Al Fadhl bin Abbas beliau berkata
أَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ فِي بَادِيَةٍ لَنَا وَمَعَهُ عَبَّاسٌ، «فَصَلَّى فِي صَحْرَاءَ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ سُتْرَةٌ وَحِمَارَةٌ لَنَا، وَكَلْبَةٌ تَعْبَثَانِ بَيْنَ يَدَيْهِ فَمَا بَالَى ذَلِكَ

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah pernah datang kepada kami sedangkan kami sedang berada di gurun. Bersama beliau ada ‘Abbas. Lalu beliau shalat di padang pasir tanpa menghadap sutrah. Di hadapan beliau ada keledai betina dan anjing betina sedang bermain-main, namun beliau tidak menghiraukannya”
Yahya bin Ayyub dikatakan oleh Ibnu Ma’in: “tsiqah”, sedangkan Abu Hatim Ar Razi menyatakan: ‘Ia menyandang sifat jujur, ditulis haditsnya namun tidak dapat berhujjah denganya’. Ibnu Hajar mengatakan: ‘ia shaduq, terkadang salah’. Insya Allah, statusnyashaduq. Adapun perawi yang lain tsiqah. Namun riwayat ini memiliki illah (cacat), yaitu adanya inqitha pada Abbas bin Ubaidillah dari Al Fadhl. Ibnu Hazm dan Asy Syaukani menyatakan bahwa Abbas tidak pernah bertemu dengan pamannya yaitu Al Fadhl (Tamamul Minnah, 1/305). Sehingga riwayat ini tidak bisa menjadi penguat.
Wallahu’alam, dua jalan di atas sudah cukup mengangkat derajat hadits Ibnu ‘Abbas tersebut ke derajat hasan li ghairihi. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz dalam Hasyiyah-nya terhadap Bulughul Maram (185) juga oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam ta’liq-nya terhadap Musnad Ahmad (3/431). juga Bahkan Syaikh Ahmad Syakir dalam ta’liq-nya terhadap Musnad Ahmad (365) mengatakan hadits ini shahih. Sehingga ini menjadi dalil yang kuat untuk mengalihkan isyarat wajibnya sutrah kepada hukum sunnah.
Kesimpulan hukum
Selain hadits Ibnu ‘Abbas ini, diperkuat juga dengan argumen dari hadits Abu Sa’id Al Khudri sebagaimana penjelasan yang disampaikan Syaikh Al Utsaimin maka wallahu’alam yang rajih hukum menghadap sutrah ketika shalat adalah sunnah, tidak sampai wajib. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh jumhur ulama, termasuk para ulama kibar abad ini semisal Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syaikh Abdul Aziz Bin Baz rahimahumallah demikian juga Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahumullah.
Namun sunnahnya menghadap sutrah ketika shalat itu berlaku bagi imam dan munfarid(orang yang shalat sendiri) karena para sahabat Nabi mereka shalat bermakmum kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam namun tidak ada seorang pun dari mereka yang membuat sutrah (Syarhul Mumthi’, 3/278). Para fuqaha bersepakat bahwa sutrah imam itu sudah mencukupi untuk makmum, baik posisi makmum berada disisi maupun di belakang imam. Dan mereka juga bersepakat bahwa makmum tidak disunnahkan membuat sutrah (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/184).

Keutamaan Bershalawat Kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam

Bismillah. Bersholawat kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam merupakan suatu ibadah agung yang disyari’atkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman di dalam Al-Quran dan As-Sunnah.

Barangsiapa banyak membaca sholawat kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam dengan ikhlas karena Allah dan sesuai tuntunan Nabi, maka ia akan meraih pahala yang besar, faedah dan keutamaan yang banyak di dunia dan akhirat.

» Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menyebutkan keutamaan dan manfaat bagi seorang muslim dan muslimah yang banyak bersholawat kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam di dalam kitabnya Jalaa-ul Afhaam. Di antaranya:

1 ـ امتثال أمر الله سبحانه وتعالى
1. Melaksanakan Perintah Allah subhanahu wata’ala.

2 – موافقته سبحانه في الصلاة عليه صلى الله عليه وسلم
2. Mengikuti apa yang dilakukan Allah, yaitu bersholawat kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

3 – موافقة ملائكة الله تعالى في الصلاة عليه صلى الله عليه وسلم
3. Mengikuti apa yang dilakukan para Malaikat, yaitu bersholawat kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

4 – حصول عشر صلوات من الله على المصلي عليه صلى الله عليه وسلم مرة
4. Mendapatkan 10 sholawat dari Allah kepada orang yang bersholawat  1 kali kepada Nabi shallallahu alaihi wassalam.

5 – أنه يرفع عشر درجات
5. Ditinggikan 10 Derajat dari setiap sholawat yang kita baca.

6 – أنه يكتب له عشر حسنات في كل مرة
6.  Dituliskan 10 kebaikan bagi orang yang bersholawat 1 kali kepada Nabi.

7 – انه يمحى عنه عشر سيئات
7. Dihapuskan 10 Keburukan dari orang yang bersholawat.

8 – أنه يرجى إجابة دعائه
8. Diharapkan menjadi sebab dikabulkannya do’a.

9 – أنها سبب لشفاعته صلى الله عليه وسلم
9. Sebab mendapatkan Syafa’at Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

10 – أن الصلاة صلى الله عليه وسلم سبب لغفران الذنوب
10. Sebab diampuninya dosa-dosa.

11– أنها سبب لكفاية الله العبد ما أهمه وما أغمه
11. Sebab yang menjadikan Allah mencukupi apa yang dibutuhkan oleh hamba.

12 – أنها سبب لقرب العبد منه صلى الله عليه وسلم يوم القيامة
12. Mendekatkan posisi seorang hamba dengan Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada hari kiamat.

13 – أنها تقوم مقام الصدقة لذي العسرة
13. Sholawat kedudukannya sama dengan bershodaqoh kepada orang yang kesulitan.

14 – أنها سبب لقضاء الحوائج
14. Sebab dipenuhinya hajat-hajat seorang hamba.

15 – أنها سبب لصلاة الله على المصلي وصلاة ملائكته عليه
15. Menjadi sebab Allah dan para Malaikat mencurahkan sholawat kepada orang yang membacanya.

16 – أنها زكاة المصلي وطهارة له
16. Menjadi sebab dibersihkan dan disucikannya orang yang bersholawat.

17– أنها سبب لتبشير العبد بالجنة قبل موته
17. Menjadi sebab seorang hamba diberi kabar gembira dengan surga menjelang wafatnya.

18 – أن الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم سبب للنجاة من أهوال يوم القيامة
18. Sebab keselamatan dari huru-hara hari kiamat yang begitu dahsyat.

19 – أنها سبب لرد النبي صلى الله عليه وسلم الصلاة والسلام على المصلي والمسلم عليه
19. Menjadi sebab dijawabnya salam kita ketika kita bersholawat dan salam kepada Nabi

20 – أنها سبب لتذكر العبد ما نسيه.
20. Menjadi sebab seorang hamba teringat akan apa yang ia lupa.

21 – أنها سبب لطيب المجلس وأن لا يعود حسرة على أهله يوم القيامة
21. Menjadi sebab baiknya majelis, dan agar majelis tidak menjadi penyesalan bagi pelakunya di hari kiamat.

22 – أن الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم سبب لنفي الفقر
22. Sholawat kepada Nabi merupakan sebab dihilangkannya kefakiran.

23 – أنها تنفي عن العبد اسم البخل
23. Sebab dihilangkannya kekikiran (sifat bakhil) dari seorang hamba.

24- أنها تنجي من نتن المجلس الذي لا يذكر فيه الله ورسوله ويحمد وثنى عليه فيه ويصلى على رسوله صلى الله عليه وسلم
24. Sholawat menyelamatkan pelakunya dari majelis yang busuk, yang tidak disebut di dalamnya nama Allah dan pujian kepada-Nya, serta nama Rasulullah dan sholawat kepada beliau.

25 – أنها سبب لتمام الكلام
25. Sebab sempurnanya khutbah/ pembicaraan.

26 – أنها سبب لوفور نور العبد على الصراط
26. Menjadi sebab banyaknya cahaya pada hari Kiamat bagi seorang hamba ketika melintas di atas Ash-Shirath (jembatan yang terbentang di atas neraka Jahanam, pent).

27 – أنها يخرج بها العبد عن الجفاء
27. Sholawat dapat mengeluarkan seorang hamba dari sikap kasar dan kaku.

28 – أنها سبب لإبقاء الله سبحانه الثناء الحسن للمصلي عليه صلى الله عليه وسلم بين أهل السماء والأرض
28. Menjadi sebab terus menerusnya pujian yang baik dari Allah di hadapan penduduk langit dan bumi bagi orang yang bersholawat kepada nabi.

29- – أنها سبب للبركه في ذلت المصلى وعمله وعمره وأسباب مصالحة لأن المصلي داعٍ ربه أن يبارك عليه وعلى آله وهذا الدعاء مستجاب والجزاء من جنسه
29. Menjadi sebab diberkahinya umur dan amalan orang yang bersholawat. Dan menjadi sebab untuk meraih berbagai kebaikan (di dunia dan akhirat, pent).

30- أنها سبب لنيل رحمة الله له
30. Menjadi sebab untuk mendapatkan rahmat Allah.

31- أنها سبب لدوام محبته للرسول صلى الله عليه وسلم
31. Menjadi sebab terus menerusnya cinta kita kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

32- سبب دوام محبة الرسول صلى الله عليه وسلم للمصلي.
32. Menjadi sebab terus menerusnya cinta Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada orang yang bersholawat.

33- سبب هداية العبد وحياة قلبه.
33. Menjadi sebab seorang hamba mendapatkan hidayah dan hatinya menjadi hidup.

34- سبب عرض اسم المصلى على النبي صلى الله عليه وسلم
34. Menjadi sebab diperlihatkannya nama orang yang bersholawat kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam (karena ada malaikat yang ditugaskan menyampaikan sholawat dan salam umat Islam kepada Nabi, pent).

35- سبب تثبيت القدم على الصراط.
35. Menjadi sebab kokohnya kaki kita ketika berada di atas Ash-Shiroth (dan tidak tergelincir darinya).

36- سبب أداء بعض حق المصطفى صلى الله عليه وسلم
36. Menjadi sebab untuk menunaikan sebagian hak Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-.

37- أنها متضمنة لذكر الله وشكره تعالى.
37. Sholawat termasuk dzikir dan syukur kepada Allah ta’ala.

38- أنها دعاء لأنها سؤال الله عز وجل أن يثني على خليله صلى الله عليه وسلم
38. Sholawat merupakan do’a. Karena ketika kita bersholawat berarti kita berdo’a meminta kepada Allah agar Allah memuji-muji kekasih-Nya -shallallahu ‘alaihi wasallam-.

(Lihat kitab Jalaa-ul Afhaam Fii Fadhli Asokawati ‘Alaa Khoiril Masam, karya Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah).

Demikian faedah, manfaat dan keutamaan bersholawat kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam di dunia dan akhirat. Semoga Allah memberikan taufiq n pertolongan kepada kita semua agar bisa istiqomah dalam beribadah kepada-Nya, memperbanyak sholawat kepada Rosul-Nya, dan meneladani beliau hingga akhir hayat. Amiin.

Cerita Inspiratif: Kisah Penjual Rujak dan Pemilik Toko Dengan Rezeki


Kemarin sekitar jam 9 pagi hujan mulai turun, seorang tukang rujak datang untuk berteduh di emperan teras ruko saya. Masih tampak penuh gerobaknya berisi buah-buah untuk rujak tertata rapi. Aku melihat beliau membuka buku kecil, ternyata Al Quran kecil. Beliau tekun dengan Al-Qurannya, sampai jam 10 hujan sama sekali belum berhenti. Saya mulai risau karena sepinya pembeli datang.
Saya keluar memberikan air minum ke bapak penjual rujak. Seraya memberikan air minum dan bertanya kepada bapak penjual rujak:

Pemilik toko (PT): “Kalau musim hujan begini jualannya jadi repot juga ya, Pak. Mana masih banyak banget barang dagangan.”

Penjual rujak (PR): Beliau tersenyum lalu berkata; “Iya bu...Mudah - mudahan rejekinya datang...”

PT: Aamiin...Kalau gak abis gimana dong, Pak?. tanyaku.

PR: Kalau nanti gak abis ya risiko, Bu..,kalau buah kayak semangka, melon yang udah kebuka nanti saya kasih ke tetangga, mereka juga seneng daripada kebuang. Cuma bengkoang, jambu, mangga yang masih bagus masih bisa disimpan. Mudah-mudahan aja dapet nilai sedekah dari Allah,” katanya tersenyum.

PT: “Kalau nanti hujan terus sampai sore gimana, Pak?” tanyaku lagi.

PR: “Alhamdulillah bu…Berarti hari ini rejeki saya diizinkan banyak berdoa. Kan kalau hujan waktu termasuk salah satu waktu mustajab buat berdoa bu…” Katanya sambil tersenyum.

“Dikasih kesempatan berdoa juga rejeki, Bu" sambungnya lagi

PT: “kalau gak dapet uang hari ini gimana, Pak?" tanyaku lagi.

PR: “Berarti hari ini rejeki saya bersabar, Bu... Allah yang ngatur rejeki kita, Bu…Saya cuma bisa bergantung sama Allah.. Apa aja bentuk rejeki yang Allah kasih, ya saya syukuri aja. Tapi Alhamdulillah, saya jualan rujak belum pernah kelaparan sampai hari ini.

PR: “Saya pernah gak dapat uang sama sekali, tahu tahu tetangga di rumah ngasih makanan. Kita hidup ini cari apa Bu, yang penting bisa makan biar ada tenaga buat ibadah dan usaha,” katanya lagi sambil memasukan Alqurannya ke kotak kecil di gerobak.

PR: “Mumpung hujannya rintik, Bu…Jadi saya bisa jalan...Saya pamit, makasih ya ,Bu…!”

Saya terpana melihat si bapak penjual rujak. Betapa malunya saya, dipenuhi rasa gelisah ketika hujan datang, begitu khawatirnya rejeki materi tak didapat sampai mengabaikan nikmat - nikmat yang ada di depan mata. Bukankah hujan itu rezeki? Hujanlah yang memberhentikan si bapak penjual rujak yang memberikan pelajaran berharga.

Saya jadi sadar bahwa rizki berupa hidayah, dapat beribadah, dapat bersyukur dan bersabar adalah jauh lebih berharga daripada uang, harta dan jabatan.

Betapa banyak orang yang bergelimang harta tapi lupa untuk berdoa, berharap, beribadah kepada Allah. Ada juga orang yang susah tapi enggan berdoa, mengadu, berkeluh kesah kepada pemilik rezeki dan hidayah.

Menghadapi krisis saat ini, ada banyak hikmah yang kita ambil. Semuanya adalah rezeki, rezeki tidak hanya berbentuk materi seperti uang, rumah, makanan, dan lain - lain. Tapi banyak sekali bentuk rezeki termasuk bisa berdoa kepada Allah, bisa datang ke mesjid ketika azan berkumandang, bisa bangun untuk sholat tahajjud, bisa puasa senin kamis dan ayyamul bid, bisa sedekah dikala susah.


Masihkah Engkau Korbankan Taat Kepada Rabb-mu, Demi Rizqi Yang Di Atur Oleh Rabb-mu?

Mungkin kamu tidak tahu dimana rizqimu. Tapi rizqimu tahu dimana engkau. Dari langit, laut, gunung, & lembah; Rabb yang memerintahkannya menujumu.

Allah berjanji menjamin rizqimu. Maka melalaikan ketaatan kepada-Nya demi mengkhawatirkan apa yang sudah dijamin-Nya adalah kekeliruan berganda.

Tugas kita bukan mengkhawatirkan rizqi atau bermuluk cita memiliki; melainkan bagaimana menyiapkan jawaban "Dari Mana" & "Untuk Apa" atas tiap karunia-Nya.

Betapa banyak orang yang bercita menggenggam dunia; namun dia alpa bahwa hakikat rizqi bukanlah yang tertulis dalam angka; tapi apa yang dinikmatinya.

Betapa banyak orang yang bekerja membanting tulangnya, memeras keringatnya; demi angka simpanan gaji yang mungkin besok pagi ditinggalkannya (mati).

Maka amat keliru jika bekerja dimaknai mentawakkalkan (menggantungkan) rizqi pada perbuatan kita. Bekerja itu bagian dari ibadah. Sedang rizqi itu urusan-Nya.

Kita bekerja untuk bersyukur, menegakkan taat & berbagi manfaat. Tapi rizqi tak selalu terletak di pekerjaan kita; Allah letakkan sekehendak-Nya.

Bukankah Hajar berlari 7x bolak-balik dari Shafa ke Marwa; tapi Zam-zam justru muncul di kaki Ismail A.S, bayinya!!
 

Ikhtiar itu laku perbuatan. Rizqi itu kejutan. Ia kejutan untuk disyukuri hamba yang bertaqwa; datang dari arah tak terduga. Tugas kita cuma menempuh jalan halal; Allah lah yang akan melimpahkan bekal.

Sekali lagi; yang terpenting di tiap kali kita meminta & Allah memberi karunia; maka jaga sikap saat menjemputnya & jawab soalan-Nya, "Buat apa?"

Betapa banyak orang yang merasa memiliki manisnya dunia; lupa bahwa semua hanya "hak pakai" yang halalnya akan dihisab & haramnya akan di'adzab.

Dengan itu kita mohon "Ihdinash Shirathal Mustaqim"; petunjuk ke jalan orang nan diberi nikmat ikhlas di dunia & nikmat ridha-Nya di akhirat. Bukan jalannya orang yg terkutuk apalagi jalan orang yang tersesat.

Maka segala puji hanya bagi Allah Azza wa Jalla; hanya dengan nikmat-Nya-lah maka kesempurnaan menjadi paripurna. Wallahu 'Alam



Bacalah Ayat Kursi, Kandungannya Sangat Agung






عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ رضي الله عنه: قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : يَا أَبَا الْمُنْذِرِ! أَتَدْرِي أَيُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَعَكَ أَعْظَمُ؟ قَالَ: قُلْتُ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: يَا أَبَا الْمُنْذِرِ! أَتَدْرِي أَيُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَعَكَ أَعْظَمُ؟ قَالَ: قُلْتُ: اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ... قَالَ: فَضَرَبَ فِي صَدْرِي وَقَالَ: وَاللَّهِ لِيَهْنِكَ الْعِلْمُ أَبَا الْمُنْذِرِ.
 

Dari Ubay bin Ka'ab رضي الله عنه beliau berkata, "Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda (kepadaku): "Wahai Abul Mundzir (Ubay bin Ka'ab), apakah kamu mengetahui ayat apakah yang paling agung dalam Al-Qur’an yang ada padamu (yang kamu hafal)?". Aku menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahuinya". Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda (lagi): "Wahai Abul Mundzir, apakah kamu mengetahui ayat apakah yang paling agung dalam Al-Qur’an yang ada padamu (yang kamu hafal)?". Maka aku berkata," (Ayat al-Kursi) Allah tidak ada sembahan yang benar kecuali Dia Yang Maha Hidup lagi Berdiri sendiri dan menegakkan makhluk-Nya.. ." (QS. al-Baqarah:255). Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم menepuk dadaku dan bersabda, 'Demi Allah, ilmu akan menjadi kesenangan bagimu, wahai Abul Mundzir!'". (HR. Muslim: 810)

Hadits yang agung tersebut menunjukkan betapa besarnya keutamaan membaca dan merenungkan Ayat  al-Kursi, karena ayat al-Kursi khusus menjelaskan tentang nama-nama Allah عزّوجلّ yang Maha Indah dan sifat-sifatNya yang Maha Tinggi, dan semua ayat atau surah dalam al-Qur’an yang kandungannya seperti ayat kursi kedudukannya lebih utama dan lebih mulia dibandingkan dengan yang lain.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله pernah berkata, "Di dalam al-Qur’an terdapat penjelasan (tentang) nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Allah عزّوجلّ yang lebih banyak daripada penjetasan tentang makanan, minuman dan pernikahan di surga. Dan ayat-ayat yang mengandung penjelasan nama-nama dan sifat-sifat Allah عزّوجلّ lebih utama kedudukannya daripada ayat-ayat tentang Hari Kemudian. Maka, ayat yang paling agung dalam al-Qur’an adalah Ayat al-Kursi yang mengandung penjelasan nama-nama dan sifat-sifat Allah عزّوجلّ. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim dari Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم di atas".

FAIDAH HADIST


Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits tersebut, antara lain sebagai berikut:
•    Arti Ayat al-Kursi sebagai ayat yang paling agung dalam al-Qur’an adalah pahala membaca ayat Kursi dan merenungkannya lebih besar, makna yang dikandungnya lebih agung dan pengaruh menghayati isinya untuk menguatkan iman lebih besar dibandingkan ayat-ayat lainnya karena mengandung nama-nama Allah.
•    Imam Ibnul Qayyim رحمه الله juga menjelaskan tentang ayat Kursi dalam ucapan beliau, "Sesungguhnya sebagian dari sifat dan perbuatan Allah عزّوجلّ lebih utama dari sebagian (yang lain)..., sebagaimana sifat rahmat-Nya lebih utama daripada sifat murka-Nya. Oleh karena itu, sifat rahmat-Nya mengalahkan dan mendahului (kemurkaan-Nya)

Demikian pula firman Allah عزّوجلّ yang (termasuk) sifat-Nya. Sudah diketahui bahwa firman Allah yang mengandung pujian bagi Allah, menyebutkan sifat-sifat (kesempurnaan) Allah dan kewajiban mentauhidkan-Nya lebih utama daripada firman-Nya yang berisi celaan terhadap musuh-musuh Allah dan penjelasan tentang sifat-sifat buruk mereka.
Oleh karena itu, surat al-lkhlas lebih utama daripada surat al-Lahab (al-Masad), dan dalam hadist Rasulullah surah al-lkhlas sebanding pahala membacanya dengan pahala membaca sepertiga dari al-Qur’an. Demikian pula ketika membaca Ayat Kursi adalah ayat yang paling utama dalam al-Qur’an."
•    Syaikh   Muhammad  bin  Shalih  al-'Utsaimin رحمه الله  berkata, "Hadits ini menunjukkan bahwa al-Qur’an berbeda-beda keutamaannya satu ayat dengan ayat yang lain, sebagaimana juga ditunjukkan dalam hadits tentang surat al-lkhlas di atas. Pembahasan masalah ini harus diperinci dengan penjelasan berikut: jika ditinjau dari segi zat yang berfirman dengan al-Qur’an, maka al-Qur’an tidak berbeda-beda keutamaannya, karena Dzat yang mewayuhkannya adalah satu, yaitu Allah عزّوجلّ. Adapun jika ditinjau dari segi kandungan dan pembahasan maknanya, maka al-Qur’an berbeda-beda keutamaannya satu ayat dengan ayat yang lain. Surat al-lkhlas yang berisi pujian bagi Allah عزّوجلّ karena mengandung nama-nama dan sifat-sifat Allah عزّوجلّ, tentu tidak sama dari segi kandungannya dengan surat al-Masad (al-Lahab) yang berisi penjelasan tentang keadaan Abu Lahab yang mendustakan agama Allah.
Demikian pula al-Qur’an berbeda-beda keutamaannya satu ayat dengan ayat yang lain dari segi pengaruhnya terhadap hati manusia dan kekuatan uslub (gaya bahasanya). Karena kita dapati di antara ayat-ayat al-Qur’an ada yang pendek tetapi berisi nasehat dan berpengaruh besar bagi hati manusia, sementara kita dapati ayat lain yang jauh lebih panjang, tapi tidak berisi kandungan seperti ayat yang pendek". Namun, bukan berarti ada ayat yang tidak bermakna, semua bermakna hanya isi kandungannya berbeda-beda
•    Hadits ini juga menunjukkan keutamaan Sahabat Ubay bin Ka'ab رضي الله عنه dan ketinggian ilmunya.

Bagaimana Cara Penulisan "إِنْ شَاءَ اللَّهُ" Yang Benar?

http://www.konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2012/02/insya-allah.jpg

Banyak orang memperdebatkan masalah penulisan "insyaa Allah" dalam bahasan Indonesia. Dalam bahasa arab, kata “insyaa Allah” ditulis dengan:

 إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Yang maknanya, ‘jika Allah menghendaki’

Terdapat 3 kata dalam kalimat ini:

a. Kata [إِنْ], maknanya jika. Dalam bahasa arab, kata tersebut disebut harfu syartin jazim (huruf syarat yang menyebabkan kata kerja syarat menjadi jazm)
b. Kata [شَاءَ], maknanya menghendaki. Bentuk kata tersebut fiil madhi (kata kerja bentuk lampau), sebagai fiil syarat (kata kerja syarat) yang berkedudukan majzum.
c. Kata [اللَّهُ], sebagai subjek dari fiil syarat.

Setelah mengetahui susunan kata tersebut, berarti kalimat [إِنْ شَاءَ اللَّهُ] adalah kalimat syarat, yang mana disana membutuhkan "jawaban syarat". Namun, jawab syaratnya tidak disebutkan, karena disesuaikan dengan konteks kalimat tersebut.
Sebagai contoh, jika konteks pembicaraan anda adalah berangkat ke kota Jakarta, maka kalimat lengkapnya adalah: ’jika Allah menghendaki maka saya akan berangkat ke Jakarta.’
Kalimat "maka saya akan berangkat ke Jakarta" merupakan jawab syarat tersebut.

Bagaimana Cara Penulisan yang Benar?

Kalimat "insyaa Allah" berasal dari bahasa arab. Karena sering digunakan oleh masyarakat tanpa diterjemahkan, kalimat ini menjadi bagian dari bahasa Indonesia. Penulisan huruf bahasa Indonesia dan huruf bahasa arab berbeda, akan sangat membingungkan masyarakat jika harus menuliskan kalimat tersebut dengan teks arabnya. Sehingga kita perlu memperbaiki transliterasi untuk menuliskan kata ini dengan huruf latin.
Sebenarnya mengenai bagaimana cara penulisan [إِنْ شَاءَ اللَّهُ] yang tepat, ini kembali kepada aturan baku EYD masalah infiltrasi kata dan bahasa.
Bagi sebagian orang, baku itu bukan suatu keharusan. Point pentingnya masyarakat bisa memahami. Misalnya kata ‘Allah’, yang benar ditulis Allah, Alloh, ALLAH, atau bagaimana. Bagi sebagian orang lagi, ini kembali kepada selera penulisnya dan pemahamannya.
Sebagai catatan, transliterasi kalimat bahasa asing, dibuat untuk membantu pengucapan kalimat serapan asing itu dengan benar. Anda bisa bandingkan, transliterasi teks serapan bahasa arab untuk masyarakat berbahasa inggris dengan transliterasi teks serapan bahasa arab untuk orang Indonesia. Karena semacam ini disesuaikan dengan fungsinya, yaitu untuk membantu pengucapan kalimat arab tersebut dengan baik dan benar.
Dengan demikian, sebenarnya transliterarisasi tidak bisa dijadikan acuan benar dan salahnya tulisan. Karena tidak ada aturan yang disepakati di sana untuk penulisannya. Semua kembali kepada selera penulis untuk kalimat serapan tersebut. Yang paling penting adalah bagaimana cara pengucapannya yang tepat sesuai lafaz bahasa arab, sehingga tidak mengubah makna dari kata tersebut.
Tulisan arabnya
إِنْ شَاءَ اللَّهُ,
Anda bisa menuliskan latinnya dengan insyaaAllah atau insyaa Allah atau inshaaAllah atau inshaa Allah atau insyaallah. Tidak ada yang baku di sini, karena ini semua transliterisasi bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Yang penting anda bisa mengucapkannya dengan benar, sesuai teks arabnya.
Karena itu, sejatinya tidak ada yang perlu dipermasalahkan dalam penulisan transliterasi semacam ini. Selama cara pengucapan dan makna yang dimaksud sama.

Apa Yang Membuat Rambut Nabi Langsung Beruban Ketika Turun Ayat Istiqomah

 http://www.radioassunnah.com/wp-content/uploads/2013/09/istiqomah-di-zaman-keterasingan.jpg



Alhamdulillah Ramadhan telah kita lewati, semoga amal ibadah kita diterima Allah Azza wa Jalla. Saat ini kita memasuki bulan Syawal, semoga Allah memberikan kita semangat Ibadah selayaknya dibulan Ramadhan hingga kita jadikan orang yang bertaqwa di sisi Allah Azza wa Jalla. Menjaga ibadah selayaknya menjaga perhiasan yang tiada taranya, karena ibadah akan membawa kita kepada kebahagian dunia dan akhirat. Sungguh beruntung mukmin yang bisa menjaga ke-Istiqomahan ibadahnya. Istiqomah berhubungan dengan kedekatan antara Rabb dan Hamba-Nya. Tidak ada yang menjadi seseoran bisa istiqomah, banyak kisah bagaimana seorang yang beribadah sepanjang hidupnya lalu kafir ketika menjelang ajalnya, atau sebaliknya bermaksiat sepanjang hidupnya lalu dinyatakan masuk syurga menjelang ajalnya karena amal sholehnya. Sesunggu hati kita berada didalam genggaman Allah Azza wa Jalla
Jikalau Rasullullah menerima wahyu tentang Istiqomah, seketika itu juga rambut Rasulllah berubah menjadi putih (beruban). Hal tersebut menandakan begitu beratnya Istiqomah, sebagaimana hadits Rasulullah dari Ibnu Abbas:

قال ابن عباس رضي الله عنهما: ما نزلت على رسول الله صلى الله عليه وسلم آية هي أشدّ عليه من هذه الآية، ولذلك قال: "شيبتني هود وأخواتها".
 

Berkata Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma: "Tiadalah turun kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam ayat yang lebih berat atas Beliau daripada ayat ini [surat Huud ayat 112], karena itulah Beliau bersabda: "Telah membuatku beruban surat Huud dan saudara-saudaranya".

Berikut surah Huud ayat 112:

{ فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ }

"Hendaklah kamu istiqomah sebagaimana diperintahkan kepadamu".

Sahabat Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata:

قال عمر بن الخطاب رضي الله عنه: الاستقامة أن تستقيم على الأمر والنهي.

"Istiqomah itu hendaklah kamu istiqomah dalam perintah dan larangan".
Maksudnya adalah istiqomah mengerjakan perintah Allah dan istiqomah meninggalkan laranganNya.

 عن سفيان بن عبد الله الثقفي قال: قلت، يا رسول الله قل لي في الإسلام قولا لا أسأل عنه أحدا بعدك، قال: "قل آمنت بالله ثم استقم".
أخرجه مسلم في الإيمان، باب جامع أوصاف الإسلام، برقم (38).

Kemudian sahabat Sufyan bin Abdillah Ats-Tsaqafi radhiyallahu 'anhu berkata; Aku bertanya, wahai Rasulullah, katakan kepadaku tentang Islam yang aku tidak perlu bertanya lagi kepada orang lain setelah itu. Beliau bersabda: "Katakanlah, 'aku beriman kepada Allah', kemudian Istiqomahlah."
(HR. Muslim).

Istiqomah Sejalan Dengan Iman di Hati

Sahabat Abu ad-Darda` Uwaimir al-Anshaari rahimahullah berkata,

الإِيْمِانُ يَزْدَادُ وَ يَنْقُصُ
Iman itu bertambah dan berkurang.”

Maka sudah seharusnya kita memohon kepada Alla Azza wa Jalla untuk diberikan kekuatan dan istiqomah untuk terus beribadah untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya amal kebaikan. Jikalau kita berhenti beribadah dalam 1 detik maka sesungguhnya kita mengalami kerugian yang amat besar. Senantiasalah kita berdoa memohon kepada Allah untuk istiqomah, karena harga istiqomah itu mahal dan jalannya sukar. Tidak ada yang bisa menolong menghadapi jalan istiqomah kecuali Allah Azza wa Jalla. Apa saja yang menjaga kita agar tetap istiqomah?

1.    Berteman dengan orang shaleh

Dalam sebuah hadits Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang peran dan dampak seorang teman dalam sabda beliau:

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً ، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَة
 

 “Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)

Maknanya istiqomah bisa kita pelihara hari lingkungan kita, Rasulullah menyuruh kita berteman dengan orang saleh. Karena teman yang saleh selalu mengingatkan kita akan ibadah dan melarang kita untuk maksiat. Bukan berarti kita tidak berteman dengan orang yang tidak saleh, karena disitu lading dakwah untuk kita. Besar sekali pengaruh lingkungan terhadap keimanan. Sebagaimana hijrahnya Rasulullah dan para sahabat dari Makkah ke Madinah, guna menjaga iman dan istiqomah di hati.

2.    Mendatangi majelis ilmu

Mendatangi majelis – majelis ilmu akan mengingatkan kita akan akhirat yang kekal abadi, mengingatkan kita akan nikmatnya syurga, mengingatkan kita akan dahsyatnya api neraka dan azab kubur. Dengan begitu akan bertambah lah keimanan dan ketakutan kepada Allah Azza wa Jalla, maka sesering mungkin kita mengunjungi majelis ilmu sunnah yang membahas ilmu agama dengan mengikuti dalil yang shahih.

3.    Berdoa kepada Allah Azza wa Jalla
 
Alquran dan Hadits mengajari kita doa memohon Istiqomah. Hati kita hanya Allah Yang Tahu dan hanya Allah Yang Mengendalikan. Tidak ada setiap mahkluk di dunia ini yang bisa menguasai hatinya, bisa terus menjaga imannya kecuali izin dari Allah Azza wa Jalla. Maka senantiasalah memohon doa istiqomah kepada Allah, doa yang sering dipanjatkan oleh Rasulullah adalah Doa Istiqomah.
Do'a agar kita tetap istiqomah dalam memegang teguh agama islam yang sesuai dengan hadits shahih.

يامقلب القلوب ثبت قلبي على دينك

'Yaa Muqallibal Quluub, Tsabbit Qalbi ‘Ala Diinik'

Artinya: “Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hati kami di atas agama-Mu.”
[HR.Tirmidzi 3522, Ahmad 4/302, al-Hakim 1/525, Lihat Shohih Sunan Tirmidzi III no.2792]

يا مقــلـب لقــلــوب ثبــت قــلبـــي عــلى طـا عــتـك

'Yaa Muqallibal Quluub, Tsabbit Qalbi ‘Ala Ta'atik'

Artinya: “Wahai Dzat yg membolak-balikan hati teguhkanlah hatiku diatas ketaatan kepadamu
[HR. Muslim (no. 2654)]

اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ

'Allaahumma Musharrifal Quluub, Sharrif Quluubanaa ‘Alaa Tho'atika'

Artinya: “Ya Allah yang mengarahkan hati, arahkanlah hati-hati kami untuk taat kepadamu.” (HR. Muslim)
Doa dalam Al-quran:

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

'Rabbabaa Laa Tuzigh Quluubanaa Ba’da Idz Hadaitanaa wa Hab Lana Mil-Ladunka Rahmatan Innaka Antal-Wahhaab'

Artinya: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).
(QS. Ali Imran: 7)