Innalillahi, Pesawat Hercules Jatuh Di Pemukiman Warga

Medan. Innalillahi, hari ini tanggal 30 Juni 2015 pesawat hercules yang di tumpangi beberapa anggota TNI Angkatan Udara dengan kapten pesawat Kapten Sandi jatuh di pemukiman warga di Jamin Ginting, Medan.

Belum diketahui penyebab jatuhnya pesawat hercules milik TNI AU dan jumlah korban penumpang pesawat dan korban dari warga masyarakat,  sampai saat ini masih dalam penyelidikan dan penanganan TNI AU dan Polda Sumatera Utara.

Menurut laporan, pesawat jatuh sesat setelah take off dari bandara Polonia. hal ini sama halnya seperti kejadian naas jatuhnya pesawat Mandala beberapa tahun silam yang menewaskan gubernur Sumatera Utara, Tengku Rizal Nurdin dan beberapa kalangan pejabat Sumatera Utara.

Bandara Polonia adalah bandara yang dikelilingi komplek perumahan warga yang mendiami Jamin Ginting,  Karya Bhakti,  Deli Tua,  dan beberapa daerah lainnya

Semoga ada hikmah yang baik dari setiap kejadian yang menimpa. Dan bersabar atas segala cobaan yang diterima

Biografi Imam Syafií Bagian 2





COBAAN YANG DIALAMI IMAM ASY-SYAFI'I رحمه الله

 Setelah surat Panglima itu sampai ke tangan Khalifah Harun ar-Rasyid, Khalifah lalu mengirim surat kepada Gubernur Yaman agar mengusir orang-orang 'Alawiyyin. Maka mereka, di antaranya Imam asy-Syafi, digiring dalam keadaan terikat rantai. Imam asy-Syafi'i رحمه الله disiksa sepanjang jalan menuju Irak. Namun, tidaklah diragukan, pada kejadian-kejadian seperti ini Allah عزّوجلّ akan selalu menolong hamba-Nya yang suka mendekatkan diri kepada-Nya dan pada saat hamba itu berlindung kepada Rabb Jalla wa 'Ala.

Ketika rombongan yang disiksa telah sampai ke Irak, Imam asy-Syafi'i رحمه الله bersama rombongan dihadapkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid. Sejumlah riwayat yang maknanya berdekatan menyebutkan tentang pertemuannya dengan khalifah, kecuali ada satu riwayat dusta yang menyebutkan bahwa Imam Muhammad bin al-Hasan[1] dan Abu Yusuf[2] menyuruh khalifah Harun untuk membunuh Imam asy-Syafi'i.

Riwayat ini tertolak karena ketika Syafi'i masuk negeri Iraq, sekitar tahun 184 H, Abu Yusuf telah meninggal. Lagi pula tidak mungkin kedua orang alim tersebut yang memiliki keutamaan dan sifat wara' menganjurkan Harun ar-Rasyid untuk membunuh seorang yang telah dikenal sebagai orang alim. Riwayat-riwayat ini adalah kebohongan yang dihiasi oleh orang-orang yang fanatik terhadap madzhab tertentu dengan maksud agar dapat mencela para ulama dari madzhab lain, seolah-olah madzhab lain itu tidak berdiri di atas Islam. Ini adalah dampak negatif sikap fanatik terhadap madzhab yang telah menimpa ummat Islam. Orang yang membaca kitab-kitab madzhab akan menemukan keanehan-keanehan seperti kisah ini.

Semua itu menunjukkan kepada kita akan pentingnya kembali/ rujuk kepada al-Qur-an dan Sunnah serta membuang jauh perasaan fanatik. Jika tidak demikian, bagaimana mungkin kekuatan ummat disatupadukan. Namun, bukan di sini tempat menguraikan masalah yang sangat penting tersebut. Akan tetapi, keterangan ini memang harus disampaikan pada kesempatan ini.[3] Satu hal lagi yang menunjukkan kedustaan riwayat ini adalah pada riwayat-riwayat lain dikatakan bahwa Muhammad Ibnul Hasan justru membela asy-Syafi'i di hadapan Harun ar-Rasyid. Oleh sebab itu, ketika Allah menyelamatkan asy-Syafi'i (dari cobaan ini, -ed) beliau menekuni ilmu dari Muhammad Ibnul Hasan dan meminta ilmu darinya.[4]

Mari kita biarkan Imam asy-Syafi'i رحمه الله sendiri yang mencerita-kan kisahnya ketika berhadapan dengan Harun ar-Rasyid: "Kami dihadapkan kepada Harun ar-Rasyid sepuluh-sepuluh orang. Setelah larut malam, ia menyuruh kami berdiri seorang demi seorang. Kemudian, ia berbicara dari balik tabir dan memerintahkan untuk membunuh kami. Ketika sampai pada giliranku, aku berkata kepadanya: 'Wahai, Amirul Mukminin, aku adalah budak dan pelayanmu, Muhammad bin Idris asy-Syafi'i.' Ia tidak menanggapi, dan kembali memerintahkan: 'Tebaslah batang lehernya!' Aku kembali berkata: 'Wahai, Amirul Mukminin, aku ingin bicara, mohon dengarkan! Tanganmu yang terbuka dan kekuasaanmu yang kokoh, engkau pasti akan mendapatkan apa saja yang engkau inginkan dariku.' 'Bicaralah,' tukasnya. Maka aku berbicara: 'Wahai, Khalifah, sepertinya engkau menuduhku menyimpang dari ketaatan kepadamu dan condong kepada mereka. Oleh karena itu, aku akan memberikan perumpamaan kepada tuan berkenaan dengan diri tuan, mereka, dan aku. Apa yang dikatakan seorang Amirul Mukminin tentang seseorang yang mempunyai keponakan. Hanya ada dua keadaan:

1.  Salah seorang di antara keponakannya itu bergaul dengannya dan memasukkan dirinya dalam nasabnya dan menganggap ia sama dengannya dan hartanya haram diganggu olehnya, kecuali seizin dia. Begitu juga anak perempuannya haram diambil, kecuali dengan cara menikahinya. Selain itu, ia melihat bahwa apa yang berlaku baginya sama dengan apa yang berlaku bagi dirinya,

2.  Keponakannya yang lain menyangka bahwa ia adalah orang lain dalam nasab. Dia lebih tinggi, sedangkan orang tersebut adalah budaknya sehingga putrinya pun menjadi budak yang halal diambil tanpa harus melalui pernikahan sebagaimana hartanya halal diambil sesukanya.

Menurut engkau, wahai, Amirul Mukminin, kepada siapakah sepantasnya dia berwala'? Ini adalah perumpamaan antara tuan dan mereka ('Alawiyyin). Khalifah memintaku mengulanginya tiga kali, aku pun melakukannya dengan menggunakan redaksi yang berbeda-beda, tetapi maksudnya sama. Maka khalifah memerintahkan pegawainya untuk memenjarakanku."[5]

Dalam sebagian riwayat yang disampaikan olch Ibnu 'Abdil Barr رحمه الله disebutkan sebagai berikut: "Imam asy-Syafi'i رحمه الله bersama rombongan 'Alawiyyin masuk menghadap Khalifah Harun ar-Rasyid. Mereka menghadapnya satu per satu untuk diinterogasi, sementara yang lainnya menunggu dan mendengarkannya dari balik tabir.

Imam asy-Syafi'i  berkata: "Tibalah giliran seorang pemuda 'Alawi penduduk Madinah besertaku. Khalifah menginterogasinya: 'Engkaukah yang memberontak kepadaku dan menganggapku tidak patut menjadi khalifah?' Pemuda 'Alawiyyah itu menjawab: 'Audzubillah (aku berlindung kepada Allah), saya tidak pernah mengucapkan hal itu.' Maka ia pun diputuskan untuk dibunuh. Mendengar keputusan itu, si pemuda Alawi itu menukas: 'Kalau memang aku harus dibunuh, berilah aku kesempatan untuk menulis surat kepada ibuku di Madinah karena ia seorang tua renta dan tidak mengetahui berita tentang aku. Kemudian, ia pun dibunuh."

"Setelah itu, aku dipanggil, tutur Imam asy-Syafi'i. Sementara Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani duduk di samping khalifah. Setelah khalifah berkata kepadaku seperti yang ia katakan kepada pemuda 'Alawiyyah itu, aku menjawab: "Wahai, Amirul Mukminin, aku bukan suku Thalibi atau 'Alawi. Aku adalah laki-laki keturunan al-Muththalib bin 'Abdi Manaf bin Qushay. Aku aktif dalam bidang ilmu dan fiqih. Tuan al-Qadhi tahu siapa aku. Aku adalah Muhammad bin Idris bin al-'Abbas bin 'Utsman bin Syafi' bin as-Saib bin 'Ubaid bin 'Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin 'Abdi Manaf." "Engkau Muhammad bin Idris?" tanya Khalifah. "Ya, jawabku." Engkau rupanya orang yang pernah diceritakan oleh Muhammad bin al-Hasan." Kemudian, Khalifah Harun memandang Muhammad bin al-Hasan. 'Hai, Muhammad, apakah yang dikatakannya benar?' Muhammad bin al-Hasan menjawab: 'Ya, dia seorang 'alim yang langka.' Khalifah lantas berkata: "Kalau begitu, ia kuserahkan kepadamu sampai ada keputusan."[6]

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata: "Maka Imam asy-Syafi'i رحمه الله dibawa dengan dinaikkan ke atas keledai dalam keadaan terikat,menuju Baghdad pada tahun 184 H. Saat itu usianya 30 tahun. Kemudian, Imam asy-Syafi'i dihadapkan kepada Harun ar-Rasyid dan terjadilah percakapan antara keduanya, sementara Imam Muhammad bin al-Hasan duduk di samping Khalifah Harun dan memuji Imam asy-Syafi'i. Maka jelaslah bagi Harun ar-Rasyid, bahwa tuduhan yang ditujukan kepada Imam asy-Syafi'i tidaklah benar. Selanjutnya, Muhammad bin al-Hasan memberinya tempat kepada Imam asy-Syafi'i, sementara al-Qadhi Abu Yusuf setahun atau dua tahun sebelumnya telah wafat.[7] Asy-Syafi'i dimuliakan oleh Muhammad Ibnul Hasan dan asy-Syafi'i pun menimba ilmu darinya."

Inilah ringkasan dari riwayat-riwayat yang menyebutkan per-temuan Imam asy-Syafi'i رحمه الله dengan Khalifah Harun ar-Rasyid, yang menunjukkan adanya tuduhan Khalifah terhadap Imam asy-Syafi'i رحمه الله dan lepasnya beliau dari apa yang dituduhkan kepadanya. Riwayat-riwayat ini juga menunjukkan bahwa Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani رحمه الله telah mengucapkan kata-kata yang baik tentang Imam asy-Syafi'i dan Amirul Mukminin Harun ar-Rasyid telah mengampuni Imam asy-Syafi'i رحمه الله, bahkan memberinya sebagian harta.[8]



D.  MENDAMPINGI IMAM MUHAMMAD BIN AL-HASAN SETELAH SELAMAT DARI COBAAN



Setelah Allah عزّوجلّ menyelamatkan Imam asy-Syafi'i رحمه الله dari tuduhan itu, ia pun mendampingi Imam Muhammad bin al-Hasan رحمه الله untuk mengambil fiqih dan hadits Irak darinya. Ia menuliskan buku-bukunya dan membacakan kepadanya sampai ia (Muhammad bin al-Hasan) berkata: "Kesabarannya terhadapku seperti kesabaran unta, tidak ada pekerjaan baginya selain hanya mendengarkanku." Imam asy-Syafi'i رحمه الله sangat menghormati Imam Muhammad bin al-Hasan sekalipun antara keduanya sering berdebat dan berselisih pendapat.

Perselisihan keduanya telah terkenal karena madzhab Imam asy-Syafi'i adalah madzhab Ahlul Hadits, sedangkan madzhab Muhammad bin al-Hasan ialah madzhab Ahlur Ra'yi (madzhab yang mengedepankan akal). Seperti penulis katakan bahwa sekalipun Imam asy-Syafi'i berbeda pendapat, ia tetap memuji Muhammad bin al-Hasan رحمه الله: "Aku tidak pernah menjumpai seorang pria gemuk yang cerdas selain Muhammad bin al-Hasan."[9]

Pada kesempatan lain, ia berkata: "Aku tidak pernah melihat seseorang yang ditanya tentang suatu masalah yang harus dianalisa, kecuali kulihat pada wajahnya kebencian, kecuali Muhammad bin al-Hasan."[10]

Sekalipun Imam asy-Syafi'i sangat menghormati dan cinta kepada Muhammad bin al-Hasan, tetapi manakala pendapat Muhammad bin al-Hasan bertentangan dengan dalil, ia tidak segan-segan membantahnya. Oleh karena itu, setelah selesai halaqah dan Muhammad bin al-Hasan keluar, ia sering mengadakan diskusi dan berdebat dengan murid-murid Muhammad, tetapi dengan Imam Muhammad sendiri ia segan karena menghormati gurunya itu, kecuali setelah Imam Muhammad mengajaknya, barulah ia melakukan perdebatan dengannya. Itu terjadi berkali-kali, baik di hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid maupun di majelis Imam Muhammad bin al-Hasan sendiri. Sekalipun Imam asy-Syafi'i رحمه الله menuliskan kitab Muhammad bin al-Hasan, ia tidak menerima begitu saja pandangan yang ditulisnya itu, kecuali apabila sesuai dengan dalil, sedangkan yang tidak sesuai, ia bantah. Dalam kaitan ini, Imam asy-Syafi'i رحمه الله berkata: "Untuk memiliki buku Muhammad bin al-Hasan رحمه الله, aku menghabiskan uang sebanyak 60 dinar. Kemudian, aku mempelajarinya lalu aku tuliskan sebuah hadits di samping setiap masalah." Maksud beliau adalah untuk membantahnya."[11]

Inilah sikap generasi Salafush Shalih dari ummat ini dalam mengikuti dalil (syar'i) sekalipun harus bertentangan dengan ucapan syaikh atau gurunya. Oleh sebab itu, tinggilah derajat ummat ini dan menjadi majulah serta sunnah menjadi tersebar. Di antara penyebab utama kemunduran ummat ini adalah sikap fanatisme mereka yang pura-pura alim terhadap madzhab mereka meskipun menyelisihi dalil syar'i yang shahih dan jelas. Akhirnya, merebaklah bid'ah dan matilah Sunnah. Innaa lillahi wa inna ilaihi raji'un.



E.   KEMBALINYA IMAM ASY-SYAFI'I رحمه الله KE MAKKAH



Setelah Imam asy-Syafi'i رحمه الله memperoleh ilmu dari para ulama Irak, sebelumnya ia telah mendapatkan ilmu dari ulama Hijaz, ia merasa telah tiba saatnya untuk menyebarkan ilmu yang dimilikinya. Oleh karena itu, ia bertekad untuk pulang ke Makkah setelah namanya dikenal. Mulailah ia mengajar di Masjidil Haram tempat dahulu ia belajar menuntut ilmu dari para ulama yang mengajar di sana.

Pada musim haji, ribuan orang dari berbagai penjuru datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Mereka yang telah mendengar nama pemuda Quraisy yang ilmunya mengagumkan, bersemangat untuk mengikuti pengajiannya sehingga nama Imam Syafi'i pun semakin dikenal di berbagai negeri.

Pada kesempatan itu Imam asy-Syafi'i رحمه الله ditemui oleh banyak ulama. Mereka kagum terhadap keluasan ilmunya dan kekuatannya dalam menggunakan dalil serta keteguhannya mengikuti sunnah, juga kedalamannya dalam fiqih dan istinbath (penyimpulan) hukum. Mereka juga kagum terhadap ushul dan kaidah-kaidah fiqih yang telah dibuatnya yang semuanya bersumber dari al-Qur-an dan as-Sunnah. Ushul dan kaidah-kaidah itu kebanyakan belum pernah didengar oleh mereka. Di antara orang yang mendengar ilmu dari Imam asy-Syafi'i ketika itu adalah Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله, yang datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Imam Ahmad رحمه الله masuk ke Masjidil Haram untuk berjumpa dengan para ulama besar dan para pakar hadits, di antara yang masyhur dari mereka adalah Imam Sufyan bin 'Uyainah رحمه الله, syaikhnya Imam asy-Syafi'i.

Tatkala ia ikut pada halaqab Imam asy-Syafi'i, ia mendapati sesuatu yang tidak didapati pada halaqah yang lain. Ia memperoleh sesuatu yang baru selain riwayat hadits. Pada halaqah Imam asy-Syafi'i, ada kupasan fiqih dan kaidah-kaidahnya yang belum pernah didengarkannya. Akhirnya, Imam Ahmad meninggalkan halaqah yang lain yang dipimpin oleh para ulama besar. Kemudian, ia pun ikut halaqah Imam asy-Syafi'i رحمه الله. Muhammad bin al-Fadhl al-Farra' bercerita: "Aku mendengar ayahku berkata: 'Aku pergi haji bersama Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله. Aku tinggal dalam satu tempat bersamanya. Pada pagi hari kami keluar, dan sesampainya di masjid aku berkeliling mencarinya. Aku mendatangi majelis (halaqah) Ibnu 'Uyainah رحمه الله dan yang lainnya untuk mencarinya, tetapi ternyata aku malah menemukannya di halaqah seorang Arab pedusunan.[12] Aku berkata kepada Imam Ahmad رحمه الله: 'Hai, Abu 'Abdillah, mengapa engkau di sini, tidak di halaqah Ibnu 'Uyainah?' Imam Ahmad رحمه الله menjawab: 'Diamlah! Kalau tidak sempat mendengar hadits dengan sanad yang tinggi, kamu akan mendapatkannya dengan sanad yang rendah. Tetapi, jika engkau tidak mengambil ilmu orang ini, kita belum tentu mendapatkannya dari yang lain. Karena aku tidak melihat ada seorang yang lebih faqih tentang Kitabullah melebihi pemuda ini.' 'Siapa dia?' tanyaku. Imam Ahmad رحمه الله menjawab: 'Muhammad bin Idris.'"[13]

Dari Ishaq bin Rahawaih رحمه الله, ia berkata: "Ketika aku bersama Ahmad bin Hanbal di Makkah, ia berkata: 'Mari, ikut aku. Akan kutunjukkan kepadamu seorang yang belum pernah engkau lihat.' Ternyata, orang itu adalah Imam asy-Syafi'i."[14]

Imam Al-Humaidi رحمه الله juga berkata: "Ketika Ahmad bin Hanbal رحمه الله tinggal bersama kami di Makkah, ia ikut halaqah Sufyan bin 'Uyainah رحمه الله. Pada suatu hari, ia mengajakku ke suatu tempat, katanya: 'Di sana ada seorang laki-laki dari Quraisy yang mempunyai pengetahuan dan kemampuan berbicara yang sangat baik.' 'Siapa dia?' tanyaku. Imam Ahmad menjawab: 'Muhammad bin Idris asy-Syafi'i.' Pada saat di Irak, Imam Ahmad bin Hanbal pernah ikut di majelis pengajiannya. Karena ia selalu membujukku, akhirnya aku pun duduk bersamanya. Setelah mendengar uraiannya tentang beberapa masalah, kami bangun. 'Bagaimana pendapatmu?' tanya Ahmad bin Hanbal. Aku berusaha mencari-cari kesalahannya, dan itu semua saya lakukan karena ada kedengkian terhadap orang Quraisy. Maka Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله berkata: 'Rupanya engkau tidak senang jika ada pria Quraisy memiliki ilmu dan keindahan bahasa seperti itu. Dia membahas seratus masalah, tetapi salahnya hanya lima atau hanya sepuluh. Tinggalkanlah yang salah dan ambillah yang benar!'"[15]

Hingga hampir sembilan tahun Imam asy-Syafi'i رحمه الله mengadakan majelis pengajian di Makkah hingga beliau pergi ke Irak.



F.  PERJALANANNYA KE IRAK YANG KEDUA



Imam asy-Syafi'i رحمه الله untuk kedua kalinya pergi ke Irak pada tahun 195 H. Perjalanannya yang kedua ini berbeda dengan perjalanannya yang pertama. Jika yang pertama karena diusir, maka yang kedua ini karena kemauannya sendiri. Untuk kali kedua ini, namanya di Baghdad telah terlebih dahulu dikenal sebelum ia datang ke negeri tersebut. Para ulama besar, seperti Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, dan 'Abdur Rahman al-Mahdi telah menyebut-nyebut namanya. Sesampainya di Baghdad, Imam asy-Syafi'i رحمه الله mendapat tempat di tengah-tengah masyarakat. Orang-orang pindah belajar kepada beliau dan meninggalkan belajar ke ulama lain. Imam al-Baihaqi رحمه الله meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Tsaur رحمه الله, ujarnya: "Ketika Imam asy-Syafi'i datang ke Irak, datanglah kepadaku Husain al-Karabisi, ia dan aku condong kepada Ahlur Rayu (kelompok ulama yang lebih banyak menggunakan akal daripada dalil syar'i), katanya: 'Telah datang seorang laki-laki Ahli Hadits yang juga Ahli Fiqih. Mari kita ejek dia.' Maka kami pun berangkat menemui Imam asy-Syafi'i. Husain al-Karabisi mencoba menyampaikan sebuah pertanyaan. Maka Imam asy-Syafi'i رحمه الله terus menjawabnya dengan mengutip ayat-ayat al-Qur-an dan banyak hadits hingga akhirnya kami meninggalkan bid'ah yang kami lakukan (karena menggunakan rasio) dan ikut kepadanya.'"[16]

Di sanalah Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله berjumpa dengan Imam asy-Syafi'i رحمه الله, yang sebelumnya mereka pernah bertemu di Madinah. la mengambil ilmu darinya dan ia memujinya dengan berkata: "Dulu putusan-putusan kami, Ashhabul Hadits, didominasi oleh sahabat-sahabat Abu Hanifah. Putusan-putusan itu tidak dicabut sampai datang Imam asy-Syafi'i. Dia adalah orang yang paling paham tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Ia tidak puas dengan hanya mencari sedikit hadits."

Hasan bin Muhammad az-Za'farani رحمه الله berkata: "Kelompok Ashbabul Hadits (ulama yang banyak menggunakan hadits) tertidur cukup lama. Maka datanglah Imam asy-Syafi'i رحمه الله membangunkan mereka."

Imam Ibrahim bin al-Harbi رحمه الله bercerita: "Tatkala Imam asy-Syafi'i رحمه الله datang ke Baghdad, di Masjid Jami al-Gharbi terdapat 20 buah halaqah yang diadakan oleh para ulama Ahlur Ra'yu. Pada Jum'at kedua (setelah Imam asy-Syafi'i رحمه الله datang) yang tersisa hanya 3 atau 4 halaqah saja, padahal Imam asy-Syafi'i رحمه الله tidak menetap di Irak, melainkan ia bolak-balik antara Makkah dan Irak, yakni terkadang di Irak dan terkadang di Makkah." Al-Hasan bin Muhammad az-Za'farani رحمه الله berkata: "Imam asy-Syafi'i رحمه الله datang ke negeri kami pada tahun 195 H. dan menetap selama dua tahun. Setelah itu, ia pergi ke Makkah lalu datang lagi pada tahun 198 H. dan tinggal beberapa bulan dan setelah itu ia pergi ke Mesir."[17]

G.   KEPERGIANNYA KE MESIR



Setelah Imam asy-Syafi'i رحمه الله kembali ke Irak, terjadi beberapa peristiwa di ibukota kekhalifahan yang menjadikannya berencana meninggalkan Irak selamanya. Peristiwa paling besar yang menimpa adalah dikuasainya Khalifah al-Ma'mun oleh para ulama ilmu kalam sehingga merebaklah bid'ah dan matilah Sunnah. Terdengar olehnya bahwa Khalifah mulai terjebak ke dalam pembahasan-pembahasan ilmu kalam, sementara Imam asy-Syafi'i رحمه الله sendiri adalah seorang ahli dalam bidang ilmu kalam dan tahu orang-orangnya.

Imam asy-Syafi'i رحمه الله sangat mengetahui apa yang dihimpun dalam hati mereka (ahlul kalam), berupa kedengkian terhadap para ulama hadits (Ashhabus Sunnah) dan kebencian terhadap sunnah dan para penegaknya sehingga beliau pun mengetahui akibat urusan ini yang sangat berbahaya. Hal itu benar-benar terjadi ketika Khalifah al-Ma'mun dekat dengan para ulama ilmu kalam, bahkan ia menjadikan mereka sebagai penulis dan teman-teman bergaulnya sehingga mereka mendapat kedudukan istimewa yang mengakibatkan timbulnya masalah besar yang melanda dunia Islam. Di antaranya adalah dianggap halalnya darah para ulama (boleh dibunuh) dan diancamnya mayoritas mereka dengan hukuman penjara. Adapun fitnah yang paling besar adalah pendapat bahwa al-Qur-an adalah makhluk (bukan Kalamullah yang qadim) sehingga ummat Islam terus-menerus mengeluhkan bahaya ilmu kalam dan orang-orangnya. Inilah di antara faktor paling besar yang melatarbelakangi keinginan Imam asy-Syafi'i رحمه الله untuk pergi meninggalkan Irak dan pindah ke sebuah negeri yang belum dimasuki oleh filsafat. Negeri yang menjadi pilihannya adalah Mesir. Imam asy-Syafi'i رحمه الله memilih Mesir -wallaahu a'lam- karena madzhab Imam Malik رحمه الله tersebar di negeri itu, dan kita tahu bahwa Imam Malik adalah ulama yang tergolong kelompok Ahlul Hadits, dan Ahlul Hadits adalah orang yang paling jauh dari bid'ah dan ilmu kalam.[18]

Imam asy-Syafi'i رحمه الله memilih Mesir sekalipun sebenarnya hati kecilnya menolak. Ia tidak tahu mengapa harus memilih Mesir, tetapi pada akhirnya ia serahkan dirinya kepada putusan Allah عزّوجلّ. Ia pun pergi meninggalkan Irak dan seisinya demi mempertahankan aqidahnya.

Dalam kaitan ini, Imam asy-Syafi'i رحمه الله bertutur dalam rangkaian bait indah berikut:

لَقَدْ أَصْبَحَتْ نَفْسِي تَتُوْقُ إِلَى مِصْرَ * وَمِنْ دُوْنِهَا أَرْضُ الْـمَهَامَةِ وَالْقَفْرِ

فَوَ اللهِ لَا أَدْرِي أَلِلْفَوْزِ وَالغِنَى * أُسَاقُ إِلَيْهَا أَمْ أُسَاقُ إِلَى الْقَبْرِ

Jiwaku menjadi cenderung ke Mesir, namun aku harus menempuh tanah gersang nan tandus

Wallahi, aku tidak mengetahui untuk mendapatkan kekayaan atau meraih kebahagiaankah aku ke sana atau kepada kuburankah aku digiring?[19]

Sesampainya Imam asy-Syafi'i رحمه الله ke negeri Mesir, ia pergi ke Masjid 'Amr bin al-'Ash. Kemudian, untuk pertama kalinya ia berbicara di situ dan serta merta ia dicintai dan digandrungi orang-orang.[20]

Harun bin Sa'id al-Ayli berkata: "Aku tidak pernah melihat orang semacam Imam asy-Syafi'i رحمه الله. Saat datang ke Mesir, orang-orang berkata: 'Telah datang kepada kita seorang laki-laki Quraisy. Kami pun mendatanginya ketika beliau sedang shalat. Ternyata, kami belum pernah melihat seseorang yang shalatnya lebih baik daripadanya, juga wajah yang lebih tampan daripadanya. Manakala ia berbicara, kami pun belum pernah mendengar ada orang lain yang lebih indah bahasanya daripadanya. Karena itu, kami tertarik kepadanya.[21] Di sanalah ilmu dan keluasan pandangan Imam asy-Syafi'i رحمه الله terlihat. Hal itu ia dapatkan dari pengembaraannya, dan ia telah mengambil banyak pelajaran dari pengembaraan itu. Ia telaah kitab-kitab yang telah ditulisnya lalu ia perbaiki kesalahannya. Dia banyak meralat pendapat-pendapatnya dengan mengemukakan pendapat-pendapat barunya lalu ia pun kembali mengarang kitab. Sementara itu, tidak sedikit dari para ulama yang terpengaruh oleh ilmu, manhaj, dan ke-teguhannya mengikuti Sunnah. Mereka belajar dan berguru kepadanya setelah sebelumnya mereka fanatik terhadap satu madzhab, yakni madzhab Imam Malik bin Anas atau madzhab Imam Abu Hanifah.[22]



H.   WAFATNYA IMAM ASY-SYAFI'I رحمه الله



Di akhir hayatnya, Imam asy-Syafi'i رحمه الله sibuk berdakwah, menyebarkan ilmu, dan mengarang di Mesir, sampai hal itu memberikan mudharat bagi tubuhnya. Akibatnya, ia terkena penyakit wasir yang menyebabkan keluarnya darah. Tetapi, karena kecintaannya terhadap ilmu, Imam asy-Syafi'i رحمه الله tetap melakukan pekerjaannya itu dengan tidak mempedulikan sakitnya, sampai akhirnya beliau wafat pada akhir bulan Rajab tahun 204 H -semoga Allah عزّوجلّ memberikan rahmat yang luas kepadanya-.[23]

Al-Muzani عزّوجلّ berkata: "Tatkala aku menjenguk Imam asy-Syafi'i رحمه الله pada saat sakit yang membawa kepada kematiannya, aku bertanya kepadanya: 'Bagaimana keadaanmu, wahai, Ustadz?' Imam asy-Syafi'i menjawab: 'Aku akan meninggalkan dunia dan berpisah dengan para sahabatku. Aku akan meneguk piala kematian dan akan menghadap Allah serta akan bertemu dengan amal jelekku. Demi Allah, aku tidak tahu kemana ruhku akan kembali: ke surga yang dengannya aku akan bahagia atau ke neraka yang dengannya aku berduka. Kemudian, Imam asy-Syafi'i رحمه الله mengarahkan pandangannya ke langit dengan air mata yang bercucuran, seraya mengucapkan bait-bait sya'ir:





wahai, Ilah, Rabb makhluk semesta

kepada Engkau aku ajukan pengharapan

sekalipun aku seorang yang banyak melakukan dosa

wahai, Dzat pemilik karunia dan kemurahan

tatkala kalbuku keras dan jalan-jalanku sempit,

aku jadikan pengharapan dari-Mu sebagai tangga

dosa-dosaku menguasai diriku,

tetapi ketika aku bandingkan dengan pengampunan-Mu

wahai, Rabbku, jauh lebih besar pengampunan-Mu

Engkau senantiasa Pengampun segala dosa dan kesalahan

Engkau tetap Pemurah dan Pemberi karunia serta kemuliaan

maka andai tidak karena kemurahan-Mu

tidaklah bertahan si penyembah iblis

betapa tidak? ia telah memperdaya kekasih-Mu Adam

bila engkau memaafkan aku,

berarti engkau mengampuni si pelaku kezhaliman

yang penuh gelimang dosa dan kesalahan

dan andai Engkau murka kepadaku,

aku tidak akan putus harapan

sekalipun diriku dimasukkan ke Jahannam

karena dosa-dosa yang aku lakukan

sungguh besar dosaku,

baik yang sekarang maupun yang dahulu

namun, ampunan-Mu lebih besar dan lebih banyak
wahai, Dzat Pemberi maaf.[24]

[1]     Keterangan lebih lanjut ada di halaman berikutnya.

[2]     Abu Yusuf adalah Ya'qub bin Ibrahim bin Habib al-Anshari al-Kufi al-Qadhi, teman Abu Hanifah رحمه الله. Adz-Dzahabi berkata tentangnya: "Abu Yusuf adalah seorang mujtahid, al-'Allamah, dan ahli hadits. Lahir tahun 113 H. dan wafat tahun 182 H. Lihat kitab Siyar A'laamin Nubalaa' (VIII/535).

[3]     Lihat kitab Tawaalit Ta-siis, hlm. 130-132; juga kitab Bid'atut Ta'ashshub karya Muhammad 'led 'Abbasi.

[4]     Lihat kitab Manaaqibusy Syafi'i oleh Imam Baihaqi (I/158).

[5]     Manaaqibusy Syafi'i oleh al-Baihaqi (I/112).

[6]     Al-Intiqaa’ (hlm.97).

[7]     Al-Bidaayah wan Nihaayah (X/263).

[8]     Dari kisah ini dapat kita simpulkan bahwa generasi  salaf رحمهم الله selalu mendengar ucapan pemimpinnya sekalipun mereka dizhalimi dan dipenjara. Mereka tidak memandang bahwa mereka harus berontak kepadanya. Imam asy-Syafi'i رحمه الله misalnya, seperti pada kasusnya ini. Sekalipun dianiaya, ia tetap tidak mengucapkan kata-kata yang buruk dan menyakitkan. Untuk tambahan, silakan Anda baca kitab as-Sunnnah oleh Imam al-Khallal (1/73). Lihat pula ujian yang menimpa Imam Ahmad رحمه الله berkenaan dengan pendapat yang mengatakan bahwa al-Qur-an adalah makhluk.

[9]     Ibid. (I/159).

[10]    Ibid.

[11]    'Aadaabusy Syafi'i (hlm. 33-34).

[12]    Imam asy-Syafi'i dianggap seorang Arab badui/pedusunan karena, -wallaahu 'alam- beliau memakai pakaian seperti mereka atau karena bahasa Arabnya seperti mereka yang begitu fasih, dan hafal ucapan-ucapan mereka, wallaahu a'lam.

[13]    Tawaalit Ta-siis (hlm. 56).

[14]    Lihat kitab Sifatush Shafwah (II/250).

[15]    'Aadaabusy Syafi'i (hlm. 44).

[16]    Manaaqibusy Syafi'i (I/220).

[17]    Manaaqibul Baihaqi (I/220) dan Tawaalit Ta-siis (hlm. 72).

[18]    Lihat kitab Manaaqibusy Syafi'i oleh al-Baihaqi (I/463-465).

[19]    Diiwaanusy Syaafi'i (hlm. 47).

[20]    Manaaqibul Baihaqi (II/284).

[21]    Ibid. (II/284).

[22]    Ibid. (I/238).

[23]    Ibid. (II/291).

[24]    Manaaqibusy Syaafi'i oleh al-Baihaqi (11/293-294), 'Aadaabusy Syafi'i (hlm. 77), dan Diiwaanusy Syaafi'i (hlm. 78).

COBAAN YANG DIALAMI IMAM ASY-SYAFI'I رحمه الله



Setelah surat Panglima itu sampai ke tangan Khalifah Harun ar-Rasyid, Khalifah lalu mengirim surat kepada Gubernur Yaman agar mengusir orang-orang 'Alawiyyin. Maka mereka, di antaranya Imam asy-Syafi, digiring dalam keadaan terikat rantai. Imam asy-Syafi'i رحمه الله disiksa sepanjang jalan menuju Irak. Namun, tidaklah diragukan, pada kejadian-kejadian seperti ini Allah عزّوجلّ akan selalu menolong hamba-Nya yang suka mendekatkan diri kepada-Nya dan pada saat hamba itu berlindung kepada Rabb Jalla wa 'Ala.

Ketika rombongan yang disiksa telah sampai ke Irak, Imam asy-Syafi'i رحمه الله bersama rombongan dihadapkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid. Sejumlah riwayat yang maknanya berdekatan menyebutkan tentang pertemuannya dengan khalifah, kecuali ada satu riwayat dusta yang menyebutkan bahwa Imam Muhammad bin al-Hasan[1] dan Abu Yusuf[2] menyuruh khalifah Harun untuk membunuh Imam asy-Syafi'i.

Riwayat ini tertolak karena ketika Syafi'i masuk negeri Iraq, sekitar tahun 184 H, Abu Yusuf telah meninggal. Lagi pula tidak mungkin kedua orang alim tersebut yang memiliki keutamaan dan sifat wara' menganjurkan Harun ar-Rasyid untuk membunuh seorang yang telah dikenal sebagai orang alim. Riwayat-riwayat ini adalah kebohongan yang dihiasi oleh orang-orang yang fanatik terhadap madzhab tertentu dengan maksud agar dapat mencela para ulama dari madzhab lain, seolah-olah madzhab lain itu tidak berdiri di atas Islam. Ini adalah dampak negatif sikap fanatik terhadap madzhab yang telah menimpa ummat Islam. Orang yang membaca kitab-kitab madzhab akan menemukan keanehan-keanehan seperti kisah ini.

Semua itu menunjukkan kepada kita akan pentingnya kembali/ rujuk kepada al-Qur-an dan Sunnah serta membuang jauh perasaan fanatik. Jika tidak demikian, bagaimana mungkin kekuatan ummat disatupadukan. Namun, bukan di sini tempat menguraikan masalah yang sangat penting tersebut. Akan tetapi, keterangan ini memang harus disampaikan pada kesempatan ini.[3] Satu hal lagi yang menunjukkan kedustaan riwayat ini adalah pada riwayat-riwayat lain dikatakan bahwa Muhammad Ibnul Hasan justru membela asy-Syafi'i di hadapan Harun ar-Rasyid. Oleh sebab itu, ketika Allah menyelamatkan asy-Syafi'i (dari cobaan ini, -ed) beliau menekuni ilmu dari Muhammad Ibnul Hasan dan meminta ilmu darinya.[4]

Mari kita biarkan Imam asy-Syafi'i رحمه الله sendiri yang mencerita-kan kisahnya ketika berhadapan dengan Harun ar-Rasyid: "Kami dihadapkan kepada Harun ar-Rasyid sepuluh-sepuluh orang. Setelah larut malam, ia menyuruh kami berdiri seorang demi seorang. Kemudian, ia berbicara dari balik tabir dan memerintahkan untuk membunuh kami. Ketika sampai pada giliranku, aku berkata kepadanya: 'Wahai, Amirul Mukminin, aku adalah budak dan pelayanmu, Muhammad bin Idris asy-Syafi'i.' Ia tidak menanggapi, dan kembali memerintahkan: 'Tebaslah batang lehernya!' Aku kembali berkata: 'Wahai, Amirul Mukminin, aku ingin bicara, mohon dengarkan! Tanganmu yang terbuka dan kekuasaanmu yang kokoh, engkau pasti akan mendapatkan apa saja yang engkau inginkan dariku.' 'Bicaralah,' tukasnya. Maka aku berbicara: 'Wahai, Khalifah, sepertinya engkau menuduhku menyimpang dari ketaatan kepadamu dan condong kepada mereka. Oleh karena itu, aku akan memberikan perumpamaan kepada tuan berkenaan dengan diri tuan, mereka, dan aku. Apa yang dikatakan seorang Amirul Mukminin tentang seseorang yang mempunyai keponakan. Hanya ada dua keadaan:

1.  Salah seorang di antara keponakannya itu bergaul dengannya dan memasukkan dirinya dalam nasabnya dan menganggap ia sama dengannya dan hartanya haram diganggu olehnya, kecuali seizin dia. Begitu juga anak perempuannya haram diambil, kecuali dengan cara menikahinya. Selain itu, ia melihat bahwa apa yang berlaku baginya sama dengan apa yang berlaku bagi dirinya,

2.  Keponakannya yang lain menyangka bahwa ia adalah orang lain dalam nasab. Dia lebih tinggi, sedangkan orang tersebut adalah budaknya sehingga putrinya pun menjadi budak yang halal diambil tanpa harus melalui pernikahan sebagaimana hartanya halal diambil sesukanya.

Menurut engkau, wahai, Amirul Mukminin, kepada siapakah sepantasnya dia berwala'? Ini adalah perumpamaan antara tuan dan mereka ('Alawiyyin). Khalifah memintaku mengulanginya tiga kali, aku pun melakukannya dengan menggunakan redaksi yang berbeda-beda, tetapi maksudnya sama. Maka khalifah memerintahkan pegawainya untuk memenjarakanku."[5]

Dalam sebagian riwayat yang disampaikan olch Ibnu 'Abdil Barr رحمه الله disebutkan sebagai berikut: "Imam asy-Syafi'i رحمه الله bersama rombongan 'Alawiyyin masuk menghadap Khalifah Harun ar-Rasyid. Mereka menghadapnya satu per satu untuk diinterogasi, sementara yang lainnya menunggu dan mendengarkannya dari balik tabir.

Imam asy-Syafi'i  berkata: "Tibalah giliran seorang pemuda 'Alawi penduduk Madinah besertaku. Khalifah menginterogasinya: 'Engkaukah yang memberontak kepadaku dan menganggapku tidak patut menjadi khalifah?' Pemuda 'Alawiyyah itu menjawab: 'Audzubillah (aku berlindung kepada Allah), saya tidak pernah mengucapkan hal itu.' Maka ia pun diputuskan untuk dibunuh. Mendengar keputusan itu, si pemuda Alawi itu menukas: 'Kalau memang aku harus dibunuh, berilah aku kesempatan untuk menulis surat kepada ibuku di Madinah karena ia seorang tua renta dan tidak mengetahui berita tentang aku. Kemudian, ia pun dibunuh."

"Setelah itu, aku dipanggil, tutur Imam asy-Syafi'i. Sementara Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani duduk di samping khalifah. Setelah khalifah berkata kepadaku seperti yang ia katakan kepada pemuda 'Alawiyyah itu, aku menjawab: "Wahai, Amirul Mukminin, aku bukan suku Thalibi atau 'Alawi. Aku adalah laki-laki keturunan al-Muththalib bin 'Abdi Manaf bin Qushay. Aku aktif dalam bidang ilmu dan fiqih. Tuan al-Qadhi tahu siapa aku. Aku adalah Muhammad bin Idris bin al-'Abbas bin 'Utsman bin Syafi' bin as-Saib bin 'Ubaid bin 'Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin 'Abdi Manaf." "Engkau Muhammad bin Idris?" tanya Khalifah. "Ya, jawabku." Engkau rupanya orang yang pernah diceritakan oleh Muhammad bin al-Hasan." Kemudian, Khalifah Harun memandang Muhammad bin al-Hasan. 'Hai, Muhammad, apakah yang dikatakannya benar?' Muhammad bin al-Hasan menjawab: 'Ya, dia seorang 'alim yang langka.' Khalifah lantas berkata: "Kalau begitu, ia kuserahkan kepadamu sampai ada keputusan."[6]

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata: "Maka Imam asy-Syafi'i رحمه الله dibawa dengan dinaikkan ke atas keledai dalam keadaan terikat,menuju Baghdad pada tahun 184 H. Saat itu usianya 30 tahun. Kemudian, Imam asy-Syafi'i dihadapkan kepada Harun ar-Rasyid dan terjadilah percakapan antara keduanya, sementara Imam Muhammad bin al-Hasan duduk di samping Khalifah Harun dan memuji Imam asy-Syafi'i. Maka jelaslah bagi Harun ar-Rasyid, bahwa tuduhan yang ditujukan kepada Imam asy-Syafi'i tidaklah benar. Selanjutnya, Muhammad bin al-Hasan memberinya tempat kepada Imam asy-Syafi'i, sementara al-Qadhi Abu Yusuf setahun atau dua tahun sebelumnya telah wafat.[7] Asy-Syafi'i dimuliakan oleh Muhammad Ibnul Hasan dan asy-Syafi'i pun menimba ilmu darinya."

Inilah ringkasan dari riwayat-riwayat yang menyebutkan per-temuan Imam asy-Syafi'i رحمه الله dengan Khalifah Harun ar-Rasyid, yang menunjukkan adanya tuduhan Khalifah terhadap Imam asy-Syafi'i رحمه الله dan lepasnya beliau dari apa yang dituduhkan kepadanya. Riwayat-riwayat ini juga menunjukkan bahwa Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani رحمه الله telah mengucapkan kata-kata yang baik tentang Imam asy-Syafi'i dan Amirul Mukminin Harun ar-Rasyid telah mengampuni Imam asy-Syafi'i رحمه الله, bahkan memberinya sebagian harta.[8]



D.  MENDAMPINGI IMAM MUHAMMAD BIN AL-HASAN SETELAH SELAMAT DARI COBAAN



Setelah Allah عزّوجلّ menyelamatkan Imam asy-Syafi'i رحمه الله dari tuduhan itu, ia pun mendampingi Imam Muhammad bin al-Hasan رحمه الله untuk mengambil fiqih dan hadits Irak darinya. Ia menuliskan buku-bukunya dan membacakan kepadanya sampai ia (Muhammad bin al-Hasan) berkata: "Kesabarannya terhadapku seperti kesabaran unta, tidak ada pekerjaan baginya selain hanya mendengarkanku." Imam asy-Syafi'i رحمه الله sangat menghormati Imam Muhammad bin al-Hasan sekalipun antara keduanya sering berdebat dan berselisih pendapat.

Perselisihan keduanya telah terkenal karena madzhab Imam asy-Syafi'i adalah madzhab Ahlul Hadits, sedangkan madzhab Muhammad bin al-Hasan ialah madzhab Ahlur Ra'yi (madzhab yang mengedepankan akal). Seperti penulis katakan bahwa sekalipun Imam asy-Syafi'i berbeda pendapat, ia tetap memuji Muhammad bin al-Hasan رحمه الله: "Aku tidak pernah menjumpai seorang pria gemuk yang cerdas selain Muhammad bin al-Hasan."[9]

Pada kesempatan lain, ia berkata: "Aku tidak pernah melihat seseorang yang ditanya tentang suatu masalah yang harus dianalisa, kecuali kulihat pada wajahnya kebencian, kecuali Muhammad bin al-Hasan."[10]

Sekalipun Imam asy-Syafi'i sangat menghormati dan cinta kepada Muhammad bin al-Hasan, tetapi manakala pendapat Muhammad bin al-Hasan bertentangan dengan dalil, ia tidak segan-segan membantahnya. Oleh karena itu, setelah selesai halaqah dan Muhammad bin al-Hasan keluar, ia sering mengadakan diskusi dan berdebat dengan murid-murid Muhammad, tetapi dengan Imam Muhammad sendiri ia segan karena menghormati gurunya itu, kecuali setelah Imam Muhammad mengajaknya, barulah ia melakukan perdebatan dengannya. Itu terjadi berkali-kali, baik di hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid maupun di majelis Imam Muhammad bin al-Hasan sendiri. Sekalipun Imam asy-Syafi'i رحمه الله menuliskan kitab Muhammad bin al-Hasan, ia tidak menerima begitu saja pandangan yang ditulisnya itu, kecuali apabila sesuai dengan dalil, sedangkan yang tidak sesuai, ia bantah. Dalam kaitan ini, Imam asy-Syafi'i رحمه الله berkata: "Untuk memiliki buku Muhammad bin al-Hasan رحمه الله, aku menghabiskan uang sebanyak 60 dinar. Kemudian, aku mempelajarinya lalu aku tuliskan sebuah hadits di samping setiap masalah." Maksud beliau adalah untuk membantahnya."[11]

Inilah sikap generasi Salafush Shalih dari ummat ini dalam mengikuti dalil (syar'i) sekalipun harus bertentangan dengan ucapan syaikh atau gurunya. Oleh sebab itu, tinggilah derajat ummat ini dan menjadi majulah serta sunnah menjadi tersebar. Di antara penyebab utama kemunduran ummat ini adalah sikap fanatisme mereka yang pura-pura alim terhadap madzhab mereka meskipun menyelisihi dalil syar'i yang shahih dan jelas. Akhirnya, merebaklah bid'ah dan matilah Sunnah. Innaa lillahi wa inna ilaihi raji'un.



E.   KEMBALINYA IMAM ASY-SYAFI'I رحمه الله KE MAKKAH



Setelah Imam asy-Syafi'i رحمه الله memperoleh ilmu dari para ulama Irak, sebelumnya ia telah mendapatkan ilmu dari ulama Hijaz, ia merasa telah tiba saatnya untuk menyebarkan ilmu yang dimilikinya. Oleh karena itu, ia bertekad untuk pulang ke Makkah setelah namanya dikenal. Mulailah ia mengajar di Masjidil Haram tempat dahulu ia belajar menuntut ilmu dari para ulama yang mengajar di sana.

Pada musim haji, ribuan orang dari berbagai penjuru datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Mereka yang telah mendengar nama pemuda Quraisy yang ilmunya mengagumkan, bersemangat untuk mengikuti pengajiannya sehingga nama Imam Syafi'i pun semakin dikenal di berbagai negeri.

Pada kesempatan itu Imam asy-Syafi'i رحمه الله ditemui oleh banyak ulama. Mereka kagum terhadap keluasan ilmunya dan kekuatannya dalam menggunakan dalil serta keteguhannya mengikuti sunnah, juga kedalamannya dalam fiqih dan istinbath (penyimpulan) hukum. Mereka juga kagum terhadap ushul dan kaidah-kaidah fiqih yang telah dibuatnya yang semuanya bersumber dari al-Qur-an dan as-Sunnah. Ushul dan kaidah-kaidah itu kebanyakan belum pernah didengar oleh mereka. Di antara orang yang mendengar ilmu dari Imam asy-Syafi'i ketika itu adalah Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله, yang datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Imam Ahmad رحمه الله masuk ke Masjidil Haram untuk berjumpa dengan para ulama besar dan para pakar hadits, di antara yang masyhur dari mereka adalah Imam Sufyan bin 'Uyainah رحمه الله, syaikhnya Imam asy-Syafi'i.

Tatkala ia ikut pada halaqab Imam asy-Syafi'i, ia mendapati sesuatu yang tidak didapati pada halaqah yang lain. Ia memperoleh sesuatu yang baru selain riwayat hadits. Pada halaqah Imam asy-Syafi'i, ada kupasan fiqih dan kaidah-kaidahnya yang belum pernah didengarkannya. Akhirnya, Imam Ahmad meninggalkan halaqah yang lain yang dipimpin oleh para ulama besar. Kemudian, ia pun ikut halaqah Imam asy-Syafi'i رحمه الله. Muhammad bin al-Fadhl al-Farra' bercerita: "Aku mendengar ayahku berkata: 'Aku pergi haji bersama Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله. Aku tinggal dalam satu tempat bersamanya. Pada pagi hari kami keluar, dan sesampainya di masjid aku berkeliling mencarinya. Aku mendatangi majelis (halaqah) Ibnu 'Uyainah رحمه الله dan yang lainnya untuk mencarinya, tetapi ternyata aku malah menemukannya di halaqah seorang Arab pedusunan.[12] Aku berkata kepada Imam Ahmad رحمه الله: 'Hai, Abu 'Abdillah, mengapa engkau di sini, tidak di halaqah Ibnu 'Uyainah?' Imam Ahmad رحمه الله menjawab: 'Diamlah! Kalau tidak sempat mendengar hadits dengan sanad yang tinggi, kamu akan mendapatkannya dengan sanad yang rendah. Tetapi, jika engkau tidak mengambil ilmu orang ini, kita belum tentu mendapatkannya dari yang lain. Karena aku tidak melihat ada seorang yang lebih faqih tentang Kitabullah melebihi pemuda ini.' 'Siapa dia?' tanyaku. Imam Ahmad رحمه الله menjawab: 'Muhammad bin Idris.'"[13]

Dari Ishaq bin Rahawaih رحمه الله, ia berkata: "Ketika aku bersama Ahmad bin Hanbal di Makkah, ia berkata: 'Mari, ikut aku. Akan kutunjukkan kepadamu seorang yang belum pernah engkau lihat.' Ternyata, orang itu adalah Imam asy-Syafi'i."[14]

Imam Al-Humaidi رحمه الله juga berkata: "Ketika Ahmad bin Hanbal رحمه الله tinggal bersama kami di Makkah, ia ikut halaqah Sufyan bin 'Uyainah رحمه الله. Pada suatu hari, ia mengajakku ke suatu tempat, katanya: 'Di sana ada seorang laki-laki dari Quraisy yang mempunyai pengetahuan dan kemampuan berbicara yang sangat baik.' 'Siapa dia?' tanyaku. Imam Ahmad menjawab: 'Muhammad bin Idris asy-Syafi'i.' Pada saat di Irak, Imam Ahmad bin Hanbal pernah ikut di majelis pengajiannya. Karena ia selalu membujukku, akhirnya aku pun duduk bersamanya. Setelah mendengar uraiannya tentang beberapa masalah, kami bangun. 'Bagaimana pendapatmu?' tanya Ahmad bin Hanbal. Aku berusaha mencari-cari kesalahannya, dan itu semua saya lakukan karena ada kedengkian terhadap orang Quraisy. Maka Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله berkata: 'Rupanya engkau tidak senang jika ada pria Quraisy memiliki ilmu dan keindahan bahasa seperti itu. Dia membahas seratus masalah, tetapi salahnya hanya lima atau hanya sepuluh. Tinggalkanlah yang salah dan ambillah yang benar!'"[15]

Hingga hampir sembilan tahun Imam asy-Syafi'i رحمه الله mengadakan majelis pengajian di Makkah hingga beliau pergi ke Irak.



F.  PERJALANANNYA KE IRAK YANG KEDUA



Imam asy-Syafi'i رحمه الله untuk kedua kalinya pergi ke Irak pada tahun 195 H. Perjalanannya yang kedua ini berbeda dengan perjalanannya yang pertama. Jika yang pertama karena diusir, maka yang kedua ini karena kemauannya sendiri. Untuk kali kedua ini, namanya di Baghdad telah terlebih dahulu dikenal sebelum ia datang ke negeri tersebut. Para ulama besar, seperti Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, dan 'Abdur Rahman al-Mahdi telah menyebut-nyebut namanya. Sesampainya di Baghdad, Imam asy-Syafi'i رحمه الله mendapat tempat di tengah-tengah masyarakat. Orang-orang pindah belajar kepada beliau dan meninggalkan belajar ke ulama lain. Imam al-Baihaqi رحمه الله meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Tsaur رحمه الله, ujarnya: "Ketika Imam asy-Syafi'i datang ke Irak, datanglah kepadaku Husain al-Karabisi, ia dan aku condong kepada Ahlur Rayu (kelompok ulama yang lebih banyak menggunakan akal daripada dalil syar'i), katanya: 'Telah datang seorang laki-laki Ahli Hadits yang juga Ahli Fiqih. Mari kita ejek dia.' Maka kami pun berangkat menemui Imam asy-Syafi'i. Husain al-Karabisi mencoba menyampaikan sebuah pertanyaan. Maka Imam asy-Syafi'i رحمه الله terus menjawabnya dengan mengutip ayat-ayat al-Qur-an dan banyak hadits hingga akhirnya kami meninggalkan bid'ah yang kami lakukan (karena menggunakan rasio) dan ikut kepadanya.'"[16]

Di sanalah Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله berjumpa dengan Imam asy-Syafi'i رحمه الله, yang sebelumnya mereka pernah bertemu di Madinah. la mengambil ilmu darinya dan ia memujinya dengan berkata: "Dulu putusan-putusan kami, Ashhabul Hadits, didominasi oleh sahabat-sahabat Abu Hanifah. Putusan-putusan itu tidak dicabut sampai datang Imam asy-Syafi'i. Dia adalah orang yang paling paham tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Ia tidak puas dengan hanya mencari sedikit hadits."

Hasan bin Muhammad az-Za'farani رحمه الله berkata: "Kelompok Ashbabul Hadits (ulama yang banyak menggunakan hadits) tertidur cukup lama. Maka datanglah Imam asy-Syafi'i رحمه الله membangunkan mereka."

Imam Ibrahim bin al-Harbi رحمه الله bercerita: "Tatkala Imam asy-Syafi'i رحمه الله datang ke Baghdad, di Masjid Jami al-Gharbi terdapat 20 buah halaqah yang diadakan oleh para ulama Ahlur Ra'yu. Pada Jum'at kedua (setelah Imam asy-Syafi'i رحمه الله datang) yang tersisa hanya 3 atau 4 halaqah saja, padahal Imam asy-Syafi'i رحمه الله tidak menetap di Irak, melainkan ia bolak-balik antara Makkah dan Irak, yakni terkadang di Irak dan terkadang di Makkah." Al-Hasan bin Muhammad az-Za'farani رحمه الله berkata: "Imam asy-Syafi'i رحمه الله datang ke negeri kami pada tahun 195 H. dan menetap selama dua tahun. Setelah itu, ia pergi ke Makkah lalu datang lagi pada tahun 198 H. dan tinggal beberapa bulan dan setelah itu ia pergi ke Mesir."[17]

G.   KEPERGIANNYA KE MESIR



Setelah Imam asy-Syafi'i رحمه الله kembali ke Irak, terjadi beberapa peristiwa di ibukota kekhalifahan yang menjadikannya berencana meninggalkan Irak selamanya. Peristiwa paling besar yang menimpa adalah dikuasainya Khalifah al-Ma'mun oleh para ulama ilmu kalam sehingga merebaklah bid'ah dan matilah Sunnah. Terdengar olehnya bahwa Khalifah mulai terjebak ke dalam pembahasan-pembahasan ilmu kalam, sementara Imam asy-Syafi'i رحمه الله sendiri adalah seorang ahli dalam bidang ilmu kalam dan tahu orang-orangnya.

Imam asy-Syafi'i رحمه الله sangat mengetahui apa yang dihimpun dalam hati mereka (ahlul kalam), berupa kedengkian terhadap para ulama hadits (Ashhabus Sunnah) dan kebencian terhadap sunnah dan para penegaknya sehingga beliau pun mengetahui akibat urusan ini yang sangat berbahaya. Hal itu benar-benar terjadi ketika Khalifah al-Ma'mun dekat dengan para ulama ilmu kalam, bahkan ia menjadikan mereka sebagai penulis dan teman-teman bergaulnya sehingga mereka mendapat kedudukan istimewa yang mengakibatkan timbulnya masalah besar yang melanda dunia Islam. Di antaranya adalah dianggap halalnya darah para ulama (boleh dibunuh) dan diancamnya mayoritas mereka dengan hukuman penjara. Adapun fitnah yang paling besar adalah pendapat bahwa al-Qur-an adalah makhluk (bukan Kalamullah yang qadim) sehingga ummat Islam terus-menerus mengeluhkan bahaya ilmu kalam dan orang-orangnya. Inilah di antara faktor paling besar yang melatarbelakangi keinginan Imam asy-Syafi'i رحمه الله untuk pergi meninggalkan Irak dan pindah ke sebuah negeri yang belum dimasuki oleh filsafat. Negeri yang menjadi pilihannya adalah Mesir. Imam asy-Syafi'i رحمه الله memilih Mesir -wallaahu a'lam- karena madzhab Imam Malik رحمه الله tersebar di negeri itu, dan kita tahu bahwa Imam Malik adalah ulama yang tergolong kelompok Ahlul Hadits, dan Ahlul Hadits adalah orang yang paling jauh dari bid'ah dan ilmu kalam.[18]

Imam asy-Syafi'i رحمه الله memilih Mesir sekalipun sebenarnya hati kecilnya menolak. Ia tidak tahu mengapa harus memilih Mesir, tetapi pada akhirnya ia serahkan dirinya kepada putusan Allah عزّوجلّ. Ia pun pergi meninggalkan Irak dan seisinya demi mempertahankan aqidahnya.

Dalam kaitan ini, Imam asy-Syafi'i رحمه الله bertutur dalam rangkaian bait indah berikut:

لَقَدْ أَصْبَحَتْ نَفْسِي تَتُوْقُ إِلَى مِصْرَ * وَمِنْ دُوْنِهَا أَرْضُ الْـمَهَامَةِ وَالْقَفْرِ

فَوَ اللهِ لَا أَدْرِي أَلِلْفَوْزِ وَالغِنَى * أُسَاقُ إِلَيْهَا أَمْ أُسَاقُ إِلَى الْقَبْرِ

Jiwaku menjadi cenderung ke Mesir, namun aku harus menempuh tanah gersang nan tandus

Wallahi, aku tidak mengetahui untuk mendapatkan kekayaan atau meraih kebahagiaankah aku ke sana atau kepada kuburankah aku digiring?[19]

Sesampainya Imam asy-Syafi'i رحمه الله ke negeri Mesir, ia pergi ke Masjid 'Amr bin al-'Ash. Kemudian, untuk pertama kalinya ia berbicara di situ dan serta merta ia dicintai dan digandrungi orang-orang.[20]

Harun bin Sa'id al-Ayli berkata: "Aku tidak pernah melihat orang semacam Imam asy-Syafi'i رحمه الله. Saat datang ke Mesir, orang-orang berkata: 'Telah datang kepada kita seorang laki-laki Quraisy. Kami pun mendatanginya ketika beliau sedang shalat. Ternyata, kami belum pernah melihat seseorang yang shalatnya lebih baik daripadanya, juga wajah yang lebih tampan daripadanya. Manakala ia berbicara, kami pun belum pernah mendengar ada orang lain yang lebih indah bahasanya daripadanya. Karena itu, kami tertarik kepadanya.[21] Di sanalah ilmu dan keluasan pandangan Imam asy-Syafi'i رحمه الله terlihat. Hal itu ia dapatkan dari pengembaraannya, dan ia telah mengambil banyak pelajaran dari pengembaraan itu. Ia telaah kitab-kitab yang telah ditulisnya lalu ia perbaiki kesalahannya. Dia banyak meralat pendapat-pendapatnya dengan mengemukakan pendapat-pendapat barunya lalu ia pun kembali mengarang kitab. Sementara itu, tidak sedikit dari para ulama yang terpengaruh oleh ilmu, manhaj, dan ke-teguhannya mengikuti Sunnah. Mereka belajar dan berguru kepadanya setelah sebelumnya mereka fanatik terhadap satu madzhab, yakni madzhab Imam Malik bin Anas atau madzhab Imam Abu Hanifah.[22]



H.   WAFATNYA IMAM ASY-SYAFI'I رحمه الله



Di akhir hayatnya, Imam asy-Syafi'i رحمه الله sibuk berdakwah, menyebarkan ilmu, dan mengarang di Mesir, sampai hal itu memberikan mudharat bagi tubuhnya. Akibatnya, ia terkena penyakit wasir yang menyebabkan keluarnya darah. Tetapi, karena kecintaannya terhadap ilmu, Imam asy-Syafi'i رحمه الله tetap melakukan pekerjaannya itu dengan tidak mempedulikan sakitnya, sampai akhirnya beliau wafat pada akhir bulan Rajab tahun 204 H -semoga Allah عزّوجلّ memberikan rahmat yang luas kepadanya-.[23]

Al-Muzani عزّوجلّ berkata: "Tatkala aku menjenguk Imam asy-Syafi'i رحمه الله pada saat sakit yang membawa kepada kematiannya, aku bertanya kepadanya: 'Bagaimana keadaanmu, wahai, Ustadz?' Imam asy-Syafi'i menjawab: 'Aku akan meninggalkan dunia dan berpisah dengan para sahabatku. Aku akan meneguk piala kematian dan akan menghadap Allah serta akan bertemu dengan amal jelekku. Demi Allah, aku tidak tahu kemana ruhku akan kembali: ke surga yang dengannya aku akan bahagia atau ke neraka yang dengannya aku berduka. Kemudian, Imam asy-Syafi'i رحمه الله mengarahkan pandangannya ke langit dengan air mata yang bercucuran, seraya mengucapkan bait-bait sya'ir:





wahai, Ilah, Rabb makhluk semesta

kepada Engkau aku ajukan pengharapan

sekalipun aku seorang yang banyak melakukan dosa

wahai, Dzat pemilik karunia dan kemurahan

tatkala kalbuku keras dan jalan-jalanku sempit,

aku jadikan pengharapan dari-Mu sebagai tangga

dosa-dosaku menguasai diriku,

tetapi ketika aku bandingkan dengan pengampunan-Mu

wahai, Rabbku, jauh lebih besar pengampunan-Mu

Engkau senantiasa Pengampun segala dosa dan kesalahan

Engkau tetap Pemurah dan Pemberi karunia serta kemuliaan

maka andai tidak karena kemurahan-Mu

tidaklah bertahan si penyembah iblis

betapa tidak? ia telah memperdaya kekasih-Mu Adam

bila engkau memaafkan aku,

berarti engkau mengampuni si pelaku kezhaliman

yang penuh gelimang dosa dan kesalahan

dan andai Engkau murka kepadaku,

aku tidak akan putus harapan

sekalipun diriku dimasukkan ke Jahannam

karena dosa-dosa yang aku lakukan

sungguh besar dosaku,

baik yang sekarang maupun yang dahulu

namun, ampunan-Mu lebih besar dan lebih banyak
wahai, Dzat Pemberi maaf.[24]

[1]     Keterangan lebih lanjut ada di halaman berikutnya.

[2]     Abu Yusuf adalah Ya'qub bin Ibrahim bin Habib al-Anshari al-Kufi al-Qadhi, teman Abu Hanifah رحمه الله. Adz-Dzahabi berkata tentangnya: "Abu Yusuf adalah seorang mujtahid, al-'Allamah, dan ahli hadits. Lahir tahun 113 H. dan wafat tahun 182 H. Lihat kitab Siyar A'laamin Nubalaa' (VIII/535).

[3]     Lihat kitab Tawaalit Ta-siis, hlm. 130-132; juga kitab Bid'atut Ta'ashshub karya Muhammad 'led 'Abbasi.

[4]     Lihat kitab Manaaqibusy Syafi'i oleh Imam Baihaqi (I/158).

[5]     Manaaqibusy Syafi'i oleh al-Baihaqi (I/112).

[6]     Al-Intiqaa’ (hlm.97).

[7]     Al-Bidaayah wan Nihaayah (X/263).

[8]     Dari kisah ini dapat kita simpulkan bahwa generasi  salaf رحمهم الله selalu mendengar ucapan pemimpinnya sekalipun mereka dizhalimi dan dipenjara. Mereka tidak memandang bahwa mereka harus berontak kepadanya. Imam asy-Syafi'i رحمه الله misalnya, seperti pada kasusnya ini. Sekalipun dianiaya, ia tetap tidak mengucapkan kata-kata yang buruk dan menyakitkan. Untuk tambahan, silakan Anda baca kitab as-Sunnnah oleh Imam al-Khallal (1/73). Lihat pula ujian yang menimpa Imam Ahmad رحمه الله berkenaan dengan pendapat yang mengatakan bahwa al-Qur-an adalah makhluk.

[9]     Ibid. (I/159).

[10]    Ibid.

[11]    'Aadaabusy Syafi'i (hlm. 33-34).

[12]    Imam asy-Syafi'i dianggap seorang Arab badui/pedusunan karena, -wallaahu 'alam- beliau memakai pakaian seperti mereka atau karena bahasa Arabnya seperti mereka yang begitu fasih, dan hafal ucapan-ucapan mereka, wallaahu a'lam.

[13]    Tawaalit Ta-siis (hlm. 56).

[14]    Lihat kitab Sifatush Shafwah (II/250).

[15]    'Aadaabusy Syafi'i (hlm. 44).

[16]    Manaaqibusy Syafi'i (I/220).

[17]    Manaaqibul Baihaqi (I/220) dan Tawaalit Ta-siis (hlm. 72).

[18]    Lihat kitab Manaaqibusy Syafi'i oleh al-Baihaqi (I/463-465).

[19]    Diiwaanusy Syaafi'i (hlm. 47).

[20]    Manaaqibul Baihaqi (II/284).

[21]    Ibid. (II/284).

[22]    Ibid. (I/238).

[23]    Ibid. (II/291).

[24]    Manaaqibusy Syaafi'i oleh al-Baihaqi (11/293-294), 'Aadaabusy Syafi'i (hlm. 77), dan Diiwaanusy Syaafi'i (hlm. 78).

Biografi Imam Syafií Bagian 1



NAMA IMAM ASY-SYAFI'I رحمه الله DAN NASABNYA

Imam asy-Syafi'i رحمه الله adalah Muhammad bin Idris bin al-'Abbas bin 'Utsman bin Syaffi'i bin as-Saib bin 'Ubaid bin 'Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin 'Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luay bin Ghalib, Abu 'Abdillah al-Qurasyi asy-Syafi'i al-Makki, keluarga dekat Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan putra pamannya.
Al-Muththalib adalah saudara Hasyim, ayah dari 'Abdul Muththalib. Kakek Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan kakek Imam asy-Syafi'i رحمه الله berkumpul (bertemu nasabnya) pada 'Abdi Manaf bin Qushay,  kakek  Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang ketiga.
Imam an-Nawawi رحمه الله berkata: "Imam asy-Syafi'i رحمه الله adalah Qurasyi (berasal dari suku Quraisy) dan Muththalibi (keturunan Muththalib) berdasarkan ijma' para ahli riwayat dari semua golongan, sementara ibunya berasal dari suku Azdiyah".
Imam asy-Syafi'i رحمه الله dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama Syafi' bin as-Saib, seorang Sahabat kecil yang sempat bertemu dengan Rasulullah صلى الله عليه وسلم ketika masih muda.
Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Nabi صلى الله عليه وسلم berada di sebuah tempat yang bernama Fusthath. Kemudian, datanglah kepadanya as-Saib bin ‘Ubaid beserta putranya yaitu, Syafi' bin as-Saib. Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم memandangnya dan bersabda:
مِنْ سَعَادَةِ الْـمَرْءِ أَنْ يُشْبِهَ أَبَاهُ
"Suatu kebahagiaan bila seseorang mirip dengan ayahnya,"
As-Saib bin 'Ubaid sendiri mirip dengan Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Pada Perang Badar ia memegang bendera Bani Hasyim bersama pasukan musyrikin. Setelah tertawan, ia menebus dirinya dan masuk Islam. Ketika ia ditanya: "Mengapa engkau tidak memeluk Islam sebelum engkau menebus dirimu?" Ia menjawab: "Tidak patut aku menghalangi kaum Mukminin (untuk menerima tebusan dariku) karena keinginan mereka yang begitu besar (agar aku menebus) diriku."
Imam al-Hakim رحمه الله meriwayatkan dalam Manaaqibusy Syafi’i dengan sanadnya bahwa as-Saib suatu ketika jatuh sakit. Maka Umar bin al-Khaththab رضي الله عنه mengajak para Sahabat untuk menjenguknya. "As-Saib adalah orang Quraisy yang paling murni nasabnya,"  ucap  Umar رضي الله عنه. Ketika ia didatangkan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم bersama dengan al-Abbas رضي الله عنه, pamannya, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
هَذَا أَحِى، وَأَنَا أَحُوْهُ
"Ini saudaraku dan aku saudaranya."



GELAR IMAM ASY-SYAFI’I رحمه الله

Adapun gelarnya adalah "Naashirul Hadiits" (pembela hadits). Beliau mendapat gelar ini karena dikenal sebagai pembela hadits Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan komitmennya dalam mengikuti sunnah.  Rincian rentang hal ini, insya Allah akan ada dalam pembahasan mengenai manhaj-nya dalam menetapkan aqidah.

Pembahasan Kedua:
KELAHIRAN DAN PERTUMBUHANNYA

A.  TAHUN KELAHIRANNYA

Para sejarawan sepakat bahwa Imam asy-Syafi'i رحمه الله lahir pada tahun 150 H, yang merupakan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah رحمه الله.
Imam al-Hakim رحمه الله berkata: "Saya tidak menemukan adanya perselisihan pendapat bahwa Imam asy-Syafi'i رحمه الله lahir pada tahun 150 H, tahun wafatnya Imam Abu Hanifah رحمه الله. Hal ini mengisyaratkan bahwa Imam asy-Syafi'i رحمه الله menggantikan Imam Abu Hanifah رحمه الله dalam bidang yang digelutinya."
Ada pendapat yang mengatakan bahwa Imam asy-Syafi'i رحمه الله lahir pada hari meninggalnya Imam Abu Hanifah. Pendapat ini disinyalir tidak benar, tetapi pendapat ini bukan pendapat yang sangat lemah karena Abul Hasan Muhammad bin Husain bin Ibrahim رحمه الله dalam Manaaqibusy Syafi'i meriwayatkan dengan sanad jayyid bahwa Imam ar-Rabi' bin Sulaiman رحمه الله berkata: "Imam asy-Syafi'i lahir pada hari kematian Imam Abu Hanifah." Namun, kata yaum pada kalimat ini dapat diartikan lain karena secara umum, kata itu bisa diartikan masa atau zaman.
Menurut pendapat yang shahih, Imam Abu Hanifah رحمه الله wafat pada tahun 150 H. Akan tetapi, ada yang berpendapat bahwa beliau wafat pada tahun 151 H. Pendapat lainnya lagi menyatakan bahwa beliau wafat pada tahun 153 H. Hanya saja, saya tidak menemukan dalam buku-buku tarikh (sejarah) yang menyebutkan bulannya secara pasti. Dengan demikian, para sejarawan tidak ada yang berselisih sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa Imam asy-Syafi'i رحمه الله lahir pada tahun 150 H., namun tidak ada yang memastikan bulannya. Inilah yang menjadikan penuturan Imam ar-Rabi' bin Sulaiman tersebut lebih mungkin dapat dipahami jika dilihat tidak secara lahiriyah-nya, melainkan dengan cara ditakwil, yaitu kata yaum yang dimaksudkan adalah masa atau zaman. Wallaahu a'lam.

B.   TEMPAT KELAHIRANNYA

Ada banyak riwayat yang menyebutkan tentang tempat kelahiran Imam asy-Syafi'i رحمه الله. Yang paling populer adalah beliau dilahirkan di kota Ghazzah. Pendapat lain mengatakan di kota 'Asqalan, sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa beliau dilahirkan di Yaman.
Disebutkan dalam riwayat Ibnu Abi Hatim رحمه الله dari 'Amr bin Sawad, ia berkata: "Imam asy-Syafi'i رحمه الله berkata kepadaku: "Aku dilahirkan di negeri 'Asqalan. Ketika aku berusia dua tahun, ibuku membawaku ke Makkah."
Sementara Imam al-Baihaqi menyebutkan dengan sanadnya, dari Muhammad bin 'Abdillah bin 'Abdul Hakim, ia berkata: "Aku mendengar Imam asy-Syafi'i رحمه الله berkata: "Aku dilahirkan di negeri Ghazzah. Kemudian, aku dibawa oleh ibuku ke "Asqalan."
Dalam riwayat lain, Ibnu Abi Hatim رحمه الله meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada putra saudaranya, 'Abdullah bin Wahb رحمه الله, ia berkata: "Aku mendengar Muhammad bin Idris asy-Syafi'i رحمه الله berkata: "Aku dilahirkan di Yaman. Karena ibuku khawatir aku terlantar, ia pun berkata: "Temuilah keluargamu agar engkau menjadi seperti mereka sebab aku khawatir nasabmu terkalahkan. Maka ibuku membawaku ke Makkah ketika aku berusia sepuluh tahun.'"
Imam al-Baihaqi رحمه الله memadukan riwayat-riwayat ini. Setelah menyebutkan riwayat putra saudaranya, "Abdullah bin Wahb, ia berkata: "Begitulah yang terdapat dalam riwayat, yaitu bahwa Imam asy-Syafi'i رحمه الله dilahirkan di Yaman. Akan tetapi, menurut pendapat yang shahih, ia dilahirkan di kota Ghazzah."
Selanjutnya al-Baihaqi berkata: "Ada kemungkinan yang ia maksudkan adalah tempat yang dihuni oleh sebagian keturunan Yaman di kota Ghazzah."
Lebih lanjut, al-Baihaqi رحمه الله berkata: "Seluruh riwayat menunjukkan bahwa Imam asy-Syafi'i dilahirkan di kota Ghazzah kemudian ia dibawa ke 'Asqalan lalu ke Makkah. Wallaahu a'lam.
Al-Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله berkata: "Tidak ada pertentangan antara satu riwayat dengan riwayat yang lain. 'Asqalan adalah kota yang sejak dahulu telah dikenal, sementara Ghazzah berdekatan dengan-nya. Jadi, bila Imam asy-Syafi'i mengatakan bahwa ia dilahirkan di 'Asqalan, berarti maksudnya adalah kotanya, sedangkan Ghazzah adalah kampungnya."
Ibnu Hajar رحمه الله kembali berkata: "Pendapat-pendapat ini dapat dipadukan, yakni bahwa Imam asy-Syafi'i dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di 'Asqalan. Ketika memasuki usia dua tahun, ibunya membawanya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang terdiri dari orang-orang Yaman karena ibunya dari suku Azdiyah. Ketika Imam asy-Syafi'i berumur sepuluh tahun, ia dibawa ke Makkah karena ibunya khawatir nasab (keturunannya) yang mulia itu lenyap dan terlupakan."
Dengan penggabungan riwayat-riwayat ini, hilanglah ketidakjelasan dan pertentangan antara seluruh riwayat. Wallaahu a'lam.

C.  PERTUMBUHAN DAN KEGIATANNYA
DALAM MENCARI ILMU

Imam asy-Syafi'i رحمه الله tumbuh di negeri Ghazzah sebagai seorang yatim setelah ayahnya meninggal. Oleh karena itu, berkumpullah pada dirinya kefakiran, keyatiman, dan keterasingan dari keluarga. Namun, kondisi ini tidak menjadikannya lemah dalam menghadapi kehidupan setelah Allah عزّوجلّ memberinya taufik untuk menempuh jalan yang benar. Setelah sang ibu membawanya ke tanah Hijaz, yakni kota Makkah, menurut riwayat terbanyak atau tempat dekat Makkah, mulailah Imam asy-Syafi'i رحمه الله menghafal al-Qur-an sehingga ia berhasil merampungkan hafalannya pada usia tujuh tahun.
Imam asy-Syafi'i رحمه الله bercerita: "Aku hidup sebagai yatim di dalam asuhan lbuku. Ibuku tidak mampu membayar seorang guru untuk mengajariku. Tetapi, guru itu ridha dan senang jika aku menjadi penggantinya. Maka setelah aku menamatkan al-Qur-an, aku hadir di masjid dan berkumpul bersama para ulama untuk menghafal hadits atau masalah agama, sementara tempat tinggal kami terletak di Jalan Bukit al-Khaif. Aku menulis (apa yang aku dapatkan) di atas tulang. Setelah banyak, tulang-tulang (yang berisi tulisan itu) aku masukkan ke dalam sebuah bejana besar."
Imam asy-Syafi'i رحمه الله berkata: "Aku datang ke Makkah ketika berusia sepuluh tahun atau sekitar itu. Setelah aku bergabung dengan sanak saudara di sana dan ketika salah seorang dari mereka melihatku bersemangat untuk mencari ilmu, ia pun menasehatiku: 'Janganlah tergesa-gesa dalam (mempelajari) ilmu ini dan bersungguh-sungguhlah atas apa yang bermanfaat bagimu.' Maksudnya, bekerja mencari nafkah. Beliau berkata: "Maka kujadikan kelezatanku dalam menuntut ilmu sehingga Allah عزّوجلّ menganugerahkan rizki karenanya."   Selanjutnya, ia berkata: "Aku miskin, tidak punya harta, dan aku belajar ketika masih kecil. Untuk mendapatkan ilmu, aku harus pergi ke perpustakaan dan menggunakan bagian luar dari kulit yang aku jumpai untuk menuliskannya."
Imam asy-Syafi'i begitu tekun belajar sehingga ia dapat menghafal al-Qur-an pada usia 7 tahun dan hafal kitab al-Muwaththa' (karya Imam Malik رحمه الله, -pent.) dalam usia 10 tahun. Pada saat ia berusia 15 tahun (ada yang mengatakan 18 tahun). Imam asy-Syafi'i berfatwa setelah mendapat izin dari syaikhnya yang bernama Muslim bin Khalid az-Zanji رحمه الله. Imam asy-Syafi'i رحمه الله menaruh perhatian yang besar kepada sya'ir dan bahasa sehingga ia hafal sya'ir dari suku Hudzail.
Bahkan, ia hidup bergaul bersama mereka selama sepuluh atau dua puluh tahun menurui satu riwayat. Kepada merekalah Imam asy-Syafi'i belajar bahasa Arab dan balaghah. Imam asy-Syafi'i belajar banyak hadits kepada para syaikh dan imam. Dia membaca sendiri kitab al-Muwaththa' di hadapan Imam Malik bin Anas رحمه الله dengan hafalan sehingga Imam Malik pun kagum terhadap bacaan dan kemauannya. Imam asy-Syafi'i رحمه الله juga menimba dari Imam Malik رحمه الله; ilmu para ulama Hijaz setelah ia mengambil banyak ilmu dari Syaikh Muslim bin Khalid az-Zanji رحمه الله. Selain itu, Imam asy-Syafi'i رحمه الله juga mengambil banyak riwayat dari banyak ulama, juga belajar al-Qur-an kepada Isma'il bin Qasthanthin (yang diriwayatkan, -ed) dari Syibl, dari Ibnu Katsir al-Makki, dari Mujahid رحمه الله, dari Ibnu 'Abbas رضي الله عنهما, dari Ubay bin Ka'ab رضي الله عنه dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم.

Pembahasan Ketiga:
PENGEMBARAAN IMAM ASY-SYAFFI رحمه الله
DALAM MENCARI ILMU

Setelah Imam asy-Syafi'i رحمه الله hafal al-Qur-an al-Karim di Makkah, beliau pun senang akan sya'ir dan bahasa sehingga ia selalu bolak-balik ke suku Hudzail untuk menghafal sya'ir-sya'ir mereka. Yang tampak adalah bahwa ia telah hafal banyak dari sya'ir-sya'ir mereka sejak kecil, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Abarri melalui jalur ar-Rabi' bin Sulaiman", ia berkata: "Aku mendengar Imam asy-Syafi'i berkata: 'Ketika aku berada di sebuah tempat belajar, aku mendengar seorang guru mengajarkan suatu kalimat lalu aku menghafalnya.' Katanya lagi: 'Aku keluar dari Makkah sesudah menginjak usia baligh. Setelah itu, aku menetap di tengah-tengah suku Hudzail di pedusunan. Aku mempelajari bahasa dan mengambil ucapan-ucapan mereka. Sungguh, mereka adalah kabilah Arab yang paling fasih bahasanya."
Imam al-Hakim رحمه الله meriwayatkan melalui jalur Mush'ab az-Zubairi, ia berkata: "Imam asy-Syafi'i membaca sya'ir-sya'ir Hudzail dengan cara dihafal. Kemudian, ia berkata kepadaku: 'Jangan kamu ceritakan ini kepada siapa pun.' Di permulaan malam, ia mengulang-ulang pelajarannya bersama ayahku hingga shubuh." Pada awalnya, Imam asy-Syafi'i belajar sya'ir, sejarah, dan peperangan bangsa Arab, juga sastra, dan setelah itu baru belajar fiqih. Yang mendorongnya mendalami ilmu fiqih adalah karena ketika Imam asy-Syafi'i pergi menaiki seekor binatang, ia pun membaca bait-bait sya'ir. Mendengar bacaan itu, berkata kepadanya sekretaris orang tuanya, Mush'ab bin 'Abdullah az-Zubairi: "Orang seperti kamu jika menjadi penyair akan hilang perangainya sebagai manusia, kecuali engkau belajar fiqih." Dari kejadian tersebut tergugahlah hati Imam asy-Syafi'i رحمه الله untuk mendalami fiqih. Sesudah itu, ia pun mendatangi Muslim bin Khalid az-Zanji, seorang mufti Makkah, dan berguru kepadanya. Selanjutnya, Imam asy-Syafi'i pergi ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik.
Diriwayatkan bahwa yang menyuruhnya mendalami fiqih adalah syaikhnya sendiri, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji رحمه الله, seperti disebutkan dalam riwayat al-Baihaqi melalui jalur Abu Bakar al-Humaidi رحمه الله, ia berkata: "Imam asy-Syafi'i bercerita: 'Aku keluar untuk belajar nahwu dan sastra. Kemudian, aku berjumpa dengan Syaikh Muslim bin Khalid az-Zanji رحمه الله lalu ia bertanya kepadaku: 'Hai, anak muda, dari mana asalmu?' Aku menjawab: 'Dari keluarga yang berasal dari Makkah.' 'Di mana kamu tinggal,' tanyanya lagi. Aku menjawab: 'Di Jalan Bukit al-Khaif.' 'Dari suku apa?' tanyanya lagi. 'Dari keturunan 'Abdi Manaf.' jawabku. Maka Syaikh Muslim berkata: 'Bagus, bagus. Allah عزّوجلّ telah memuliakanmu di dunia dan akhirat. Alangkah baiknya jika engkau mempelajari fiqih."
Apa pun yang melatarbelakangi Imam asy-Syafi'i رحمه الله  mempelajari fiqih, keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa setelah menghafal al-Qur-an, Imam asy-Syafi'i رحمه الله pergi ke suku Hudzail di sekitar Makkah untuk mempelajari bahasa mereka dan menghafal sya'ir-sya'irnya. Setelah itu, ia mengubah orientasinya untuk mendalami fiqih dan berguru kepada seorang mufti Makkah, yaitu Syaikh Muslim bin Khalid az-Zanji رحمه الله. Sesudah Imam asy-Syafi'i banyak menimba ilmu darinya, barulah ia mengadakan pengembaraan pertama ke Madinah.
A.  PENGEMBARAANNYA KE MADINAH DAN PERTEMUANNYA DENGAN IMAM MALIK BIN ANAS رحمه الله

Sebelum pergi ke Madinah untuk menemui Imam Malik, Imam asy-Syafi'i رحمه الله terlebih dahulu mempersiapkan diri dengan menghafal kitab al-Muwaththa'. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ia hafal kitab tersebut dalam usia sepuluh tahun. Riwayat lain menyebutkan ia hafal pada usia tiga belas tahun.  Tentang perjalanannya untuk bertemu dengan Imam Malik, Imam asy-Syafi'i bercerita sebagai berikut: "Aku keluar dari Makkah untuk hidup dan bergaul dengan suku Hudzail di pedusunan. Aku mengambil bahasa mereka dan mempelajari ucapannya. Mereka adalah suku Arab yang paling fasih. Setelah beberapa tahun tinggal bersama mereka, aku pun kembali ke Makkah. Kemudian, aku membaca sya'ir-sya'ir mereka, menyebut peristiwa, dan peperangan bangsa Arab. Ketika itu, lewatlah seorang dari suku az-Zuhri, ia berkata kepadaku: 'Hai, Abu 'Abdillah, sayang sekali jika keindahan bahasa yang engkau kuasai tidak diimbangi dengan ilmu dan fiqih.' 'Siapakah orang yang patut aku temui?' tanyaku. Ia menjawab: 'Malik bin Anas, pemimpin ummat Islam.' Imam asy-Syafi'i رحمه الله berkata: 'Maka timbullah minatku untuk mempelajari kitab al-Muwaththa'. Untuk itu, aku meminjam kitab tersebut pada seorang laki-laki di Makkah. Setelah menghafalnya, aku pergi menjumpai Gubernur Makkah dan mengambil surat untuk aku berikan kepada Gubernur Madinah dan Imam Malik bin Anas.
Sesampainya aku di Madinah, aku memberikan surat tersebut kepada Gubernur. Setelah membaca surat itu, Gubernur Madinah berkata: 'Wahai, pemuda, aku lebih suka jalan kaki dari pedalaman Madinah ke pedalaman Makkah daripada harus menghadap Imam Malik. Aku tidak pernah melihat kehinaan itu hingga aku berdiri di depan pintunya.' Aku berkata kepadanya: 'Jika ia melihat gubenur yang menuju kepadanya, tentu dia akan siap hadir.' Gubernur Madinah menjawab: 'Tidak mungkin. Andaikan aku datang berkendaraan bersama pengawalku dalam keadaan berlumuran debu lembah, barulah ia mau melayani hajat kita.' Sesudah itu, aku pun membuat janji dengan Imam Malik pada waktu 'Ashar lalu berangkatlah kami kepadanya.
Setelah sampai di rumah Imam Malik, pria yang mendampingi kami mengetuk pintu. Keluarlah seorang budak wanita hitam. 'Beritahukanlah kepada tuanmu, bahwa kami datang dan berada di depan pintu,' tutur Gubernur Madinah. Budak wanita itu pun masuk. Setelah lama menunggu, budak itu keluar dan mengatakan kepada kami: 'Kalau punya masalah, harap ditulis, dan akan diberikan jawabannya secara tertulis pula. Bila ingin belajar hadits, diharap datang pada jadwal yang telah ditentukan. Karena itu, kembalilah!' Mendengar keterangan budak wanita itu, Gubernur Madinah berkata: 'Katakan kepada tuanmu, saya membawa surat dari Gubernur Makkah. Ada yang ingin dibicarakan berkaitan dengannya.' Budak wanita itu masuk kembali lalu keluar lagi dengan membawa kursi. Tidak lama kemudian keluarlah Imam Malik رحمه الله, seorang syaikh berbadan tinggi dan penuh wibawa mengenakan baju gamis (hijau).
Gubernur Madinah lantas menyerahkan surat itu. Kemudian, gubernur itu berkata: 'Pemuda ini seorang yang terhormat, baik akhlak dan kepandaiannya. Maka sampaikanlah hadits kepadanya.' Mendengar ucapan itu, Imam Malik mencampakkan surat tersebut lalu berkata: 'Subhanallah, ilmu Rasulullah صلى الله عليه وسلم diambil dengan cara-cara ini.' Aku melihat sang gubernur pun takut untuk bicara dengan beliau. Kemudian, aku maju dan memberanikan diri, aku berkata: "Semoga Allah memperbaikimu. Aku adalah keturunan Muththalib, semoga Allah tetap menjadikan tuan sebagai orang yang shalih.' Imam Malik bin Anas رحمه الله memandangku sesaat, seakan-akan ia mempunyai firasat, kemudian ia bertanya: 'Siapa namamu?' Aku menjawab: 'Muhammad.' Ia berkata: 'Hai, Muhammad, bertakwalah kepada Allah. Tinggalkanlah maksiat, maka engkau akan menjadi orang besar.' Aku menjawab: 'Ya, juga seorang yang diberi kemuliaan.' Imam Malik berkata: 'Datanglah besok, dan akan ada orang yang akan membacakan kitab itu (al-Muwaththa') untukmu.' Aku berkata: 'Sesungguhnya saya dapat menghafalnya."
Imam asy-Syafi'i melanjutkan: "Besoknya aku datang pagi-pagi dan mulailah aku membaca kitab itu. Namun, acapkali saya ingin menghentikan bacaan karena segan kepadanya. Imam Malik رحمه الله tertarik kepada bacaan dan i'rab saya yang bagus." Imam Malik berkata: 'Hai, anak muda, bacalah lagi.' Akhirnya, aku membaca kitab karangannya itu di hadapannya dalam beberapa hari saja. Setelah itu, aku tinggal di Madinah hingga Imam Malik bin Anas wafat."
Kemudian, Imam asy-Syafi'i menceritakan pengembaraannya ke negeri Yaman.
Yang jelas, tinggalnya Imam asy-Syafi'i رحمه الله di Madinah tidak terus-menerus, melainkan diselingi oleh kepulangannya ke Makkah untuk menengok ibunya. Dalam kepulangannya itu, ia menyempatkan diri mendengarkan sya'ir-sya'ir suku Hudzail dan belajar kepada ulama Makkah.
Sejumlah riwayat dan keterangan menyebutkan bahwa Imam asy-Syafi'i رحمه الله pergi ke Madinah dalam usia tiga belas tahun, yakni sekitar tahun 163 H. Kemudian, ia pulang pergi antara Madinah, Makkah, dan perkampungan Hudzail meskipun kebanyakannya ia menetap di Madinah mendampingi Imam Malik bin Anas رحمه الله hingga beliau wafat pada tahun 179 H. Setelah itu, barulah Imam asy-Syafi'i رحمه الله pulang ke Makkah sesudah memperoleh banyak ilmu dari Imam Malik. Maka mulailah nama dan keilmuannya terkenal, padahal umurnya pada saat itu baru 29 tahun. Pada fase ini Imam asy-Syafi'i telah berguru kepada Sufyan bin 'Uyainah, Muslim bin Khalid az-Zanji, Ibrahim bin Abu Yahya, dan Malik bin Anas رحمه الله di Madinah. Selain itu, ia pun belajar kepada ulama lainnya, sebagaimana dituturkan oleh Mush'ab az-Zubairi: "Imam asy-Syafi'i telah mengambil hampir semua ilmu yang dimiliki oleh Imam Malik bin Anas dan menghimpun ilmu para syaikh yang ada di Madinah."

B.  PENGEMBARAANNYA KE YAMAN

Sekembalinya dari Madinah ke Makkah, Imam asy-Syafi'i رحمه الله sibuk dengan ilmunya. Sementara itu, jiwanya sangat gandrung terhadap ilmu sekalipun ia tidak mampu membeli kitab-kitab karena miskin. Begitulah sifat para ulama yang telah dianugerahi oleh Allah عزّوجلّ kelezatan meraih ilmu. Mereka tidak akan pernah merasa puas dengan ilmu yang dimilikinya. Rasulullah صلى الله عليه وسلم pun telah menyatakan hal itu dalam haditsnya:
مَنْهُوْمَانِ لَا يَشْبَعَانِ طَالِبُ الْـعِلْمِ وطَالِبُ دُنْيَا
"Dua orang yang rakus yang tidak pernah merasa kenyang: pencari ilmu dan pencari dunia."
Jiwa Imam asy-Syafi'i sangat haus akan ilmu ulama Yaman, sementara yang tersisa dari para ulama Yaman yang merupakan pemuka ulama adalah sahabat Ibnu Juraij , yaitu Hisyam bin Yusuf dan Mutharrif bin Mazin . Ibnu Juraij sendiri mengambii ilmu dari Imam 'Atha.  Namun, karena tidak memiliki biaya cukup, Imam asy-Syafi'i رحمه الله tidak dapat pergi ke Yaman. Ia sendiri telah mendengar dari teman-teman dekatnya bahwa Yaman adalah gudang ilmu, baik ilmu firasat maupun ilmu lainnya sehingga ia berminat untuk berangkat ke negeri tersebut. Hal ini hanya diketahui oleh para sahabat dekatnya dan orang-orang yang bergaul dengannya.
Oleh karena itu, ketika ada seorang Thalibi menjadi pejabat di Yaman, ibunya mendatangi saudara-saudara Imam asy-Syafi'i, meminta agar memohon kepada pria tersebut untuk bersedia pergi bersama Imam asy-Syafi'i ke Yaman. Kemudian, ia pun menyetujuinya, tetapi ibu Imam asy-Syafi'i tidak mempunyai (bekal) yang dapat diberikan kepada Imam asy-Syafi'i. Maka ibunya pun menggadaikan rumah seharga 16 dinar kemudian uang itu diberikan kepadanya.
Imam asy-Syafi'i رحمه الله menceritakan kepergiannya ke negeri Yaman: "Aku berangkat dengan pria itu dengan biaya tersebut. Sesampainya di Yaman, aku diberi suatu pekerjaan. Karena kerjaku bagus, pekerjaanku ditambah. Ketika para pekerja Makkah pulang pada bulan Rajab, mereka pun memuji-mujiku hingga aku menjadi buah bibir di sana. Setelah itu, aku pulang dari Yaman. Ketika aku menghadap Ibnu Abi Yahya, yang aku pernah belajar kepadanya, aku pun mengucapkan salam. Dia mencelaku: 'Engkau belajar kepadaku, tetapi kemudian engkau bekerja? Ingat! Apabila sesuatu telah memasuki dunia seseorang, dia akan betah tinggal di sana. ' Mendengar ucapannya itu, aku pamit. Kemudian, aku menemui Sufyan bin 'Uyainah. Setelah aku mengucap salam, ia menyambutku lalu berkata: 'Informasi tentang-mu telah kudengar. Engkau dikenal orang banyak, apa yang engkau perbuat karena Allah Ta’ala akan kembali kepadamu. Sebaiknya engkau jangan berlebihan.' Imam asy-Syafi'i berkata: 'Nasihat Sufyan bin 'Uyainah ini lebih menggugah hatiku daripada nasihat Ibnu Abi Yahya.'"
Selanjutnya, Imam asy-Syafi'i رحمه الله menceritakan kepulangannya dari Yaman, sebagian kegiatannya di negeri itu, kegigihannya menegakkan keadilan, dan kesungguhannya dalam mencari ilmu sehingga namanya dikenal oleh banyak orang. Barangkali ia dibenci atas prestasinya itu oleh pecinta dunia karena mereka takut ia mendapat simpati dari orang-orang sehingga terjadi pertentangan di tubuh pemerintahan.  Oleh karena itu, seorang panglima Khalifah Harun ar-Rasyid mengirim surat kepada Khalifah Harun ar-Rasyid yang isinya: "Orang-orang khawatir terhadap bahaya kaum 'Alawiyyin karena di kalangan mereka ada seorang pemuda yang bernama Muhammad bin Idris yang dengan lisannya dapat berbuat lebih berbahaya ketimbang pembunuh dengan pedangnya. Oleh karena itu, jika tuan memiliki kepentingan terhadap negeri Hijaz, asingkanlah mereka darinya." Maka Imam asy-Syafi'i رحمه الله diasingkan ke Irak dalam keadaan diikat tangannya bersama beberapa orang 'Alawiyyin.
Inilah sekilas tentang kepergiannya ke negeri Yaman. Cerita ini menunjukkan bahwa ketika ia menetap di Yaman, ia sempat pulang ke Makkah. Inilah yang menjadikan sebagian penulis berpendapat bahwa kepergiannya ke negeri Yaman dilakukannya berkali-kali. Pendapat ini bisa dibenarkan jika dilihat seringnya Imam asy-Syafi'i pulang ke Makkah, tetapi jika ditilik dari asal kepergiannya pertama kali, maka itu hanya satu kali, tidak berkali-kali. Yaitu, ia pergi dengan tujuan menuntut ilmu lalu karena seorang pejabat Yaman dari keturunan Thalibiyyin melihat Imam asy-Syafi'i رحمه الله butuh biaya untuk mencari ilmu, maka ia memberinya pekerjaan agar cita-citanya tercapai.
Ketika prestasinya baik, ia diberi pekerjaan tambahan, namun Imam asy-Syafi'i رحمه الله senantiasa mencari celah untuk meraih ilmu hingga akhirnya setelah terkenal, ia pun mendapat cobaan.

Sistem Ekonomi Menurut Islam



Islam mengadakan batas-batas serta meletakkan lunas-lunas untuk menetapkan
segala urusan ekonomi manusia di atas prinsip-prinsip kebenaran, keadilan dan
amanah, dan dia memutuskan bahawa sistem ekonominya itu hanyalah akan
berjalan dan bekerja di dalam mengurus dan membelanjakan kekayaan di dalam
lingkungan batas-batas yang digariskan ini, tidak akan menyimpang buat
selama-lamanya daripadanya. Adapun cara-cara melaburkan kekayaan dan
bentuk-bentuk pengurusan serta pengusahaannya, maka tidaklah diberi
perhatian sedikit pun oleh Islam, malah dibiarkannya berlaku dan membaharui
mengikut putaran zaman dan hari; kerana hal itu adalah di antara
perkara-perkara yang menjajari kemajuan yang sentiasa timbul dan
berubah-ubah dari sehari ke sehari di mana ianya terbentuk dan tercorak
mengikut keadaan-keadaan dan suasana-suasana manusia, juga mengikut
hajat-hajat yang menemui mereka di dalam…
Barang siapa mendapat hak-hak milik dengan jalan-jalan halal yang diharuskan
di dunia ini, maka tidak syak lagilah bahawa hak-hak ini patut dihormati dan
dipelihara dalam segala keadaan. Samada pemilikan ini mempunyai syaratsyarat
'sah'nya yang penuh pada pandangan syarak atau tidak, maka bolehlah
disiasat dan diselidiki. Sekiranya tidak penuh syarat-syarat sahnya pada
pandangan syarak, maka mestilah ianya dicabut daripada tuannya, tetapi
hak-hak milik yang diakui oleh syara' dan undang-undang, tidaklah harus bagi
mana-mana Dewan Perundangan atau mana-mana kerajaan merampaskannya
daripada pemilik-pemiliknya ataupun menokok dan mengurangkan sesuatu dari
hak-hak mereka yang halal itu. Tidak harus sekali-kali lahir di bumi ini satu
sistem - dengan nama kepentingan umum - mahu menghapuskan hak-hak yang
telah diakui oleh syari'at Islam. Seperti mengabaikan ikatan-ikatan yang
dikenakan oleh syari'at Islam terhadap hak-hak milik individu untuk menjaga
kepentingan orang ramai itu dianggapkan sebagai satu kezaliman dan
pencabulan terhadap kebenaran, maka begitu jugalah - terlalu berlebih-lebihan
dalam mengenakan ikatan ini, tidak kurang pula kezaliman dan pencabulannya.
Adalah merupakan di antara tanggungjawab- tanggungjawab kerajaan Islam
supaya menghormati hak-hak para individu yang halal dan mengambil daripada
mereka hak-hak orang ramai yang diwajibkan oleh syari'at Islam ke atas mereka.
Bahawa Allah Subhanahu Wata'ala telah menciptakan manusia ini dan dia tidak
menjadikan mereka sama-rata di dalam pembahagian ni'mat, malah dilebihkan
setengah atas setengah mengikut hikmat dan kehendakNya. Perbezaan di antara
hamba-hamba Allah ini ternyata di dalam ketampanan dan kecantikan mereka,

di dalam kemerduan suara mereka, di dalam kegagahan tubuh-badan mereka
dan di dalam kecekapan fikiran mereka dan seterusnya dari perkara-perkara
yang seumpama itu yang mana persediaannya sudah ada sejak mereka
diperanakkan lagi. Begitu juga tentang masalah rezeki itu. Fitrah (hal semulajadi)
yang di atasnya Allah ciptakan manusia, menghendaki agar ada perbezaan dan
berlebih-kurang dalam rezeki manusia yang mana keadaannya serupalah dengan
bakat-bakat yang lain lagi. Tiap-tiap rancangan yang dipilih dan ditadbirkan
urusannya untuk mengadakan persamaan ekonomi di antara hamba-hamba
Allah seperti mana yang didakwakan itu adalah palsu dari asasnya lagi mengikut
apa yang dilihatkan oleh Islam; kerana Islam tidak pernah mengatakan dengan
persamaan dalam rezeki itu sendiri, tetapi dia mengatakan dengan persamaan
dalam peluang-peluang berusaha dan bekerja untuk mencari kehidupan dan
menuntut rezki. Matlamat yang ditujukan oleh Islam ialah supaya dapat
dihapuskan dari dalam masyarakat manusia segala sekatan dan rintangan
undang-undang atau tradisi yang menyekat manusia dan membantutnya
daripada menjalankan usaha dan mengerahkan daya-tenaganya pada jalan
pencarian rezki mengikut tenaga-tenaga dan bakat-bakat yang telah disediakan
oleh Allah baginya. Begitu juga Islam bermaksud hendak melenyapkan daripada
masyarakat manusia segala keistimewaan dan keutamaan yang menjaminkan
kekayaan turun-temurun untuk stengah-setengah lapisan, keturunan atau
keluarga tertentu, di mana Islam melingkunginya dengan meletakkan
pengawasan terlebih dahulu. Kedua-dua jalan ini (jalan menyama- ratakan rezki
manusia dan jalan penjaminan kekayaan turun-temurun) mengalihkan
perbezaan semulajadi serta berlebih-kurangan yang tabi'i itu secara paksa kepada
perbezaan yang sedikit dan tidak semulajadi. Kedua-dua jalan ini ditolak oleh
Islam dan mahu dihapuskannya. Dan Islam menetapkan satu sistem ekonomi
masyarakat di atas satu methode semulajadi yang padanya dibuka pintu-pintu
kerja dan usaha kepada tiap-tiap orang dari anggota masyarakat. Mereka yang
mahu mempersamakan di antara hamba sebagai zakat yang wajib. Hasil
bijian-bijian serta buah-buahan yang dikeluarkan oleh bumi adalah diambil
sebanyak 10% atau 5%. Begitu juga Syan'ai telah mewajibkan 20% dari hasil
setengah-setengah logam dan diambil juga kadar-kadar yang difardukan
daripada hasil-hasil binatang dan ternakan mengikut bilangannya masingmasing.
Syariat juga telah memfardukan supaya harta-harta yang telah
diperolehi dengan jalan-jalan ini dibelanjakan dalam usaha menolong orangorang
fakir miskin, anak-anak yatim, orang-orang dhaif dan susah. Ini adalah
satu jaminan sosial yang kerananya mustahil didapati di dalam masyarakat Islam
itu seorang manusia yang tidak mendapat sesuatu yang termesti dari hajat-hajat
penghidupan. Begitu juga mustahil terdapat ketika itu seorang pekerja yang
terpaksa mencari rezki dengan keringat dahinya kerana takutkan kebuluran
sehingga dia sanggup menerima sahaja apa-apa syarat upahan yang amat kerdil
yang dikemukakan kepadanya oleh para pemilik dan majikan. Oleh yang
demikian, tenaga mana-mana individu dari anggota- anggota masyarakat itu

tidaklah boleh jatuh lebih rendah daripada garis 'minimum' yang masih
membolehkannya memberi sumbangan di dalam perjuangan ekonomi.
Barang siapa mendapat sesuatu dari perbendaharaan Tuhannya sebagai modal,
lalu dia membaikinya dan menjadikannya perkara yang manfaat dan berguna
dengan usaha dan kerjanya sendiri, dialah yang menjadi tuan dan pemiliknya.
Contohnya ialah seperti tanah mati yang hak milik atasnya tidak dipunyai oleh
sesiapa pun. Bilamana ada seseorang mengambil dan membaikinya, lalu
menggunakannya pada jalan yang memberi manfaat serta membuahkan hasil -
tanah itu tidak boleh direbutkan dari miliknya. Begitulah bermulanya segala
hak-hak milik di bumi ini seperti mana yang dilihatkan oleh Islam. Tatkala
manusia meneroka bumi ini pada mula-mulanya, adalah segala sesuatu itu
merupakan pengharusan yang menyeluruh buat sekalian anak-anak Adam
'Alaihissalam. Sesiapa yang mendapatkan sesuatu, lalu membaiki dan
menjadikannya benda yang berguna dan manfaat, dialah yang menjadi tuan dan
pemiliknya; ertinya dia berhak mengkhusus- kan pemakaiannya buat dirinya
sahaja, dan dia berhak meminta sewa daripada orang yang mahu mengambil
manfaat dengan harta itu. Ini adalah asas semulajadi yang di atasnya terdiri
binaan segala soal-soal ekonomi manusia. Kerana itu munasabahlah bahawa asas
ini terus tinggal dengan tetapnya, dijaga dan dihormati.
Islam ingin membangunkan orang perseorangan dan masyarakat di atas neraca
yang lurus dan mahu mengembelingkan kedua-duanya di atas keseimbangan
yang secukup-cukupnya di mana hak-hak perseorangan - dari segi hak
perseorangannya - masih ada dan kebebasannya masih dipelihara, sedangkan
kebebasan itu tidak pula merosakkan masyarakat malah manfaat untuknya.
Islam tidak memandang baik kepada satu sistem politik atau ekonomi yang
menghancurkan hak-hak perseorangan untuk kepentingan masyarakat serta
tidak meninggalkan langsung untuknya kebebasan yang tidak boleh tidak buat
menyempurnakan segala bakat semulajadi dan teras keindividuannya. Natijah
yang mesti berlaku dari pengambilan seluruh jalan kehidupan serta saluran
prodaksi sebagai milik bersama itu ialah, bahawa sekalian warganegara itu
terikat dengan tali-tali pengontrol masyarakat sehingga tidak dapat lagi mereka
menceraikan diri daripadanya dan tidak dapat bergerak. Ternyata sangat payah,
malah mustahil, dalam keadaan seumpama ini, bahawa hak perseorangan
warganegara itu akan terus subur serta mencapai ketinggiannya. Apa yang
termaklumnya ialah, bahawa memelihara hak perseorangan itu adalah
berkehendakkan kepada kebebasan ekonomi yang begitu luas sepertimana juga
berkehendakkan kepada membelanjakan harta-harta yang diperolehi dengan
jalan-jalan yang halal itu melainkan ke dalam jalan-jalan yang halal juga. Untuk
tujuan ini, Islam telah meletakkan batas-batas untuk pengeluaran biaya di mana
seseorang boleh hidup dengan kehidupan yang baik dan bersih, tetapi dia tidak
boleh membelanjakan harta-hartanya ke dalam jalan-jalan keji dan berpoya-poya,
pun dia tidak boleh mengeluarkannya untuk menonjol-nonjolkan kemewahan
dan kelumayanannya supaya dia meninggikan diri di atas sesama sebangsanya
dan supaya dia dipandang oleh orang sekelilingnya seperti mereka memandang
kepada pembesar-pembesar yang bongkak. Di sana terdapat beberapa rupa
pemborosan dalam membelanjakan harta yang diharamkan oleh undang-undang
Islam dengan jelas dan terang, dan di sana terdapat pula beberapa rupa
pemborosan lain, sekalipun tidak diharamkan dengan terang oleh Islam, tetapi
dia memberi pilihan tentangnya kepada kerajaan Islam sekiranya dia mahu
mengenakan undang-undang ke atas manusia dan menengah mereka daripada
membelanjakan harta mereka dengan berlebih-lebihan. Jika seseorang
mempunyai harta yang lebih selepas dibelanjakan di dalam perkara- perkara
harus dan teliti, dia boleh pula memilih sama ada hendak mengumpul dan
menyimpannya atau pun hendak mengalihkannya ke dalam bidang-bidang
perusahaan dan perniagaan dengan maksud menambah serta memperbanyakkan
-nya. Cuma Islam meletakkan sempadan-sempadan dan ikatan-ikatan tertentu di
dalam kedua-dua keadaan ini. Jika dia ingin mengumpulnya, dia mestilah
menunaikan zakat pada tiap-tiap tahun daripada hartanya yang lebih dari nisab.
Dan jika dia mahu mengalihkannya, dia tidak boleh mengalih kecuali ke dalam
perusahaan yang halal serta perniagaan yang harus. Kemudian perniagaan ini
sama ada diuruskan sendiri oleh perseorangan atau pun dia memperkongsikan
keuntungan dari kerugiannya dengan orang lain bila mana dia menyerahkan
harta dan barang-barangnya kepada orang itu atas jalan syarikat samada berupa
mata - wang, tanah atau perkakas-perkakas. Jika seseorang mendapat kekayaan
yang bertimbun di dalam sempadan-sempadan dan ikatan-ikatan ini setelah
sekian lama berusaha, dia tidaklah berdosa apa-apa pada pandangan Islam;
malah itu merupakan satu ni'mat yang dikurniakan oleh Allah ke atas hambaNya
dan satu kemuliaan yang dianugerahkan kepadanya. Dalam pada itu pun, Islam
mensyaratkan kepadanya dua syarat untuk menjamin entiti masyarakat. Pertama:
Tiap-tiap tahun hendaklah dia menunaikan zakat hartanya dan juga satu per
sepuluh daripada hasil-hasil pertaniannya yang telah diwajibkan oleh Allah.
Kedua: Hendaklah dia melayani dengan baik dan insaf akan orang-orang yang
berkongsi dengannya atau orang-orang yang mengambil upah daripadanya
dalam usaha perniagaan, perindustrian atau pertanian. Sekiranya dia tidak
melayani mereka dengan adil dan saksama, kerajaan Islam akan memaksanya
untuk itu.
Kemudian kekayaan yang terkumpul di dalam lingkungan sempadan-sempadan
yang diharuskan ini pula, tidak direlai oleh Islam tinggal tersimpan buat masa
yang lama. Malah Islam memutuskan dengan hukum undang-undang (undangundang
pusaka) untuk menyibar dan membahagi-bahagikannya pada tiap-tiap
generasi. Aliran undang-undang Islam di dalam masalah ini adalah sangat
berlainan daripada segala aliran mana-mana undang-undang lain di dunia ini.
Apa yang ditujukan oleh undang-undang lain ialah, bahawa kekayaan yang
sekali sudah terkumpul itu berhak terkumpul terus untuk beberapa jenerasi.
Tetapi Islam sesebaliknya telah membawa satu undang-undang syumul yang
menengaskan bahawa harta yang telah dikumpulkan oleh seseorang di dalam
hidupnya itu, hendaklah dibahagi-…

Cincin Menurut Islam Bagian 2




CINCIN EMAS HARAM BAGI LAKI-LAKI

Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah melarang kaum laki-laki dari umatnya memakai cincin emas. Bahkan semua perhiasan yang terbuat dari emas telah diharamkan di dalam Islam bagi kaum laki-laki. Di dalam sebuah hadits dari Abdullah al-Ghafiqi berkata:
سَمِعْتُ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ يَقُولُ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَرِيرًا بِشِمَالِهِ وَذَهَبًا بِيَمِينِهِ ثُمَّ رَفَعَ بِهِمَا يَدَيْهِ فَقَالَ إِنَّ هَذَيْنِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي حِلٌّ لِإِنَاثِهِمْ
"Aku mendengar Ali ibn Abi Thalib رضي الله عنه berkata: Rasulullah صلى الله عليه وسلم memegang kain sutra di tangan kirinya dan emas di tangan kanannya, kemudian beliau mengangkatnya, lalu bersabda, 'Dua benda (emas dan surra) ini haram bagi laki-laki dari umatku, dan halal bagi wanita umatku.'" (HR Ibnu Majah: 3595, dishahihkan oleh al-Albani dalam al-lrwa': 277 dan Adabuz Zifaf: 150)
Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani رحمه الله, "Ibnu Daqiq al-'Id berkata, 'Larangan (hadits di atas) secara lahiriah hukumnya haram, inilah perkataan para imam, dan menjadi ketetapan di atas hal itu.' 'Iyadh berkata, 'Adapun yang dinukil dari Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm bahwa dia memakai cincin emas, maka (jika shahih) itu adalah menyelisihi yang lebih kuat/syadz, dan bisa juga (dia memakainya) karena belum sampainya dalil (larangan) kepadanya, karena seluruh (ulama) umat ini setelah itu sepakat atas keharamannya (cincin emas bagi laki-laki).'" (Fathul Bari 10/317)
CINCIN PERAK BOLEH BAGI LAKI-LAKI

Lajnah Da'imah, di dalam salah satu fatwanya, menetapkan:
"Kaum laki-laki dibolehkan memakai cincin yang terbuat dari perak baik karena ada kebutuhan atau bukan karena kebutuhan, sebagaimana dalil-dalil yang datang di dalam sunnah (Nabi صلى الله عليه وسلم) yang suci." (Fatawa Lajnah Da'imah 24/61)
Fatwa di atas didasari oleh beberapa hadits, di antaranya dari Anas ibn Malik رضي الله عنه, beliau berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَبِسَ خَاتَمَ فِضَّةٍ فِي يَمِينِهِ
"Sesungguhnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah memakai cincin perak di tangan kanannya." (HR Muslim: 5608)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata, "Adapun (laki-laki) memakai cincin perak, maka dibolehkan dengan kesepakatan para imam, karena telah datang dalil shahih dari Nabi صلى الله عليه وسلم bahwa beliau memakai cincin perak, bahkan sahabatnya juga memakainya; berbeda dengan cincin emas (bagi laki-laki), maka hukumnya haram dengan kesepakatan para imam empat karena telah datang dalil shahih dari Nabi صلى الله عليه وسلم bahwa beliau melarang (cincin emas) itu." (Majmu' Fatawa 25/63)

PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG
CINCIN BESI BAGI LAKI-LAKI

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum memakai cincin besi bagi kaum laki-laki. Sebagian ulama melarang dan sebagian lain membolehkan.
Adapun yang melarang, mereka berdalil dengan sebuah hadits dari Abdullah ibn Buraidah dari ayahnya berkata:
"Ada seseorang datang kepada Nabi صلى الله عليه وسلم dengan memakai cincin emas, lalu Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, 'Mengapa aku mencium darimu bau berhala?' Kemudian orang tersebut melemparkan (cincin emas)nya, lalu dia datang lagi dengan memakai cincin dari besi, lalu Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, 'Mengapa aku melihat pada dirimu ada perhiasan penduduk neraka?' Lalu orang tersebut melemparkan (cincin besi)nya, sambil bertanya, 'Wahai Rasulullah, cincin apa yang boleh aku pakai?' Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, 'Buatlah dari perak, dan jangan melebihi 1 mitsaal!" (HR Abu Dawud: 4223 dan an-Nasa'i: 9508)
Asy-Syaikh Ibnu Baz رحمه الله berkata, "Tidak mengapa (laki-laki) memakai jam tangan dan cincin dari besi, hal itu sebagaimana telah ada keterangan dalam hadits al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bertanya kepada seorang laki-laki yang sedang meminang (wanita) 'carilah (mahar) meskipun cincin dari besi'. Adapun hadits yang diriwayatkan tentang larangan (cincin dari besi) itu, maka hadits tersebut syadz (menyelisihi yang lebih kuat). Hadits itu bertentangan dengan hadits yang shahih ini." (Fatawa Islamiyyah, asy-Syaikh Ibnu Baz, 4/324)
Larangan memakai cincin dari besi, haditsnya lemah, sebagaimana hadits Abdullah ibn Buraidah telah dinyatakan dha'if (lemah) oleh al-Albani (di dalam Dha'if an-Nasa'i: 5195, Misykat al-Mashabih: 4396, dan Adabuz Zifaf. 146). Dan hadits tersebut juga dinyatakan dha'if/lemah oleh Lajnah Da'imah lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta' ditandatangani oleh Ibnu Baz sebagai ketua, Abdurrazzaq sebagai wakil, dan Abdullah al-Ghadiyan sebagai anggota (Fatawa Lajnah Da'imah 24/65).
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin رحمه الله berkata, "Hukum asal segala sesuatu itu halal, kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Dan menurutku, di dalam masalah (cincin besi) ini sepatutnya kita untuk menjauhinya, karena hadits yang dijadikan dalil oleh pihak yang melarang (cincin besi) itu, meskipun di dalamnya ada cacat, hal itu cukup menjadikan masalah ini menjadi syubhat/rancu bagi kita, sedangkan menjauhi syubhat adalah termasuk perintah agama Islam sebagaimana Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, 'Perkara halal itu jelas, dan perkara haram itu jelas, dan antara keduanya itu ada perkara syubhat yang tidak diketahui banyak manusia. Barang siapa men-jaga diri dari syubhat, maka dia telah menjaga aga-ma dan kehormatannya.'" (Fatawa Nur 'ala ad-Darb, asy-Syaikh Muhammad bin Salih al-Utsaimin, 3/47).
Pendapat yang kuat adalah makruh, sebaiknya ditinggalkan untuk hati-hati.

HUKUM TUKAR CINCIN/CINCIN TUNANGAN

Di antara kebiasaan sebagian kaum Muslimin di zaman ini, tukar cincin pada saat tunangan. Masing-masing calon pengantin memakai cincin tersebut sebagai tanda bahwa keduanya telah terikat dalam pertunangan. Bahkan ada yang menganggap cincin tersebut mengekalkan hubungan mereka. Perkara ini bisa terjadi dikarenakan beberapa sebab. Di antara sebabnya, penjajahan kaum kafir terhadap kaum Muslimin terutama dengan perang pemikiran, adanya kaum Muslimin yang datang dari negeri kafir dengan membawa adat Barat ini, dan sebab lain adalah kebodohan umat terhadap agama Islam.
Para ulama telah berfatwa tentang haramnya tukar cincin saat pertunangan. Asy-Syaikh Ibnu Baz رحمه الله telah berfatwa tentangnya. Beliau berkata, "Saya tidak tahu asal-usul (tukar cincin) ini, sebaiknya kebiasaan ini segera ditinggalkan." (Fatawa Ulama al-Balad al-Haram: 500)
Asy-Syaikh al-Fauzan حفظه الله berfatwa, "Adapun tukar cincin kawin bukanlah termasuk kebiasaan kaum Muslimin. Maka dari itu, tidak boleh sekali-kali memakainya, dengan alasan:
1.    (Kebiasaan tukar cincin kawin) adalah membebek suatu kaum yang tidak ada kebaikan pada mereka; itu diadopsi dari (kaum kafir) oleh kaum Muslimin.
2.    Apabila dibarengi dengan keyakinan bahwa cincin itu berpengaruh terhadap (kelanggengan) hubungan suami istri, maka masuk dalam bab kesyirikan. (al-Muntaqa 5/336)
Asy-Syaikh al-Albani رحمه الله berkata, "(Tukar cincin kawin) merujuk kepada adatnya kaum terdahulu (Nashara). (Dahulu) calon pengantin laki-laki memakaikan cincin kawin di ujung ibu jari calon pengantin wanita dan mengatakan 'dengan nama (tuhan) bapak', lalu memasangkannya di ujung jari telunjuknya dan mengatakan 'dengan nama (tuhan) anak'—maksud nama 'bapak' adalah Tuhan, sedang (tuhan) 'anak' adalah Isa ibn Maryam—, kemudian cincin itu dikenakan di jari tengah sambil mengatakan 'dengan nama ruhul qudus', lalu tatkala dia mengucap 'amin' dia memakaikannya di jari manisnya supaya kekal."
(Al-Albani melanjutkan,) "Wahai kaum Muslimin, jika ini adalah adat yang diadopsi dari kaum Nashara, bagaimana mungkin kalian rela membebek kepada mereka padahal kalian disifatkan sebagai orang Islam. Kalian menyerupai mereka,  padahal  kalian tahu bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, 'Barang siapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.' Bagaimana mungkin kalian terjerumus kepada khurafat yang tidak ada hakikatnya ini. Cincin kawin tidak akan mendatangkan kasih sayang. Tanpa cincin kawin pun, kasih sayang tidak akan lenyap."





KESIMPULAN

1.    Semakin jauh generasi kaum Muslimin dari zaman kenabian semakin buruk kondisi mereka secara umum.
2.    Terjatuhnya manusia ke dalam suatu kesalahan dan kemaksiatan di antaranya disebabkan kebodohan umat terhadap agamanya.
3.    Para wanita tidak dilarang memakai cincin terbuat dari apa pun baik emas, perak, atau selain keduanya, bahkan jika dimaksudkan untuk berhias buat suaminya maka itu dianjurkan di dalam Islam.
4.    Hukum pemakaian cincin pada kaum laki-laki harus diperinci:
•    jika terbuat dari emas maka haram menurut kesepakatan;
•    jika terbuat dari perak maka halal menurut kesepakatan; dan
•    jika terbuat dari besi maka ada perbedaan pendapat, dan yang lebih kuat adalah makruh, demi kehati-hatian maka selayaknya ditinggalkan.
5.    Dibolehkan memakai cincin baik di tangan kanan atau di tangan kiri.
6.    Mata cincin boleh diletakkan di atas/luar, boleh juga di dalam; dan lebih utama di dalam (dekat dengan telapak tangan) sebagaimana alasan yang telah dipaparkan.
7.    Para ulama bersepakat bahwa khusus kaum laki-laki dilarang memakai cincin di jari tengah dan jari telunjuk, dan boleh pada selain keduanya. Adapun kaum wanita maka dibolehkan di jari mana pun.
8.    Tukar cincin kawin hukumnya haram karena merupakan adat yang diadopsi dari kaum kafir. Perbuatan tersebut termasuk ber-tasyabbuh (menyerupai/meniru) kaum kafir, dan suatu ketika bisa menjadi kesyirikan jika diiringi dengan keyakinan yang batil. Wallahu A'lam. []