Biografi Imam Syafií Bagian 2





COBAAN YANG DIALAMI IMAM ASY-SYAFI'I رحمه الله

 Setelah surat Panglima itu sampai ke tangan Khalifah Harun ar-Rasyid, Khalifah lalu mengirim surat kepada Gubernur Yaman agar mengusir orang-orang 'Alawiyyin. Maka mereka, di antaranya Imam asy-Syafi, digiring dalam keadaan terikat rantai. Imam asy-Syafi'i رحمه الله disiksa sepanjang jalan menuju Irak. Namun, tidaklah diragukan, pada kejadian-kejadian seperti ini Allah عزّوجلّ akan selalu menolong hamba-Nya yang suka mendekatkan diri kepada-Nya dan pada saat hamba itu berlindung kepada Rabb Jalla wa 'Ala.

Ketika rombongan yang disiksa telah sampai ke Irak, Imam asy-Syafi'i رحمه الله bersama rombongan dihadapkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid. Sejumlah riwayat yang maknanya berdekatan menyebutkan tentang pertemuannya dengan khalifah, kecuali ada satu riwayat dusta yang menyebutkan bahwa Imam Muhammad bin al-Hasan[1] dan Abu Yusuf[2] menyuruh khalifah Harun untuk membunuh Imam asy-Syafi'i.

Riwayat ini tertolak karena ketika Syafi'i masuk negeri Iraq, sekitar tahun 184 H, Abu Yusuf telah meninggal. Lagi pula tidak mungkin kedua orang alim tersebut yang memiliki keutamaan dan sifat wara' menganjurkan Harun ar-Rasyid untuk membunuh seorang yang telah dikenal sebagai orang alim. Riwayat-riwayat ini adalah kebohongan yang dihiasi oleh orang-orang yang fanatik terhadap madzhab tertentu dengan maksud agar dapat mencela para ulama dari madzhab lain, seolah-olah madzhab lain itu tidak berdiri di atas Islam. Ini adalah dampak negatif sikap fanatik terhadap madzhab yang telah menimpa ummat Islam. Orang yang membaca kitab-kitab madzhab akan menemukan keanehan-keanehan seperti kisah ini.

Semua itu menunjukkan kepada kita akan pentingnya kembali/ rujuk kepada al-Qur-an dan Sunnah serta membuang jauh perasaan fanatik. Jika tidak demikian, bagaimana mungkin kekuatan ummat disatupadukan. Namun, bukan di sini tempat menguraikan masalah yang sangat penting tersebut. Akan tetapi, keterangan ini memang harus disampaikan pada kesempatan ini.[3] Satu hal lagi yang menunjukkan kedustaan riwayat ini adalah pada riwayat-riwayat lain dikatakan bahwa Muhammad Ibnul Hasan justru membela asy-Syafi'i di hadapan Harun ar-Rasyid. Oleh sebab itu, ketika Allah menyelamatkan asy-Syafi'i (dari cobaan ini, -ed) beliau menekuni ilmu dari Muhammad Ibnul Hasan dan meminta ilmu darinya.[4]

Mari kita biarkan Imam asy-Syafi'i رحمه الله sendiri yang mencerita-kan kisahnya ketika berhadapan dengan Harun ar-Rasyid: "Kami dihadapkan kepada Harun ar-Rasyid sepuluh-sepuluh orang. Setelah larut malam, ia menyuruh kami berdiri seorang demi seorang. Kemudian, ia berbicara dari balik tabir dan memerintahkan untuk membunuh kami. Ketika sampai pada giliranku, aku berkata kepadanya: 'Wahai, Amirul Mukminin, aku adalah budak dan pelayanmu, Muhammad bin Idris asy-Syafi'i.' Ia tidak menanggapi, dan kembali memerintahkan: 'Tebaslah batang lehernya!' Aku kembali berkata: 'Wahai, Amirul Mukminin, aku ingin bicara, mohon dengarkan! Tanganmu yang terbuka dan kekuasaanmu yang kokoh, engkau pasti akan mendapatkan apa saja yang engkau inginkan dariku.' 'Bicaralah,' tukasnya. Maka aku berbicara: 'Wahai, Khalifah, sepertinya engkau menuduhku menyimpang dari ketaatan kepadamu dan condong kepada mereka. Oleh karena itu, aku akan memberikan perumpamaan kepada tuan berkenaan dengan diri tuan, mereka, dan aku. Apa yang dikatakan seorang Amirul Mukminin tentang seseorang yang mempunyai keponakan. Hanya ada dua keadaan:

1.  Salah seorang di antara keponakannya itu bergaul dengannya dan memasukkan dirinya dalam nasabnya dan menganggap ia sama dengannya dan hartanya haram diganggu olehnya, kecuali seizin dia. Begitu juga anak perempuannya haram diambil, kecuali dengan cara menikahinya. Selain itu, ia melihat bahwa apa yang berlaku baginya sama dengan apa yang berlaku bagi dirinya,

2.  Keponakannya yang lain menyangka bahwa ia adalah orang lain dalam nasab. Dia lebih tinggi, sedangkan orang tersebut adalah budaknya sehingga putrinya pun menjadi budak yang halal diambil tanpa harus melalui pernikahan sebagaimana hartanya halal diambil sesukanya.

Menurut engkau, wahai, Amirul Mukminin, kepada siapakah sepantasnya dia berwala'? Ini adalah perumpamaan antara tuan dan mereka ('Alawiyyin). Khalifah memintaku mengulanginya tiga kali, aku pun melakukannya dengan menggunakan redaksi yang berbeda-beda, tetapi maksudnya sama. Maka khalifah memerintahkan pegawainya untuk memenjarakanku."[5]

Dalam sebagian riwayat yang disampaikan olch Ibnu 'Abdil Barr رحمه الله disebutkan sebagai berikut: "Imam asy-Syafi'i رحمه الله bersama rombongan 'Alawiyyin masuk menghadap Khalifah Harun ar-Rasyid. Mereka menghadapnya satu per satu untuk diinterogasi, sementara yang lainnya menunggu dan mendengarkannya dari balik tabir.

Imam asy-Syafi'i  berkata: "Tibalah giliran seorang pemuda 'Alawi penduduk Madinah besertaku. Khalifah menginterogasinya: 'Engkaukah yang memberontak kepadaku dan menganggapku tidak patut menjadi khalifah?' Pemuda 'Alawiyyah itu menjawab: 'Audzubillah (aku berlindung kepada Allah), saya tidak pernah mengucapkan hal itu.' Maka ia pun diputuskan untuk dibunuh. Mendengar keputusan itu, si pemuda Alawi itu menukas: 'Kalau memang aku harus dibunuh, berilah aku kesempatan untuk menulis surat kepada ibuku di Madinah karena ia seorang tua renta dan tidak mengetahui berita tentang aku. Kemudian, ia pun dibunuh."

"Setelah itu, aku dipanggil, tutur Imam asy-Syafi'i. Sementara Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani duduk di samping khalifah. Setelah khalifah berkata kepadaku seperti yang ia katakan kepada pemuda 'Alawiyyah itu, aku menjawab: "Wahai, Amirul Mukminin, aku bukan suku Thalibi atau 'Alawi. Aku adalah laki-laki keturunan al-Muththalib bin 'Abdi Manaf bin Qushay. Aku aktif dalam bidang ilmu dan fiqih. Tuan al-Qadhi tahu siapa aku. Aku adalah Muhammad bin Idris bin al-'Abbas bin 'Utsman bin Syafi' bin as-Saib bin 'Ubaid bin 'Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin 'Abdi Manaf." "Engkau Muhammad bin Idris?" tanya Khalifah. "Ya, jawabku." Engkau rupanya orang yang pernah diceritakan oleh Muhammad bin al-Hasan." Kemudian, Khalifah Harun memandang Muhammad bin al-Hasan. 'Hai, Muhammad, apakah yang dikatakannya benar?' Muhammad bin al-Hasan menjawab: 'Ya, dia seorang 'alim yang langka.' Khalifah lantas berkata: "Kalau begitu, ia kuserahkan kepadamu sampai ada keputusan."[6]

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata: "Maka Imam asy-Syafi'i رحمه الله dibawa dengan dinaikkan ke atas keledai dalam keadaan terikat,menuju Baghdad pada tahun 184 H. Saat itu usianya 30 tahun. Kemudian, Imam asy-Syafi'i dihadapkan kepada Harun ar-Rasyid dan terjadilah percakapan antara keduanya, sementara Imam Muhammad bin al-Hasan duduk di samping Khalifah Harun dan memuji Imam asy-Syafi'i. Maka jelaslah bagi Harun ar-Rasyid, bahwa tuduhan yang ditujukan kepada Imam asy-Syafi'i tidaklah benar. Selanjutnya, Muhammad bin al-Hasan memberinya tempat kepada Imam asy-Syafi'i, sementara al-Qadhi Abu Yusuf setahun atau dua tahun sebelumnya telah wafat.[7] Asy-Syafi'i dimuliakan oleh Muhammad Ibnul Hasan dan asy-Syafi'i pun menimba ilmu darinya."

Inilah ringkasan dari riwayat-riwayat yang menyebutkan per-temuan Imam asy-Syafi'i رحمه الله dengan Khalifah Harun ar-Rasyid, yang menunjukkan adanya tuduhan Khalifah terhadap Imam asy-Syafi'i رحمه الله dan lepasnya beliau dari apa yang dituduhkan kepadanya. Riwayat-riwayat ini juga menunjukkan bahwa Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani رحمه الله telah mengucapkan kata-kata yang baik tentang Imam asy-Syafi'i dan Amirul Mukminin Harun ar-Rasyid telah mengampuni Imam asy-Syafi'i رحمه الله, bahkan memberinya sebagian harta.[8]



D.  MENDAMPINGI IMAM MUHAMMAD BIN AL-HASAN SETELAH SELAMAT DARI COBAAN



Setelah Allah عزّوجلّ menyelamatkan Imam asy-Syafi'i رحمه الله dari tuduhan itu, ia pun mendampingi Imam Muhammad bin al-Hasan رحمه الله untuk mengambil fiqih dan hadits Irak darinya. Ia menuliskan buku-bukunya dan membacakan kepadanya sampai ia (Muhammad bin al-Hasan) berkata: "Kesabarannya terhadapku seperti kesabaran unta, tidak ada pekerjaan baginya selain hanya mendengarkanku." Imam asy-Syafi'i رحمه الله sangat menghormati Imam Muhammad bin al-Hasan sekalipun antara keduanya sering berdebat dan berselisih pendapat.

Perselisihan keduanya telah terkenal karena madzhab Imam asy-Syafi'i adalah madzhab Ahlul Hadits, sedangkan madzhab Muhammad bin al-Hasan ialah madzhab Ahlur Ra'yi (madzhab yang mengedepankan akal). Seperti penulis katakan bahwa sekalipun Imam asy-Syafi'i berbeda pendapat, ia tetap memuji Muhammad bin al-Hasan رحمه الله: "Aku tidak pernah menjumpai seorang pria gemuk yang cerdas selain Muhammad bin al-Hasan."[9]

Pada kesempatan lain, ia berkata: "Aku tidak pernah melihat seseorang yang ditanya tentang suatu masalah yang harus dianalisa, kecuali kulihat pada wajahnya kebencian, kecuali Muhammad bin al-Hasan."[10]

Sekalipun Imam asy-Syafi'i sangat menghormati dan cinta kepada Muhammad bin al-Hasan, tetapi manakala pendapat Muhammad bin al-Hasan bertentangan dengan dalil, ia tidak segan-segan membantahnya. Oleh karena itu, setelah selesai halaqah dan Muhammad bin al-Hasan keluar, ia sering mengadakan diskusi dan berdebat dengan murid-murid Muhammad, tetapi dengan Imam Muhammad sendiri ia segan karena menghormati gurunya itu, kecuali setelah Imam Muhammad mengajaknya, barulah ia melakukan perdebatan dengannya. Itu terjadi berkali-kali, baik di hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid maupun di majelis Imam Muhammad bin al-Hasan sendiri. Sekalipun Imam asy-Syafi'i رحمه الله menuliskan kitab Muhammad bin al-Hasan, ia tidak menerima begitu saja pandangan yang ditulisnya itu, kecuali apabila sesuai dengan dalil, sedangkan yang tidak sesuai, ia bantah. Dalam kaitan ini, Imam asy-Syafi'i رحمه الله berkata: "Untuk memiliki buku Muhammad bin al-Hasan رحمه الله, aku menghabiskan uang sebanyak 60 dinar. Kemudian, aku mempelajarinya lalu aku tuliskan sebuah hadits di samping setiap masalah." Maksud beliau adalah untuk membantahnya."[11]

Inilah sikap generasi Salafush Shalih dari ummat ini dalam mengikuti dalil (syar'i) sekalipun harus bertentangan dengan ucapan syaikh atau gurunya. Oleh sebab itu, tinggilah derajat ummat ini dan menjadi majulah serta sunnah menjadi tersebar. Di antara penyebab utama kemunduran ummat ini adalah sikap fanatisme mereka yang pura-pura alim terhadap madzhab mereka meskipun menyelisihi dalil syar'i yang shahih dan jelas. Akhirnya, merebaklah bid'ah dan matilah Sunnah. Innaa lillahi wa inna ilaihi raji'un.



E.   KEMBALINYA IMAM ASY-SYAFI'I رحمه الله KE MAKKAH



Setelah Imam asy-Syafi'i رحمه الله memperoleh ilmu dari para ulama Irak, sebelumnya ia telah mendapatkan ilmu dari ulama Hijaz, ia merasa telah tiba saatnya untuk menyebarkan ilmu yang dimilikinya. Oleh karena itu, ia bertekad untuk pulang ke Makkah setelah namanya dikenal. Mulailah ia mengajar di Masjidil Haram tempat dahulu ia belajar menuntut ilmu dari para ulama yang mengajar di sana.

Pada musim haji, ribuan orang dari berbagai penjuru datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Mereka yang telah mendengar nama pemuda Quraisy yang ilmunya mengagumkan, bersemangat untuk mengikuti pengajiannya sehingga nama Imam Syafi'i pun semakin dikenal di berbagai negeri.

Pada kesempatan itu Imam asy-Syafi'i رحمه الله ditemui oleh banyak ulama. Mereka kagum terhadap keluasan ilmunya dan kekuatannya dalam menggunakan dalil serta keteguhannya mengikuti sunnah, juga kedalamannya dalam fiqih dan istinbath (penyimpulan) hukum. Mereka juga kagum terhadap ushul dan kaidah-kaidah fiqih yang telah dibuatnya yang semuanya bersumber dari al-Qur-an dan as-Sunnah. Ushul dan kaidah-kaidah itu kebanyakan belum pernah didengar oleh mereka. Di antara orang yang mendengar ilmu dari Imam asy-Syafi'i ketika itu adalah Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله, yang datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Imam Ahmad رحمه الله masuk ke Masjidil Haram untuk berjumpa dengan para ulama besar dan para pakar hadits, di antara yang masyhur dari mereka adalah Imam Sufyan bin 'Uyainah رحمه الله, syaikhnya Imam asy-Syafi'i.

Tatkala ia ikut pada halaqab Imam asy-Syafi'i, ia mendapati sesuatu yang tidak didapati pada halaqah yang lain. Ia memperoleh sesuatu yang baru selain riwayat hadits. Pada halaqah Imam asy-Syafi'i, ada kupasan fiqih dan kaidah-kaidahnya yang belum pernah didengarkannya. Akhirnya, Imam Ahmad meninggalkan halaqah yang lain yang dipimpin oleh para ulama besar. Kemudian, ia pun ikut halaqah Imam asy-Syafi'i رحمه الله. Muhammad bin al-Fadhl al-Farra' bercerita: "Aku mendengar ayahku berkata: 'Aku pergi haji bersama Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله. Aku tinggal dalam satu tempat bersamanya. Pada pagi hari kami keluar, dan sesampainya di masjid aku berkeliling mencarinya. Aku mendatangi majelis (halaqah) Ibnu 'Uyainah رحمه الله dan yang lainnya untuk mencarinya, tetapi ternyata aku malah menemukannya di halaqah seorang Arab pedusunan.[12] Aku berkata kepada Imam Ahmad رحمه الله: 'Hai, Abu 'Abdillah, mengapa engkau di sini, tidak di halaqah Ibnu 'Uyainah?' Imam Ahmad رحمه الله menjawab: 'Diamlah! Kalau tidak sempat mendengar hadits dengan sanad yang tinggi, kamu akan mendapatkannya dengan sanad yang rendah. Tetapi, jika engkau tidak mengambil ilmu orang ini, kita belum tentu mendapatkannya dari yang lain. Karena aku tidak melihat ada seorang yang lebih faqih tentang Kitabullah melebihi pemuda ini.' 'Siapa dia?' tanyaku. Imam Ahmad رحمه الله menjawab: 'Muhammad bin Idris.'"[13]

Dari Ishaq bin Rahawaih رحمه الله, ia berkata: "Ketika aku bersama Ahmad bin Hanbal di Makkah, ia berkata: 'Mari, ikut aku. Akan kutunjukkan kepadamu seorang yang belum pernah engkau lihat.' Ternyata, orang itu adalah Imam asy-Syafi'i."[14]

Imam Al-Humaidi رحمه الله juga berkata: "Ketika Ahmad bin Hanbal رحمه الله tinggal bersama kami di Makkah, ia ikut halaqah Sufyan bin 'Uyainah رحمه الله. Pada suatu hari, ia mengajakku ke suatu tempat, katanya: 'Di sana ada seorang laki-laki dari Quraisy yang mempunyai pengetahuan dan kemampuan berbicara yang sangat baik.' 'Siapa dia?' tanyaku. Imam Ahmad menjawab: 'Muhammad bin Idris asy-Syafi'i.' Pada saat di Irak, Imam Ahmad bin Hanbal pernah ikut di majelis pengajiannya. Karena ia selalu membujukku, akhirnya aku pun duduk bersamanya. Setelah mendengar uraiannya tentang beberapa masalah, kami bangun. 'Bagaimana pendapatmu?' tanya Ahmad bin Hanbal. Aku berusaha mencari-cari kesalahannya, dan itu semua saya lakukan karena ada kedengkian terhadap orang Quraisy. Maka Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله berkata: 'Rupanya engkau tidak senang jika ada pria Quraisy memiliki ilmu dan keindahan bahasa seperti itu. Dia membahas seratus masalah, tetapi salahnya hanya lima atau hanya sepuluh. Tinggalkanlah yang salah dan ambillah yang benar!'"[15]

Hingga hampir sembilan tahun Imam asy-Syafi'i رحمه الله mengadakan majelis pengajian di Makkah hingga beliau pergi ke Irak.



F.  PERJALANANNYA KE IRAK YANG KEDUA



Imam asy-Syafi'i رحمه الله untuk kedua kalinya pergi ke Irak pada tahun 195 H. Perjalanannya yang kedua ini berbeda dengan perjalanannya yang pertama. Jika yang pertama karena diusir, maka yang kedua ini karena kemauannya sendiri. Untuk kali kedua ini, namanya di Baghdad telah terlebih dahulu dikenal sebelum ia datang ke negeri tersebut. Para ulama besar, seperti Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, dan 'Abdur Rahman al-Mahdi telah menyebut-nyebut namanya. Sesampainya di Baghdad, Imam asy-Syafi'i رحمه الله mendapat tempat di tengah-tengah masyarakat. Orang-orang pindah belajar kepada beliau dan meninggalkan belajar ke ulama lain. Imam al-Baihaqi رحمه الله meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Tsaur رحمه الله, ujarnya: "Ketika Imam asy-Syafi'i datang ke Irak, datanglah kepadaku Husain al-Karabisi, ia dan aku condong kepada Ahlur Rayu (kelompok ulama yang lebih banyak menggunakan akal daripada dalil syar'i), katanya: 'Telah datang seorang laki-laki Ahli Hadits yang juga Ahli Fiqih. Mari kita ejek dia.' Maka kami pun berangkat menemui Imam asy-Syafi'i. Husain al-Karabisi mencoba menyampaikan sebuah pertanyaan. Maka Imam asy-Syafi'i رحمه الله terus menjawabnya dengan mengutip ayat-ayat al-Qur-an dan banyak hadits hingga akhirnya kami meninggalkan bid'ah yang kami lakukan (karena menggunakan rasio) dan ikut kepadanya.'"[16]

Di sanalah Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله berjumpa dengan Imam asy-Syafi'i رحمه الله, yang sebelumnya mereka pernah bertemu di Madinah. la mengambil ilmu darinya dan ia memujinya dengan berkata: "Dulu putusan-putusan kami, Ashhabul Hadits, didominasi oleh sahabat-sahabat Abu Hanifah. Putusan-putusan itu tidak dicabut sampai datang Imam asy-Syafi'i. Dia adalah orang yang paling paham tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Ia tidak puas dengan hanya mencari sedikit hadits."

Hasan bin Muhammad az-Za'farani رحمه الله berkata: "Kelompok Ashbabul Hadits (ulama yang banyak menggunakan hadits) tertidur cukup lama. Maka datanglah Imam asy-Syafi'i رحمه الله membangunkan mereka."

Imam Ibrahim bin al-Harbi رحمه الله bercerita: "Tatkala Imam asy-Syafi'i رحمه الله datang ke Baghdad, di Masjid Jami al-Gharbi terdapat 20 buah halaqah yang diadakan oleh para ulama Ahlur Ra'yu. Pada Jum'at kedua (setelah Imam asy-Syafi'i رحمه الله datang) yang tersisa hanya 3 atau 4 halaqah saja, padahal Imam asy-Syafi'i رحمه الله tidak menetap di Irak, melainkan ia bolak-balik antara Makkah dan Irak, yakni terkadang di Irak dan terkadang di Makkah." Al-Hasan bin Muhammad az-Za'farani رحمه الله berkata: "Imam asy-Syafi'i رحمه الله datang ke negeri kami pada tahun 195 H. dan menetap selama dua tahun. Setelah itu, ia pergi ke Makkah lalu datang lagi pada tahun 198 H. dan tinggal beberapa bulan dan setelah itu ia pergi ke Mesir."[17]

G.   KEPERGIANNYA KE MESIR



Setelah Imam asy-Syafi'i رحمه الله kembali ke Irak, terjadi beberapa peristiwa di ibukota kekhalifahan yang menjadikannya berencana meninggalkan Irak selamanya. Peristiwa paling besar yang menimpa adalah dikuasainya Khalifah al-Ma'mun oleh para ulama ilmu kalam sehingga merebaklah bid'ah dan matilah Sunnah. Terdengar olehnya bahwa Khalifah mulai terjebak ke dalam pembahasan-pembahasan ilmu kalam, sementara Imam asy-Syafi'i رحمه الله sendiri adalah seorang ahli dalam bidang ilmu kalam dan tahu orang-orangnya.

Imam asy-Syafi'i رحمه الله sangat mengetahui apa yang dihimpun dalam hati mereka (ahlul kalam), berupa kedengkian terhadap para ulama hadits (Ashhabus Sunnah) dan kebencian terhadap sunnah dan para penegaknya sehingga beliau pun mengetahui akibat urusan ini yang sangat berbahaya. Hal itu benar-benar terjadi ketika Khalifah al-Ma'mun dekat dengan para ulama ilmu kalam, bahkan ia menjadikan mereka sebagai penulis dan teman-teman bergaulnya sehingga mereka mendapat kedudukan istimewa yang mengakibatkan timbulnya masalah besar yang melanda dunia Islam. Di antaranya adalah dianggap halalnya darah para ulama (boleh dibunuh) dan diancamnya mayoritas mereka dengan hukuman penjara. Adapun fitnah yang paling besar adalah pendapat bahwa al-Qur-an adalah makhluk (bukan Kalamullah yang qadim) sehingga ummat Islam terus-menerus mengeluhkan bahaya ilmu kalam dan orang-orangnya. Inilah di antara faktor paling besar yang melatarbelakangi keinginan Imam asy-Syafi'i رحمه الله untuk pergi meninggalkan Irak dan pindah ke sebuah negeri yang belum dimasuki oleh filsafat. Negeri yang menjadi pilihannya adalah Mesir. Imam asy-Syafi'i رحمه الله memilih Mesir -wallaahu a'lam- karena madzhab Imam Malik رحمه الله tersebar di negeri itu, dan kita tahu bahwa Imam Malik adalah ulama yang tergolong kelompok Ahlul Hadits, dan Ahlul Hadits adalah orang yang paling jauh dari bid'ah dan ilmu kalam.[18]

Imam asy-Syafi'i رحمه الله memilih Mesir sekalipun sebenarnya hati kecilnya menolak. Ia tidak tahu mengapa harus memilih Mesir, tetapi pada akhirnya ia serahkan dirinya kepada putusan Allah عزّوجلّ. Ia pun pergi meninggalkan Irak dan seisinya demi mempertahankan aqidahnya.

Dalam kaitan ini, Imam asy-Syafi'i رحمه الله bertutur dalam rangkaian bait indah berikut:

لَقَدْ أَصْبَحَتْ نَفْسِي تَتُوْقُ إِلَى مِصْرَ * وَمِنْ دُوْنِهَا أَرْضُ الْـمَهَامَةِ وَالْقَفْرِ

فَوَ اللهِ لَا أَدْرِي أَلِلْفَوْزِ وَالغِنَى * أُسَاقُ إِلَيْهَا أَمْ أُسَاقُ إِلَى الْقَبْرِ

Jiwaku menjadi cenderung ke Mesir, namun aku harus menempuh tanah gersang nan tandus

Wallahi, aku tidak mengetahui untuk mendapatkan kekayaan atau meraih kebahagiaankah aku ke sana atau kepada kuburankah aku digiring?[19]

Sesampainya Imam asy-Syafi'i رحمه الله ke negeri Mesir, ia pergi ke Masjid 'Amr bin al-'Ash. Kemudian, untuk pertama kalinya ia berbicara di situ dan serta merta ia dicintai dan digandrungi orang-orang.[20]

Harun bin Sa'id al-Ayli berkata: "Aku tidak pernah melihat orang semacam Imam asy-Syafi'i رحمه الله. Saat datang ke Mesir, orang-orang berkata: 'Telah datang kepada kita seorang laki-laki Quraisy. Kami pun mendatanginya ketika beliau sedang shalat. Ternyata, kami belum pernah melihat seseorang yang shalatnya lebih baik daripadanya, juga wajah yang lebih tampan daripadanya. Manakala ia berbicara, kami pun belum pernah mendengar ada orang lain yang lebih indah bahasanya daripadanya. Karena itu, kami tertarik kepadanya.[21] Di sanalah ilmu dan keluasan pandangan Imam asy-Syafi'i رحمه الله terlihat. Hal itu ia dapatkan dari pengembaraannya, dan ia telah mengambil banyak pelajaran dari pengembaraan itu. Ia telaah kitab-kitab yang telah ditulisnya lalu ia perbaiki kesalahannya. Dia banyak meralat pendapat-pendapatnya dengan mengemukakan pendapat-pendapat barunya lalu ia pun kembali mengarang kitab. Sementara itu, tidak sedikit dari para ulama yang terpengaruh oleh ilmu, manhaj, dan ke-teguhannya mengikuti Sunnah. Mereka belajar dan berguru kepadanya setelah sebelumnya mereka fanatik terhadap satu madzhab, yakni madzhab Imam Malik bin Anas atau madzhab Imam Abu Hanifah.[22]



H.   WAFATNYA IMAM ASY-SYAFI'I رحمه الله



Di akhir hayatnya, Imam asy-Syafi'i رحمه الله sibuk berdakwah, menyebarkan ilmu, dan mengarang di Mesir, sampai hal itu memberikan mudharat bagi tubuhnya. Akibatnya, ia terkena penyakit wasir yang menyebabkan keluarnya darah. Tetapi, karena kecintaannya terhadap ilmu, Imam asy-Syafi'i رحمه الله tetap melakukan pekerjaannya itu dengan tidak mempedulikan sakitnya, sampai akhirnya beliau wafat pada akhir bulan Rajab tahun 204 H -semoga Allah عزّوجلّ memberikan rahmat yang luas kepadanya-.[23]

Al-Muzani عزّوجلّ berkata: "Tatkala aku menjenguk Imam asy-Syafi'i رحمه الله pada saat sakit yang membawa kepada kematiannya, aku bertanya kepadanya: 'Bagaimana keadaanmu, wahai, Ustadz?' Imam asy-Syafi'i menjawab: 'Aku akan meninggalkan dunia dan berpisah dengan para sahabatku. Aku akan meneguk piala kematian dan akan menghadap Allah serta akan bertemu dengan amal jelekku. Demi Allah, aku tidak tahu kemana ruhku akan kembali: ke surga yang dengannya aku akan bahagia atau ke neraka yang dengannya aku berduka. Kemudian, Imam asy-Syafi'i رحمه الله mengarahkan pandangannya ke langit dengan air mata yang bercucuran, seraya mengucapkan bait-bait sya'ir:





wahai, Ilah, Rabb makhluk semesta

kepada Engkau aku ajukan pengharapan

sekalipun aku seorang yang banyak melakukan dosa

wahai, Dzat pemilik karunia dan kemurahan

tatkala kalbuku keras dan jalan-jalanku sempit,

aku jadikan pengharapan dari-Mu sebagai tangga

dosa-dosaku menguasai diriku,

tetapi ketika aku bandingkan dengan pengampunan-Mu

wahai, Rabbku, jauh lebih besar pengampunan-Mu

Engkau senantiasa Pengampun segala dosa dan kesalahan

Engkau tetap Pemurah dan Pemberi karunia serta kemuliaan

maka andai tidak karena kemurahan-Mu

tidaklah bertahan si penyembah iblis

betapa tidak? ia telah memperdaya kekasih-Mu Adam

bila engkau memaafkan aku,

berarti engkau mengampuni si pelaku kezhaliman

yang penuh gelimang dosa dan kesalahan

dan andai Engkau murka kepadaku,

aku tidak akan putus harapan

sekalipun diriku dimasukkan ke Jahannam

karena dosa-dosa yang aku lakukan

sungguh besar dosaku,

baik yang sekarang maupun yang dahulu

namun, ampunan-Mu lebih besar dan lebih banyak
wahai, Dzat Pemberi maaf.[24]

[1]     Keterangan lebih lanjut ada di halaman berikutnya.

[2]     Abu Yusuf adalah Ya'qub bin Ibrahim bin Habib al-Anshari al-Kufi al-Qadhi, teman Abu Hanifah رحمه الله. Adz-Dzahabi berkata tentangnya: "Abu Yusuf adalah seorang mujtahid, al-'Allamah, dan ahli hadits. Lahir tahun 113 H. dan wafat tahun 182 H. Lihat kitab Siyar A'laamin Nubalaa' (VIII/535).

[3]     Lihat kitab Tawaalit Ta-siis, hlm. 130-132; juga kitab Bid'atut Ta'ashshub karya Muhammad 'led 'Abbasi.

[4]     Lihat kitab Manaaqibusy Syafi'i oleh Imam Baihaqi (I/158).

[5]     Manaaqibusy Syafi'i oleh al-Baihaqi (I/112).

[6]     Al-Intiqaa’ (hlm.97).

[7]     Al-Bidaayah wan Nihaayah (X/263).

[8]     Dari kisah ini dapat kita simpulkan bahwa generasi  salaf رحمهم الله selalu mendengar ucapan pemimpinnya sekalipun mereka dizhalimi dan dipenjara. Mereka tidak memandang bahwa mereka harus berontak kepadanya. Imam asy-Syafi'i رحمه الله misalnya, seperti pada kasusnya ini. Sekalipun dianiaya, ia tetap tidak mengucapkan kata-kata yang buruk dan menyakitkan. Untuk tambahan, silakan Anda baca kitab as-Sunnnah oleh Imam al-Khallal (1/73). Lihat pula ujian yang menimpa Imam Ahmad رحمه الله berkenaan dengan pendapat yang mengatakan bahwa al-Qur-an adalah makhluk.

[9]     Ibid. (I/159).

[10]    Ibid.

[11]    'Aadaabusy Syafi'i (hlm. 33-34).

[12]    Imam asy-Syafi'i dianggap seorang Arab badui/pedusunan karena, -wallaahu 'alam- beliau memakai pakaian seperti mereka atau karena bahasa Arabnya seperti mereka yang begitu fasih, dan hafal ucapan-ucapan mereka, wallaahu a'lam.

[13]    Tawaalit Ta-siis (hlm. 56).

[14]    Lihat kitab Sifatush Shafwah (II/250).

[15]    'Aadaabusy Syafi'i (hlm. 44).

[16]    Manaaqibusy Syafi'i (I/220).

[17]    Manaaqibul Baihaqi (I/220) dan Tawaalit Ta-siis (hlm. 72).

[18]    Lihat kitab Manaaqibusy Syafi'i oleh al-Baihaqi (I/463-465).

[19]    Diiwaanusy Syaafi'i (hlm. 47).

[20]    Manaaqibul Baihaqi (II/284).

[21]    Ibid. (II/284).

[22]    Ibid. (I/238).

[23]    Ibid. (II/291).

[24]    Manaaqibusy Syaafi'i oleh al-Baihaqi (11/293-294), 'Aadaabusy Syafi'i (hlm. 77), dan Diiwaanusy Syaafi'i (hlm. 78).

COBAAN YANG DIALAMI IMAM ASY-SYAFI'I رحمه الله



Setelah surat Panglima itu sampai ke tangan Khalifah Harun ar-Rasyid, Khalifah lalu mengirim surat kepada Gubernur Yaman agar mengusir orang-orang 'Alawiyyin. Maka mereka, di antaranya Imam asy-Syafi, digiring dalam keadaan terikat rantai. Imam asy-Syafi'i رحمه الله disiksa sepanjang jalan menuju Irak. Namun, tidaklah diragukan, pada kejadian-kejadian seperti ini Allah عزّوجلّ akan selalu menolong hamba-Nya yang suka mendekatkan diri kepada-Nya dan pada saat hamba itu berlindung kepada Rabb Jalla wa 'Ala.

Ketika rombongan yang disiksa telah sampai ke Irak, Imam asy-Syafi'i رحمه الله bersama rombongan dihadapkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid. Sejumlah riwayat yang maknanya berdekatan menyebutkan tentang pertemuannya dengan khalifah, kecuali ada satu riwayat dusta yang menyebutkan bahwa Imam Muhammad bin al-Hasan[1] dan Abu Yusuf[2] menyuruh khalifah Harun untuk membunuh Imam asy-Syafi'i.

Riwayat ini tertolak karena ketika Syafi'i masuk negeri Iraq, sekitar tahun 184 H, Abu Yusuf telah meninggal. Lagi pula tidak mungkin kedua orang alim tersebut yang memiliki keutamaan dan sifat wara' menganjurkan Harun ar-Rasyid untuk membunuh seorang yang telah dikenal sebagai orang alim. Riwayat-riwayat ini adalah kebohongan yang dihiasi oleh orang-orang yang fanatik terhadap madzhab tertentu dengan maksud agar dapat mencela para ulama dari madzhab lain, seolah-olah madzhab lain itu tidak berdiri di atas Islam. Ini adalah dampak negatif sikap fanatik terhadap madzhab yang telah menimpa ummat Islam. Orang yang membaca kitab-kitab madzhab akan menemukan keanehan-keanehan seperti kisah ini.

Semua itu menunjukkan kepada kita akan pentingnya kembali/ rujuk kepada al-Qur-an dan Sunnah serta membuang jauh perasaan fanatik. Jika tidak demikian, bagaimana mungkin kekuatan ummat disatupadukan. Namun, bukan di sini tempat menguraikan masalah yang sangat penting tersebut. Akan tetapi, keterangan ini memang harus disampaikan pada kesempatan ini.[3] Satu hal lagi yang menunjukkan kedustaan riwayat ini adalah pada riwayat-riwayat lain dikatakan bahwa Muhammad Ibnul Hasan justru membela asy-Syafi'i di hadapan Harun ar-Rasyid. Oleh sebab itu, ketika Allah menyelamatkan asy-Syafi'i (dari cobaan ini, -ed) beliau menekuni ilmu dari Muhammad Ibnul Hasan dan meminta ilmu darinya.[4]

Mari kita biarkan Imam asy-Syafi'i رحمه الله sendiri yang mencerita-kan kisahnya ketika berhadapan dengan Harun ar-Rasyid: "Kami dihadapkan kepada Harun ar-Rasyid sepuluh-sepuluh orang. Setelah larut malam, ia menyuruh kami berdiri seorang demi seorang. Kemudian, ia berbicara dari balik tabir dan memerintahkan untuk membunuh kami. Ketika sampai pada giliranku, aku berkata kepadanya: 'Wahai, Amirul Mukminin, aku adalah budak dan pelayanmu, Muhammad bin Idris asy-Syafi'i.' Ia tidak menanggapi, dan kembali memerintahkan: 'Tebaslah batang lehernya!' Aku kembali berkata: 'Wahai, Amirul Mukminin, aku ingin bicara, mohon dengarkan! Tanganmu yang terbuka dan kekuasaanmu yang kokoh, engkau pasti akan mendapatkan apa saja yang engkau inginkan dariku.' 'Bicaralah,' tukasnya. Maka aku berbicara: 'Wahai, Khalifah, sepertinya engkau menuduhku menyimpang dari ketaatan kepadamu dan condong kepada mereka. Oleh karena itu, aku akan memberikan perumpamaan kepada tuan berkenaan dengan diri tuan, mereka, dan aku. Apa yang dikatakan seorang Amirul Mukminin tentang seseorang yang mempunyai keponakan. Hanya ada dua keadaan:

1.  Salah seorang di antara keponakannya itu bergaul dengannya dan memasukkan dirinya dalam nasabnya dan menganggap ia sama dengannya dan hartanya haram diganggu olehnya, kecuali seizin dia. Begitu juga anak perempuannya haram diambil, kecuali dengan cara menikahinya. Selain itu, ia melihat bahwa apa yang berlaku baginya sama dengan apa yang berlaku bagi dirinya,

2.  Keponakannya yang lain menyangka bahwa ia adalah orang lain dalam nasab. Dia lebih tinggi, sedangkan orang tersebut adalah budaknya sehingga putrinya pun menjadi budak yang halal diambil tanpa harus melalui pernikahan sebagaimana hartanya halal diambil sesukanya.

Menurut engkau, wahai, Amirul Mukminin, kepada siapakah sepantasnya dia berwala'? Ini adalah perumpamaan antara tuan dan mereka ('Alawiyyin). Khalifah memintaku mengulanginya tiga kali, aku pun melakukannya dengan menggunakan redaksi yang berbeda-beda, tetapi maksudnya sama. Maka khalifah memerintahkan pegawainya untuk memenjarakanku."[5]

Dalam sebagian riwayat yang disampaikan olch Ibnu 'Abdil Barr رحمه الله disebutkan sebagai berikut: "Imam asy-Syafi'i رحمه الله bersama rombongan 'Alawiyyin masuk menghadap Khalifah Harun ar-Rasyid. Mereka menghadapnya satu per satu untuk diinterogasi, sementara yang lainnya menunggu dan mendengarkannya dari balik tabir.

Imam asy-Syafi'i  berkata: "Tibalah giliran seorang pemuda 'Alawi penduduk Madinah besertaku. Khalifah menginterogasinya: 'Engkaukah yang memberontak kepadaku dan menganggapku tidak patut menjadi khalifah?' Pemuda 'Alawiyyah itu menjawab: 'Audzubillah (aku berlindung kepada Allah), saya tidak pernah mengucapkan hal itu.' Maka ia pun diputuskan untuk dibunuh. Mendengar keputusan itu, si pemuda Alawi itu menukas: 'Kalau memang aku harus dibunuh, berilah aku kesempatan untuk menulis surat kepada ibuku di Madinah karena ia seorang tua renta dan tidak mengetahui berita tentang aku. Kemudian, ia pun dibunuh."

"Setelah itu, aku dipanggil, tutur Imam asy-Syafi'i. Sementara Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani duduk di samping khalifah. Setelah khalifah berkata kepadaku seperti yang ia katakan kepada pemuda 'Alawiyyah itu, aku menjawab: "Wahai, Amirul Mukminin, aku bukan suku Thalibi atau 'Alawi. Aku adalah laki-laki keturunan al-Muththalib bin 'Abdi Manaf bin Qushay. Aku aktif dalam bidang ilmu dan fiqih. Tuan al-Qadhi tahu siapa aku. Aku adalah Muhammad bin Idris bin al-'Abbas bin 'Utsman bin Syafi' bin as-Saib bin 'Ubaid bin 'Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin 'Abdi Manaf." "Engkau Muhammad bin Idris?" tanya Khalifah. "Ya, jawabku." Engkau rupanya orang yang pernah diceritakan oleh Muhammad bin al-Hasan." Kemudian, Khalifah Harun memandang Muhammad bin al-Hasan. 'Hai, Muhammad, apakah yang dikatakannya benar?' Muhammad bin al-Hasan menjawab: 'Ya, dia seorang 'alim yang langka.' Khalifah lantas berkata: "Kalau begitu, ia kuserahkan kepadamu sampai ada keputusan."[6]

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata: "Maka Imam asy-Syafi'i رحمه الله dibawa dengan dinaikkan ke atas keledai dalam keadaan terikat,menuju Baghdad pada tahun 184 H. Saat itu usianya 30 tahun. Kemudian, Imam asy-Syafi'i dihadapkan kepada Harun ar-Rasyid dan terjadilah percakapan antara keduanya, sementara Imam Muhammad bin al-Hasan duduk di samping Khalifah Harun dan memuji Imam asy-Syafi'i. Maka jelaslah bagi Harun ar-Rasyid, bahwa tuduhan yang ditujukan kepada Imam asy-Syafi'i tidaklah benar. Selanjutnya, Muhammad bin al-Hasan memberinya tempat kepada Imam asy-Syafi'i, sementara al-Qadhi Abu Yusuf setahun atau dua tahun sebelumnya telah wafat.[7] Asy-Syafi'i dimuliakan oleh Muhammad Ibnul Hasan dan asy-Syafi'i pun menimba ilmu darinya."

Inilah ringkasan dari riwayat-riwayat yang menyebutkan per-temuan Imam asy-Syafi'i رحمه الله dengan Khalifah Harun ar-Rasyid, yang menunjukkan adanya tuduhan Khalifah terhadap Imam asy-Syafi'i رحمه الله dan lepasnya beliau dari apa yang dituduhkan kepadanya. Riwayat-riwayat ini juga menunjukkan bahwa Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani رحمه الله telah mengucapkan kata-kata yang baik tentang Imam asy-Syafi'i dan Amirul Mukminin Harun ar-Rasyid telah mengampuni Imam asy-Syafi'i رحمه الله, bahkan memberinya sebagian harta.[8]



D.  MENDAMPINGI IMAM MUHAMMAD BIN AL-HASAN SETELAH SELAMAT DARI COBAAN



Setelah Allah عزّوجلّ menyelamatkan Imam asy-Syafi'i رحمه الله dari tuduhan itu, ia pun mendampingi Imam Muhammad bin al-Hasan رحمه الله untuk mengambil fiqih dan hadits Irak darinya. Ia menuliskan buku-bukunya dan membacakan kepadanya sampai ia (Muhammad bin al-Hasan) berkata: "Kesabarannya terhadapku seperti kesabaran unta, tidak ada pekerjaan baginya selain hanya mendengarkanku." Imam asy-Syafi'i رحمه الله sangat menghormati Imam Muhammad bin al-Hasan sekalipun antara keduanya sering berdebat dan berselisih pendapat.

Perselisihan keduanya telah terkenal karena madzhab Imam asy-Syafi'i adalah madzhab Ahlul Hadits, sedangkan madzhab Muhammad bin al-Hasan ialah madzhab Ahlur Ra'yi (madzhab yang mengedepankan akal). Seperti penulis katakan bahwa sekalipun Imam asy-Syafi'i berbeda pendapat, ia tetap memuji Muhammad bin al-Hasan رحمه الله: "Aku tidak pernah menjumpai seorang pria gemuk yang cerdas selain Muhammad bin al-Hasan."[9]

Pada kesempatan lain, ia berkata: "Aku tidak pernah melihat seseorang yang ditanya tentang suatu masalah yang harus dianalisa, kecuali kulihat pada wajahnya kebencian, kecuali Muhammad bin al-Hasan."[10]

Sekalipun Imam asy-Syafi'i sangat menghormati dan cinta kepada Muhammad bin al-Hasan, tetapi manakala pendapat Muhammad bin al-Hasan bertentangan dengan dalil, ia tidak segan-segan membantahnya. Oleh karena itu, setelah selesai halaqah dan Muhammad bin al-Hasan keluar, ia sering mengadakan diskusi dan berdebat dengan murid-murid Muhammad, tetapi dengan Imam Muhammad sendiri ia segan karena menghormati gurunya itu, kecuali setelah Imam Muhammad mengajaknya, barulah ia melakukan perdebatan dengannya. Itu terjadi berkali-kali, baik di hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid maupun di majelis Imam Muhammad bin al-Hasan sendiri. Sekalipun Imam asy-Syafi'i رحمه الله menuliskan kitab Muhammad bin al-Hasan, ia tidak menerima begitu saja pandangan yang ditulisnya itu, kecuali apabila sesuai dengan dalil, sedangkan yang tidak sesuai, ia bantah. Dalam kaitan ini, Imam asy-Syafi'i رحمه الله berkata: "Untuk memiliki buku Muhammad bin al-Hasan رحمه الله, aku menghabiskan uang sebanyak 60 dinar. Kemudian, aku mempelajarinya lalu aku tuliskan sebuah hadits di samping setiap masalah." Maksud beliau adalah untuk membantahnya."[11]

Inilah sikap generasi Salafush Shalih dari ummat ini dalam mengikuti dalil (syar'i) sekalipun harus bertentangan dengan ucapan syaikh atau gurunya. Oleh sebab itu, tinggilah derajat ummat ini dan menjadi majulah serta sunnah menjadi tersebar. Di antara penyebab utama kemunduran ummat ini adalah sikap fanatisme mereka yang pura-pura alim terhadap madzhab mereka meskipun menyelisihi dalil syar'i yang shahih dan jelas. Akhirnya, merebaklah bid'ah dan matilah Sunnah. Innaa lillahi wa inna ilaihi raji'un.



E.   KEMBALINYA IMAM ASY-SYAFI'I رحمه الله KE MAKKAH



Setelah Imam asy-Syafi'i رحمه الله memperoleh ilmu dari para ulama Irak, sebelumnya ia telah mendapatkan ilmu dari ulama Hijaz, ia merasa telah tiba saatnya untuk menyebarkan ilmu yang dimilikinya. Oleh karena itu, ia bertekad untuk pulang ke Makkah setelah namanya dikenal. Mulailah ia mengajar di Masjidil Haram tempat dahulu ia belajar menuntut ilmu dari para ulama yang mengajar di sana.

Pada musim haji, ribuan orang dari berbagai penjuru datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Mereka yang telah mendengar nama pemuda Quraisy yang ilmunya mengagumkan, bersemangat untuk mengikuti pengajiannya sehingga nama Imam Syafi'i pun semakin dikenal di berbagai negeri.

Pada kesempatan itu Imam asy-Syafi'i رحمه الله ditemui oleh banyak ulama. Mereka kagum terhadap keluasan ilmunya dan kekuatannya dalam menggunakan dalil serta keteguhannya mengikuti sunnah, juga kedalamannya dalam fiqih dan istinbath (penyimpulan) hukum. Mereka juga kagum terhadap ushul dan kaidah-kaidah fiqih yang telah dibuatnya yang semuanya bersumber dari al-Qur-an dan as-Sunnah. Ushul dan kaidah-kaidah itu kebanyakan belum pernah didengar oleh mereka. Di antara orang yang mendengar ilmu dari Imam asy-Syafi'i ketika itu adalah Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله, yang datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Imam Ahmad رحمه الله masuk ke Masjidil Haram untuk berjumpa dengan para ulama besar dan para pakar hadits, di antara yang masyhur dari mereka adalah Imam Sufyan bin 'Uyainah رحمه الله, syaikhnya Imam asy-Syafi'i.

Tatkala ia ikut pada halaqab Imam asy-Syafi'i, ia mendapati sesuatu yang tidak didapati pada halaqah yang lain. Ia memperoleh sesuatu yang baru selain riwayat hadits. Pada halaqah Imam asy-Syafi'i, ada kupasan fiqih dan kaidah-kaidahnya yang belum pernah didengarkannya. Akhirnya, Imam Ahmad meninggalkan halaqah yang lain yang dipimpin oleh para ulama besar. Kemudian, ia pun ikut halaqah Imam asy-Syafi'i رحمه الله. Muhammad bin al-Fadhl al-Farra' bercerita: "Aku mendengar ayahku berkata: 'Aku pergi haji bersama Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله. Aku tinggal dalam satu tempat bersamanya. Pada pagi hari kami keluar, dan sesampainya di masjid aku berkeliling mencarinya. Aku mendatangi majelis (halaqah) Ibnu 'Uyainah رحمه الله dan yang lainnya untuk mencarinya, tetapi ternyata aku malah menemukannya di halaqah seorang Arab pedusunan.[12] Aku berkata kepada Imam Ahmad رحمه الله: 'Hai, Abu 'Abdillah, mengapa engkau di sini, tidak di halaqah Ibnu 'Uyainah?' Imam Ahmad رحمه الله menjawab: 'Diamlah! Kalau tidak sempat mendengar hadits dengan sanad yang tinggi, kamu akan mendapatkannya dengan sanad yang rendah. Tetapi, jika engkau tidak mengambil ilmu orang ini, kita belum tentu mendapatkannya dari yang lain. Karena aku tidak melihat ada seorang yang lebih faqih tentang Kitabullah melebihi pemuda ini.' 'Siapa dia?' tanyaku. Imam Ahmad رحمه الله menjawab: 'Muhammad bin Idris.'"[13]

Dari Ishaq bin Rahawaih رحمه الله, ia berkata: "Ketika aku bersama Ahmad bin Hanbal di Makkah, ia berkata: 'Mari, ikut aku. Akan kutunjukkan kepadamu seorang yang belum pernah engkau lihat.' Ternyata, orang itu adalah Imam asy-Syafi'i."[14]

Imam Al-Humaidi رحمه الله juga berkata: "Ketika Ahmad bin Hanbal رحمه الله tinggal bersama kami di Makkah, ia ikut halaqah Sufyan bin 'Uyainah رحمه الله. Pada suatu hari, ia mengajakku ke suatu tempat, katanya: 'Di sana ada seorang laki-laki dari Quraisy yang mempunyai pengetahuan dan kemampuan berbicara yang sangat baik.' 'Siapa dia?' tanyaku. Imam Ahmad menjawab: 'Muhammad bin Idris asy-Syafi'i.' Pada saat di Irak, Imam Ahmad bin Hanbal pernah ikut di majelis pengajiannya. Karena ia selalu membujukku, akhirnya aku pun duduk bersamanya. Setelah mendengar uraiannya tentang beberapa masalah, kami bangun. 'Bagaimana pendapatmu?' tanya Ahmad bin Hanbal. Aku berusaha mencari-cari kesalahannya, dan itu semua saya lakukan karena ada kedengkian terhadap orang Quraisy. Maka Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله berkata: 'Rupanya engkau tidak senang jika ada pria Quraisy memiliki ilmu dan keindahan bahasa seperti itu. Dia membahas seratus masalah, tetapi salahnya hanya lima atau hanya sepuluh. Tinggalkanlah yang salah dan ambillah yang benar!'"[15]

Hingga hampir sembilan tahun Imam asy-Syafi'i رحمه الله mengadakan majelis pengajian di Makkah hingga beliau pergi ke Irak.



F.  PERJALANANNYA KE IRAK YANG KEDUA



Imam asy-Syafi'i رحمه الله untuk kedua kalinya pergi ke Irak pada tahun 195 H. Perjalanannya yang kedua ini berbeda dengan perjalanannya yang pertama. Jika yang pertama karena diusir, maka yang kedua ini karena kemauannya sendiri. Untuk kali kedua ini, namanya di Baghdad telah terlebih dahulu dikenal sebelum ia datang ke negeri tersebut. Para ulama besar, seperti Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, dan 'Abdur Rahman al-Mahdi telah menyebut-nyebut namanya. Sesampainya di Baghdad, Imam asy-Syafi'i رحمه الله mendapat tempat di tengah-tengah masyarakat. Orang-orang pindah belajar kepada beliau dan meninggalkan belajar ke ulama lain. Imam al-Baihaqi رحمه الله meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Tsaur رحمه الله, ujarnya: "Ketika Imam asy-Syafi'i datang ke Irak, datanglah kepadaku Husain al-Karabisi, ia dan aku condong kepada Ahlur Rayu (kelompok ulama yang lebih banyak menggunakan akal daripada dalil syar'i), katanya: 'Telah datang seorang laki-laki Ahli Hadits yang juga Ahli Fiqih. Mari kita ejek dia.' Maka kami pun berangkat menemui Imam asy-Syafi'i. Husain al-Karabisi mencoba menyampaikan sebuah pertanyaan. Maka Imam asy-Syafi'i رحمه الله terus menjawabnya dengan mengutip ayat-ayat al-Qur-an dan banyak hadits hingga akhirnya kami meninggalkan bid'ah yang kami lakukan (karena menggunakan rasio) dan ikut kepadanya.'"[16]

Di sanalah Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله berjumpa dengan Imam asy-Syafi'i رحمه الله, yang sebelumnya mereka pernah bertemu di Madinah. la mengambil ilmu darinya dan ia memujinya dengan berkata: "Dulu putusan-putusan kami, Ashhabul Hadits, didominasi oleh sahabat-sahabat Abu Hanifah. Putusan-putusan itu tidak dicabut sampai datang Imam asy-Syafi'i. Dia adalah orang yang paling paham tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Ia tidak puas dengan hanya mencari sedikit hadits."

Hasan bin Muhammad az-Za'farani رحمه الله berkata: "Kelompok Ashbabul Hadits (ulama yang banyak menggunakan hadits) tertidur cukup lama. Maka datanglah Imam asy-Syafi'i رحمه الله membangunkan mereka."

Imam Ibrahim bin al-Harbi رحمه الله bercerita: "Tatkala Imam asy-Syafi'i رحمه الله datang ke Baghdad, di Masjid Jami al-Gharbi terdapat 20 buah halaqah yang diadakan oleh para ulama Ahlur Ra'yu. Pada Jum'at kedua (setelah Imam asy-Syafi'i رحمه الله datang) yang tersisa hanya 3 atau 4 halaqah saja, padahal Imam asy-Syafi'i رحمه الله tidak menetap di Irak, melainkan ia bolak-balik antara Makkah dan Irak, yakni terkadang di Irak dan terkadang di Makkah." Al-Hasan bin Muhammad az-Za'farani رحمه الله berkata: "Imam asy-Syafi'i رحمه الله datang ke negeri kami pada tahun 195 H. dan menetap selama dua tahun. Setelah itu, ia pergi ke Makkah lalu datang lagi pada tahun 198 H. dan tinggal beberapa bulan dan setelah itu ia pergi ke Mesir."[17]

G.   KEPERGIANNYA KE MESIR



Setelah Imam asy-Syafi'i رحمه الله kembali ke Irak, terjadi beberapa peristiwa di ibukota kekhalifahan yang menjadikannya berencana meninggalkan Irak selamanya. Peristiwa paling besar yang menimpa adalah dikuasainya Khalifah al-Ma'mun oleh para ulama ilmu kalam sehingga merebaklah bid'ah dan matilah Sunnah. Terdengar olehnya bahwa Khalifah mulai terjebak ke dalam pembahasan-pembahasan ilmu kalam, sementara Imam asy-Syafi'i رحمه الله sendiri adalah seorang ahli dalam bidang ilmu kalam dan tahu orang-orangnya.

Imam asy-Syafi'i رحمه الله sangat mengetahui apa yang dihimpun dalam hati mereka (ahlul kalam), berupa kedengkian terhadap para ulama hadits (Ashhabus Sunnah) dan kebencian terhadap sunnah dan para penegaknya sehingga beliau pun mengetahui akibat urusan ini yang sangat berbahaya. Hal itu benar-benar terjadi ketika Khalifah al-Ma'mun dekat dengan para ulama ilmu kalam, bahkan ia menjadikan mereka sebagai penulis dan teman-teman bergaulnya sehingga mereka mendapat kedudukan istimewa yang mengakibatkan timbulnya masalah besar yang melanda dunia Islam. Di antaranya adalah dianggap halalnya darah para ulama (boleh dibunuh) dan diancamnya mayoritas mereka dengan hukuman penjara. Adapun fitnah yang paling besar adalah pendapat bahwa al-Qur-an adalah makhluk (bukan Kalamullah yang qadim) sehingga ummat Islam terus-menerus mengeluhkan bahaya ilmu kalam dan orang-orangnya. Inilah di antara faktor paling besar yang melatarbelakangi keinginan Imam asy-Syafi'i رحمه الله untuk pergi meninggalkan Irak dan pindah ke sebuah negeri yang belum dimasuki oleh filsafat. Negeri yang menjadi pilihannya adalah Mesir. Imam asy-Syafi'i رحمه الله memilih Mesir -wallaahu a'lam- karena madzhab Imam Malik رحمه الله tersebar di negeri itu, dan kita tahu bahwa Imam Malik adalah ulama yang tergolong kelompok Ahlul Hadits, dan Ahlul Hadits adalah orang yang paling jauh dari bid'ah dan ilmu kalam.[18]

Imam asy-Syafi'i رحمه الله memilih Mesir sekalipun sebenarnya hati kecilnya menolak. Ia tidak tahu mengapa harus memilih Mesir, tetapi pada akhirnya ia serahkan dirinya kepada putusan Allah عزّوجلّ. Ia pun pergi meninggalkan Irak dan seisinya demi mempertahankan aqidahnya.

Dalam kaitan ini, Imam asy-Syafi'i رحمه الله bertutur dalam rangkaian bait indah berikut:

لَقَدْ أَصْبَحَتْ نَفْسِي تَتُوْقُ إِلَى مِصْرَ * وَمِنْ دُوْنِهَا أَرْضُ الْـمَهَامَةِ وَالْقَفْرِ

فَوَ اللهِ لَا أَدْرِي أَلِلْفَوْزِ وَالغِنَى * أُسَاقُ إِلَيْهَا أَمْ أُسَاقُ إِلَى الْقَبْرِ

Jiwaku menjadi cenderung ke Mesir, namun aku harus menempuh tanah gersang nan tandus

Wallahi, aku tidak mengetahui untuk mendapatkan kekayaan atau meraih kebahagiaankah aku ke sana atau kepada kuburankah aku digiring?[19]

Sesampainya Imam asy-Syafi'i رحمه الله ke negeri Mesir, ia pergi ke Masjid 'Amr bin al-'Ash. Kemudian, untuk pertama kalinya ia berbicara di situ dan serta merta ia dicintai dan digandrungi orang-orang.[20]

Harun bin Sa'id al-Ayli berkata: "Aku tidak pernah melihat orang semacam Imam asy-Syafi'i رحمه الله. Saat datang ke Mesir, orang-orang berkata: 'Telah datang kepada kita seorang laki-laki Quraisy. Kami pun mendatanginya ketika beliau sedang shalat. Ternyata, kami belum pernah melihat seseorang yang shalatnya lebih baik daripadanya, juga wajah yang lebih tampan daripadanya. Manakala ia berbicara, kami pun belum pernah mendengar ada orang lain yang lebih indah bahasanya daripadanya. Karena itu, kami tertarik kepadanya.[21] Di sanalah ilmu dan keluasan pandangan Imam asy-Syafi'i رحمه الله terlihat. Hal itu ia dapatkan dari pengembaraannya, dan ia telah mengambil banyak pelajaran dari pengembaraan itu. Ia telaah kitab-kitab yang telah ditulisnya lalu ia perbaiki kesalahannya. Dia banyak meralat pendapat-pendapatnya dengan mengemukakan pendapat-pendapat barunya lalu ia pun kembali mengarang kitab. Sementara itu, tidak sedikit dari para ulama yang terpengaruh oleh ilmu, manhaj, dan ke-teguhannya mengikuti Sunnah. Mereka belajar dan berguru kepadanya setelah sebelumnya mereka fanatik terhadap satu madzhab, yakni madzhab Imam Malik bin Anas atau madzhab Imam Abu Hanifah.[22]



H.   WAFATNYA IMAM ASY-SYAFI'I رحمه الله



Di akhir hayatnya, Imam asy-Syafi'i رحمه الله sibuk berdakwah, menyebarkan ilmu, dan mengarang di Mesir, sampai hal itu memberikan mudharat bagi tubuhnya. Akibatnya, ia terkena penyakit wasir yang menyebabkan keluarnya darah. Tetapi, karena kecintaannya terhadap ilmu, Imam asy-Syafi'i رحمه الله tetap melakukan pekerjaannya itu dengan tidak mempedulikan sakitnya, sampai akhirnya beliau wafat pada akhir bulan Rajab tahun 204 H -semoga Allah عزّوجلّ memberikan rahmat yang luas kepadanya-.[23]

Al-Muzani عزّوجلّ berkata: "Tatkala aku menjenguk Imam asy-Syafi'i رحمه الله pada saat sakit yang membawa kepada kematiannya, aku bertanya kepadanya: 'Bagaimana keadaanmu, wahai, Ustadz?' Imam asy-Syafi'i menjawab: 'Aku akan meninggalkan dunia dan berpisah dengan para sahabatku. Aku akan meneguk piala kematian dan akan menghadap Allah serta akan bertemu dengan amal jelekku. Demi Allah, aku tidak tahu kemana ruhku akan kembali: ke surga yang dengannya aku akan bahagia atau ke neraka yang dengannya aku berduka. Kemudian, Imam asy-Syafi'i رحمه الله mengarahkan pandangannya ke langit dengan air mata yang bercucuran, seraya mengucapkan bait-bait sya'ir:





wahai, Ilah, Rabb makhluk semesta

kepada Engkau aku ajukan pengharapan

sekalipun aku seorang yang banyak melakukan dosa

wahai, Dzat pemilik karunia dan kemurahan

tatkala kalbuku keras dan jalan-jalanku sempit,

aku jadikan pengharapan dari-Mu sebagai tangga

dosa-dosaku menguasai diriku,

tetapi ketika aku bandingkan dengan pengampunan-Mu

wahai, Rabbku, jauh lebih besar pengampunan-Mu

Engkau senantiasa Pengampun segala dosa dan kesalahan

Engkau tetap Pemurah dan Pemberi karunia serta kemuliaan

maka andai tidak karena kemurahan-Mu

tidaklah bertahan si penyembah iblis

betapa tidak? ia telah memperdaya kekasih-Mu Adam

bila engkau memaafkan aku,

berarti engkau mengampuni si pelaku kezhaliman

yang penuh gelimang dosa dan kesalahan

dan andai Engkau murka kepadaku,

aku tidak akan putus harapan

sekalipun diriku dimasukkan ke Jahannam

karena dosa-dosa yang aku lakukan

sungguh besar dosaku,

baik yang sekarang maupun yang dahulu

namun, ampunan-Mu lebih besar dan lebih banyak
wahai, Dzat Pemberi maaf.[24]

[1]     Keterangan lebih lanjut ada di halaman berikutnya.

[2]     Abu Yusuf adalah Ya'qub bin Ibrahim bin Habib al-Anshari al-Kufi al-Qadhi, teman Abu Hanifah رحمه الله. Adz-Dzahabi berkata tentangnya: "Abu Yusuf adalah seorang mujtahid, al-'Allamah, dan ahli hadits. Lahir tahun 113 H. dan wafat tahun 182 H. Lihat kitab Siyar A'laamin Nubalaa' (VIII/535).

[3]     Lihat kitab Tawaalit Ta-siis, hlm. 130-132; juga kitab Bid'atut Ta'ashshub karya Muhammad 'led 'Abbasi.

[4]     Lihat kitab Manaaqibusy Syafi'i oleh Imam Baihaqi (I/158).

[5]     Manaaqibusy Syafi'i oleh al-Baihaqi (I/112).

[6]     Al-Intiqaa’ (hlm.97).

[7]     Al-Bidaayah wan Nihaayah (X/263).

[8]     Dari kisah ini dapat kita simpulkan bahwa generasi  salaf رحمهم الله selalu mendengar ucapan pemimpinnya sekalipun mereka dizhalimi dan dipenjara. Mereka tidak memandang bahwa mereka harus berontak kepadanya. Imam asy-Syafi'i رحمه الله misalnya, seperti pada kasusnya ini. Sekalipun dianiaya, ia tetap tidak mengucapkan kata-kata yang buruk dan menyakitkan. Untuk tambahan, silakan Anda baca kitab as-Sunnnah oleh Imam al-Khallal (1/73). Lihat pula ujian yang menimpa Imam Ahmad رحمه الله berkenaan dengan pendapat yang mengatakan bahwa al-Qur-an adalah makhluk.

[9]     Ibid. (I/159).

[10]    Ibid.

[11]    'Aadaabusy Syafi'i (hlm. 33-34).

[12]    Imam asy-Syafi'i dianggap seorang Arab badui/pedusunan karena, -wallaahu 'alam- beliau memakai pakaian seperti mereka atau karena bahasa Arabnya seperti mereka yang begitu fasih, dan hafal ucapan-ucapan mereka, wallaahu a'lam.

[13]    Tawaalit Ta-siis (hlm. 56).

[14]    Lihat kitab Sifatush Shafwah (II/250).

[15]    'Aadaabusy Syafi'i (hlm. 44).

[16]    Manaaqibusy Syafi'i (I/220).

[17]    Manaaqibul Baihaqi (I/220) dan Tawaalit Ta-siis (hlm. 72).

[18]    Lihat kitab Manaaqibusy Syafi'i oleh al-Baihaqi (I/463-465).

[19]    Diiwaanusy Syaafi'i (hlm. 47).

[20]    Manaaqibul Baihaqi (II/284).

[21]    Ibid. (II/284).

[22]    Ibid. (I/238).

[23]    Ibid. (II/291).

[24]    Manaaqibusy Syaafi'i oleh al-Baihaqi (11/293-294), 'Aadaabusy Syafi'i (hlm. 77), dan Diiwaanusy Syaafi'i (hlm. 78).

0 comments:

Post a Comment