EVALUASI BUKAN ILUSI (seri AYAH KEPALA SEKOLAH bagian 4)

EVALUASI BUKAN ILUSI (seri AYAH KEPALA SEKOLAH bagian 4)
by : bendri jaisyurrahman (twitter :@ajobendri)
 
Ini adalah tugas ayah yang berikutnya : evaluasi pengasuhan. Mungkin ada yang berpikir, banyak banget ya tugas jadi ayah? Udah capek cari nafkah, harus bahagiakan istri, mendidik anak sekaligus evaluasi pengasuhan juga. Duh tau gitu jadi jomblo aja deh. Hmmm…Beneran mau jadi jomblo aja? Ntar nyesel lho. Belum tau ya betapa deritanya jomblo yang tiap malam kesepian. Sampai tiap malam harus begadang karena tak ada yang menunggu di ranjang. Udah gitu kalau hujan senang banget basah-basahan sambil muter-muterin tiang. Untung gak kesetrum. Pas ngelihat ada teman yang sebar undangan nikah, sontak berteriak dalam hati “Giliran aku kapaaaan?” sambil nyakar-nyakar dinding kamar. Hehe..Lebay ah. Ditambah lagi saat ambil uang di ATM eh ada yang nyindir “ATM aja udah bersama. Kok kamu masih mandiri aja sih?” Jleb..jleb..Ngenes kan?

So, bersyukurlah. Bisa menikah bahkan dikaruniai anak adalah anugerah. Ingat! Berani ucap akad nikah, berarti siap tanggungjawab menjadi ayah. Maka, jalani peran ayah sebaik-baiknya. Gak usah terburu-buru seraya berharap peran ini bisa berlalu dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Itu namanya proklamasi bukan mendidik generasi.

Maka, kembali kepada tugas ayah sebagai kepala sekolah yaitu jangan bosan untuk mengevaluasi pengasuhan anak-anak kita. Dan evaluasi pun harus berdasarkan visi orangtua. Sulit rasanya mengevaluasi kalau visi misi aja gak ada. Bukannya evaluasi malah jadi ilusi. Yang ada malah nyalahin pasangan, “gara-gara elu sih!” Repot kan? Karena itu, rumuskan kembali visi kita sebagai orangtua. Dimana inti dari visi pengasuhan itu ada dua yaitu membebaskan mereka dari api neraka dan membawanya ke surga.

Karena surga menjadi tujuan, jelaslah bahwa orientasi akherat harus dijadikan standar evaluasi utama pengasuhan. Bukan lagi sekedar bagaimana anak lulus UN, jago main biola, masuk Universitas ternama dan jadi orang kaya. Bukan itu. Inti evaluasi adalah sejauh mana anak menjadikan akherat sebagai orientasi hidupnya.

Nabi Ya’qub mencontohkan. Di akhir kehidupannya, di saat ajal hendak menjemput, ia evaluasi pengasuhan anaknya dengan bertanya satu hal. “Apa yang kalian sembah setelah ayah wafat nak?”. Itu saja. Ya’qub tak bertanya “Berapa rumah yang akan kalian miliki?” Atau bertanya “Kamu punya koleksi batu akik apa aja?” Tidak sama sekali. Sebab, pertanyaan tentang ‘sesembahan’ anak adalah inti dari pengasuhan yang benar dalam Islam. Ini menunjukkan standar agama adalah standar utama yang harus jadi prioritas evaluasi pengasuhan.

Apalah artinya jika anak menjadi pengusaha sukses, namun baca quran aja gak beres. Begitu diminta membacakan quran pas ayahnya wafat, ia enggan. Yang dilakukan malah pasang MP3 player di samping jenazah. Dengan dalih bahwa yang membacakan langsung dari masjidil haram, Imam As Sudais atau Hani Ar Rifa’i. Alamak…

Lantas, bagaimana cara kita mengevaluasi pengasuhan anak-anak kita? Ibnu Jarir Ath Thobari pernah berujar : Dialog antar rakyat menunjukkan visi asli pemimpinnya. Hal ini beliau sandarkan kepada tiga khalifah di zaman dinasti umayyah : Sulaiman bin Abdul Malik, Walid bin Abdul Malik dan Umar bin Abdul Aziz.

Di zaman Sulaiman, pembicaraan rakyat senantiasa dimulai dengan kalimat “Anak udah berapa? Istri kok masih satu? Cucumu udah bisa apa?”. Semua tema gak jauh dari seputar keluarga. Setelah ditelusuri ternyata memang Sulaiman bin Abdul Malik menjadikan program keluarga sebagai program utama. Tak dibiarkan ada seseorang yang ngenes karena jomblo di masa itu.

Sebaliknya, di zaman Walid bin Abdul Malik obrolan rakyat mulai berubah tema. “Rumah udah berapa? Tanah punya berapa hektar? Dan pertanyaan sejenis seputar kekayaan. Dan setelah ditelusuri saat itu, Walid bin Abdul Malik memang dikenal sebagai pemimpin yang sangat concern dalam masalah kekayaan dan pembangunan. Maka rakyat pun terpengaruh oleh visinya.

Namun lihatlah di zaman Umar bin Abdul Aziz. Setiap obrolan antarrakyat selalu tentang urusan agama. “Kamu sudah hafal quran? Apakah kamu puasa hari ini? Hafalan kamu sudah berapa juz? Dan sebagainya. Sebab, Umar adalah pemimpin yang sangat perhatian dalam urusan akherat dan menjadikan agama sebagai inti pembicaraan.

Dari uraian di atas kita bisa ambil pelajaran dalam keluarga kita. Apa yang sering dibicarakan anak menunjukkan visi asli kita sebagai orangtuanya. Sebab anak ibarat rakyat, dimana orangtua adalah pemimpinnya. Jika anak lebih banyak bicarakan seputar makanan, itu mungkin karena ayahnya seorang penikmat wisata kuliner yang hobinya jajan. Atau kalau anak lebih banyak bicarakan isi uang tabungan, lagi-lagi karena ayahnya dikenal sebagai pemburu kekayaan. Lebih ekstrim lagi kalau anak selalu nagih pengen makan mie. Itu karena ayahnya selalu bahas poligamie. Eh gak nyambung ya? :D

Intinya, pasang telinga lebar-lebar. Dan dengarkan pembicaraan anak kita dari sekarang. Dari lisan mereka  lah kita bisa mengevaluasi pengasuhan kita. Jika mereka jarang bicarakan masalah agama, itu tanda pengasuhan belum berjalan sebagaimana mestinya. Membawa anak untuk kumpul bersama di surga bisa-bisa hanya impian belaka. Jika itu terjadi, maka jangan ragu untuk segera kenalkan visi ayah secara terbuka kepada anak. Contohnya dengan mengatakan“Kita masuk surga bareng yuk nak!”. Atau kalau ingin terdengar melankolik romantis, ucapkan kalimat ini kepada mereka. “Mungkin ayah tak bisa membawamu liburan ke eropa. Atau membawamu jalan-jalan menyusuri benua australia. Tapi ayah berjanji akan membawamu ke surga”. Dan anak pun menjawab “halah… bilang aja ayah lagi bokek” hehe.. Namanya juga usaha. Teruslah sosialisasikan visi surga kepada anak kita. Kelak mereka pun tau keseriusan kita dalam mengasuh mereka (bersambung)

0 comments:

Post a Comment