Hakikat Kebahagian
Orang yang bahagia adalah orang yang apabila memperoleh nikmat bersyukur; apabila memperoleh musibah, bersabar; dan apabila berbuat dosa, beristighfar.
Banyak pendapat saling berlainan dalam mendefinisikan makna kebahagian. Masing-masing memiliki kamus tersendiri sesuai pemahaman dan keyakinan pandangannya terhadap kehidupan, lingkungan , dan wawasan ilmunya. Pendapat mereka berkisar seputar harta, kenikmatan dan kesenangan; pengetahuan dan seni; hobi dan rekreasi; kebebasan dan bacaan; kemenangan dan kesuksesan; serta tuntunan-tuntunan hidup yang lain.
Di sisi lain, orang yang beriman dan beramal shalih adalah sebaik-baik makhluk. Neraca timbangan mereka dalam mengukur kehidupan yang bahagia adalah syariat yang suci. Hujjah mereka adalah wahyu Ilahi. Dalil perkataan mereka adalah risalah rabbaniyah yang diemban para Rasul dan dibawa para Nabi Shollohu A’laihi wa Sallam. Kebagian, menurut mereka adalah tauhid yang murni, yang tak tercemari noda syirik. Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.”
Iman yagn kuat kepada Allah, Alquran dan Rasul-Nya; sikap ridha terhadap hokum-hukum Allah dan tunduk kepada-Nya siertai dengan ketaatan tanpa tawar-menawar—yang dengannya mereka menjalankan apa yang dilarang--; bersbar terhadap ketentuan takdir di dalamnya; ridha dengan aoa yang dibagikan Allah untuk mereka; menerima hokum Allah yang berlaku atas mereka; memuji Allah atas karunia nikmat yang diberikan kepada mereka dan bersyukur atas hidayah kepada pemberinya, seraya mengharapkan balasan yang baik kepada Dzat yang menentukan dan memutuskannya.
Singkat kata, orang yang bahagia adalah orang yang apabila memperoleh nikmat bersyukur; apabila memperoleh msuibah, bersabar, dan apabila berbuat dosa, beristighfar.
Ketaatan akan menjadikannya konsisten terhadap wahyu dan sunnah Nabi; msuibah akan menjadikannya sabar—yang dengan itu beribadah dan mengharapkan pahala dari-Nya; sedangkan dosa-dosa akan membuatnya beristighfar dan meminta ampun pada Allah, serta menyertainya.
Niat seorang mukmin selau berada dalam kebaikan. Bangun dan tidurnya, makan dan minumnya, selalu diniatkan untuk emngharapkan pahala dari Allah Azza wa Jalla, sehingga seluruh aktivitasnya menjelma menjadi ibadah. Desah nafasnya sebagai ketaatan dan aktivitasnya sebagai taqorrub (pendekatan diri kepada Allah). Seluruh kegiatan dan amal ibadahnya adalah lillah (untuk Allah). Niat, perkataan, dan perbuatannya untuk Allah; daya dan upayanya karena pertolongan Allah; usaha dan ikhtiarnya semuanya dia pasrahkan kepada Allah; inabah, taubat, dari kembalinya kepada Allah; demikian pula mahabbah (kecintaan), wala’ (loyalitas) dan pemberiannya adalah karena Allah.
Susah Senang Sama Saja
Jika fasilitas duniawi dianugerahkan kepadanya, dia jadikan dunia itu untuk menjaga agamanya. Sebaliknya, jika fasilitas tersebut diambil darinya, jika dunia membelakanginya, dia justru memuji Allah karena telah menyelamatkannya dari fitnah, sehingga menjadi orang yang senang dan bahagia.
Jika Allah menganugerahkan pakaian baru, misalnya, dia memperlihatkan nikmat Allah tersebut, menyebut-nyebut karunina-Nya dan mengumumkan kemurahan hati-Nya atas pemberian itu.
Jika Allah memberinya pakaian using dan lusuh, dia tetao memuji Allah, tunduk dan merendahkan diri di hadapan-Nya, dan menganggapnya sebagi pemberian dari Allah. Karena, ia menganggap Allah telah menjauhkannya dari baju—yang mungkin akan—membuat dirinya angkuh, ujub dan sombong; dan Allah menjaganya dari suatu pakaian—yang mungkin—menyimpan benih kecongkakan dan ketakaburan. Dia tahu bahwa pakaian takwa adalah lebih baik dan selimut keshalihan adalah lebih elok serta lebih indah.
Jika dia menduduki satu jabatan, maka dia jadikan jabatannya sebagau jalan untuk meraih syurga, melakukan perbaikan, dan membrai manfaat kepada hamba-hamba Allah Azza wa Jalla lainnya. Dia tahu bahwa jabatan adalah ujian dari Allah, untuk mengetahui apakah pemiliknya bersyukur atas karunia tersebut atau justru dia mengingkarinya.
Jika badannya sehat, dia jadikan itu sebagai saranan berbuat kebaikan dan mencari bekal dengan amal ketaatan. Jika sakit, dia jadikan sakitnya untuk menghilangkan bekas-bekas pengaruh maksiat dan mengikis dosa-dosa. Dia merasa bahagia dalam setiap tempat persinggahan yang dilaluinya sepanjang umur, dan ridha dengan keadaan yang Allah turunkan padanya;
Kenakanlah bagi setiap keadaan, pakaiannya
Baik kenikmatannya ataupun kesengsaraannya
Di setiap keadaan, dia menginvestasikan musibah apapun yang datang untuk kebaikannya kelak. Dia orientasikan musibah apapun yang menimpa untuk mendekatkan diri kepada Allah; mengubah kerugiannya menjadi keuntungan, capek-lelahnya menjadi kesegaran. Jika kehilanganmata, dia mengharapkan gantinya dari Allah. Allah Azza wa Jall berfirman dalam sebuah hadist Qudsi:
“Barangsiapa diuji dengan hal yang dicintainya (yakni kedua matanya), lalu dia bersabar, maka Allah akan menggantikan keduanya dengan syurga.”
Jika Allah mengambil kekasihnya di dunia, maka dia meminta balasan pahalanya dari Allah. Allah Azza wa Jalla berfirman dalam sebuah hadist Qudsi:
“Tiadalah balasan dari sisi-Ku bagi hamba-Ku yang mukmin apabila Aku mengambil orang yang dicintainya (anak, saudara, teman) di dunia, kemudian dia bersabar danmengharapkan pahalanya, kecuali syurga.” (HR. Al-Bukhari dan Ahmad)
0 comments:
Post a Comment