Biografi Imam Syafií Bagian 1
NAMA IMAM ASY-SYAFI'I رحمه الله DAN NASABNYA
Imam asy-Syafi'i رحمه الله adalah Muhammad bin Idris bin al-'Abbas bin 'Utsman bin Syaffi'i bin as-Saib bin 'Ubaid bin 'Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin 'Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luay bin Ghalib, Abu 'Abdillah al-Qurasyi asy-Syafi'i al-Makki, keluarga dekat Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan putra pamannya.
Al-Muththalib adalah saudara Hasyim, ayah dari 'Abdul Muththalib. Kakek Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan kakek Imam asy-Syafi'i رحمه الله berkumpul (bertemu nasabnya) pada 'Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang ketiga.
Imam an-Nawawi رحمه الله berkata: "Imam asy-Syafi'i رحمه الله adalah Qurasyi (berasal dari suku Quraisy) dan Muththalibi (keturunan Muththalib) berdasarkan ijma' para ahli riwayat dari semua golongan, sementara ibunya berasal dari suku Azdiyah".
Imam asy-Syafi'i رحمه الله dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama Syafi' bin as-Saib, seorang Sahabat kecil yang sempat bertemu dengan Rasulullah صلى الله عليه وسلم ketika masih muda.
Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Nabi صلى الله عليه وسلم berada di sebuah tempat yang bernama Fusthath. Kemudian, datanglah kepadanya as-Saib bin ‘Ubaid beserta putranya yaitu, Syafi' bin as-Saib. Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم memandangnya dan bersabda:
مِنْ سَعَادَةِ الْـمَرْءِ أَنْ يُشْبِهَ أَبَاهُ
"Suatu kebahagiaan bila seseorang mirip dengan ayahnya,"
As-Saib bin 'Ubaid sendiri mirip dengan Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Pada Perang Badar ia memegang bendera Bani Hasyim bersama pasukan musyrikin. Setelah tertawan, ia menebus dirinya dan masuk Islam. Ketika ia ditanya: "Mengapa engkau tidak memeluk Islam sebelum engkau menebus dirimu?" Ia menjawab: "Tidak patut aku menghalangi kaum Mukminin (untuk menerima tebusan dariku) karena keinginan mereka yang begitu besar (agar aku menebus) diriku."
Imam al-Hakim رحمه الله meriwayatkan dalam Manaaqibusy Syafi’i dengan sanadnya bahwa as-Saib suatu ketika jatuh sakit. Maka Umar bin al-Khaththab رضي الله عنه mengajak para Sahabat untuk menjenguknya. "As-Saib adalah orang Quraisy yang paling murni nasabnya," ucap Umar رضي الله عنه. Ketika ia didatangkan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم bersama dengan al-Abbas رضي الله عنه, pamannya, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
هَذَا أَحِى، وَأَنَا أَحُوْهُ
"Ini saudaraku dan aku saudaranya."
GELAR IMAM ASY-SYAFI’I رحمه الله
Adapun gelarnya adalah "Naashirul Hadiits" (pembela hadits). Beliau mendapat gelar ini karena dikenal sebagai pembela hadits Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan komitmennya dalam mengikuti sunnah. Rincian rentang hal ini, insya Allah akan ada dalam pembahasan mengenai manhaj-nya dalam menetapkan aqidah.
Pembahasan Kedua:
KELAHIRAN DAN PERTUMBUHANNYA
A. TAHUN KELAHIRANNYA
Para sejarawan sepakat bahwa Imam asy-Syafi'i رحمه الله lahir pada tahun 150 H, yang merupakan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah رحمه الله.
Imam al-Hakim رحمه الله berkata: "Saya tidak menemukan adanya perselisihan pendapat bahwa Imam asy-Syafi'i رحمه الله lahir pada tahun 150 H, tahun wafatnya Imam Abu Hanifah رحمه الله. Hal ini mengisyaratkan bahwa Imam asy-Syafi'i رحمه الله menggantikan Imam Abu Hanifah رحمه الله dalam bidang yang digelutinya."
Ada pendapat yang mengatakan bahwa Imam asy-Syafi'i رحمه الله lahir pada hari meninggalnya Imam Abu Hanifah. Pendapat ini disinyalir tidak benar, tetapi pendapat ini bukan pendapat yang sangat lemah karena Abul Hasan Muhammad bin Husain bin Ibrahim رحمه الله dalam Manaaqibusy Syafi'i meriwayatkan dengan sanad jayyid bahwa Imam ar-Rabi' bin Sulaiman رحمه الله berkata: "Imam asy-Syafi'i lahir pada hari kematian Imam Abu Hanifah." Namun, kata yaum pada kalimat ini dapat diartikan lain karena secara umum, kata itu bisa diartikan masa atau zaman.
Menurut pendapat yang shahih, Imam Abu Hanifah رحمه الله wafat pada tahun 150 H. Akan tetapi, ada yang berpendapat bahwa beliau wafat pada tahun 151 H. Pendapat lainnya lagi menyatakan bahwa beliau wafat pada tahun 153 H. Hanya saja, saya tidak menemukan dalam buku-buku tarikh (sejarah) yang menyebutkan bulannya secara pasti. Dengan demikian, para sejarawan tidak ada yang berselisih sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa Imam asy-Syafi'i رحمه الله lahir pada tahun 150 H., namun tidak ada yang memastikan bulannya. Inilah yang menjadikan penuturan Imam ar-Rabi' bin Sulaiman tersebut lebih mungkin dapat dipahami jika dilihat tidak secara lahiriyah-nya, melainkan dengan cara ditakwil, yaitu kata yaum yang dimaksudkan adalah masa atau zaman. Wallaahu a'lam.
B. TEMPAT KELAHIRANNYA
Ada banyak riwayat yang menyebutkan tentang tempat kelahiran Imam asy-Syafi'i رحمه الله. Yang paling populer adalah beliau dilahirkan di kota Ghazzah. Pendapat lain mengatakan di kota 'Asqalan, sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa beliau dilahirkan di Yaman.
Disebutkan dalam riwayat Ibnu Abi Hatim رحمه الله dari 'Amr bin Sawad, ia berkata: "Imam asy-Syafi'i رحمه الله berkata kepadaku: "Aku dilahirkan di negeri 'Asqalan. Ketika aku berusia dua tahun, ibuku membawaku ke Makkah."
Sementara Imam al-Baihaqi menyebutkan dengan sanadnya, dari Muhammad bin 'Abdillah bin 'Abdul Hakim, ia berkata: "Aku mendengar Imam asy-Syafi'i رحمه الله berkata: "Aku dilahirkan di negeri Ghazzah. Kemudian, aku dibawa oleh ibuku ke "Asqalan."
Dalam riwayat lain, Ibnu Abi Hatim رحمه الله meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada putra saudaranya, 'Abdullah bin Wahb رحمه الله, ia berkata: "Aku mendengar Muhammad bin Idris asy-Syafi'i رحمه الله berkata: "Aku dilahirkan di Yaman. Karena ibuku khawatir aku terlantar, ia pun berkata: "Temuilah keluargamu agar engkau menjadi seperti mereka sebab aku khawatir nasabmu terkalahkan. Maka ibuku membawaku ke Makkah ketika aku berusia sepuluh tahun.'"
Imam al-Baihaqi رحمه الله memadukan riwayat-riwayat ini. Setelah menyebutkan riwayat putra saudaranya, "Abdullah bin Wahb, ia berkata: "Begitulah yang terdapat dalam riwayat, yaitu bahwa Imam asy-Syafi'i رحمه الله dilahirkan di Yaman. Akan tetapi, menurut pendapat yang shahih, ia dilahirkan di kota Ghazzah."
Selanjutnya al-Baihaqi berkata: "Ada kemungkinan yang ia maksudkan adalah tempat yang dihuni oleh sebagian keturunan Yaman di kota Ghazzah."
Lebih lanjut, al-Baihaqi رحمه الله berkata: "Seluruh riwayat menunjukkan bahwa Imam asy-Syafi'i dilahirkan di kota Ghazzah kemudian ia dibawa ke 'Asqalan lalu ke Makkah. Wallaahu a'lam.
Al-Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله berkata: "Tidak ada pertentangan antara satu riwayat dengan riwayat yang lain. 'Asqalan adalah kota yang sejak dahulu telah dikenal, sementara Ghazzah berdekatan dengan-nya. Jadi, bila Imam asy-Syafi'i mengatakan bahwa ia dilahirkan di 'Asqalan, berarti maksudnya adalah kotanya, sedangkan Ghazzah adalah kampungnya."
Ibnu Hajar رحمه الله kembali berkata: "Pendapat-pendapat ini dapat dipadukan, yakni bahwa Imam asy-Syafi'i dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di 'Asqalan. Ketika memasuki usia dua tahun, ibunya membawanya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang terdiri dari orang-orang Yaman karena ibunya dari suku Azdiyah. Ketika Imam asy-Syafi'i berumur sepuluh tahun, ia dibawa ke Makkah karena ibunya khawatir nasab (keturunannya) yang mulia itu lenyap dan terlupakan."
Dengan penggabungan riwayat-riwayat ini, hilanglah ketidakjelasan dan pertentangan antara seluruh riwayat. Wallaahu a'lam.
C. PERTUMBUHAN DAN KEGIATANNYA
DALAM MENCARI ILMU
Imam asy-Syafi'i رحمه الله tumbuh di negeri Ghazzah sebagai seorang yatim setelah ayahnya meninggal. Oleh karena itu, berkumpullah pada dirinya kefakiran, keyatiman, dan keterasingan dari keluarga. Namun, kondisi ini tidak menjadikannya lemah dalam menghadapi kehidupan setelah Allah عزّوجلّ memberinya taufik untuk menempuh jalan yang benar. Setelah sang ibu membawanya ke tanah Hijaz, yakni kota Makkah, menurut riwayat terbanyak atau tempat dekat Makkah, mulailah Imam asy-Syafi'i رحمه الله menghafal al-Qur-an sehingga ia berhasil merampungkan hafalannya pada usia tujuh tahun.
Imam asy-Syafi'i رحمه الله bercerita: "Aku hidup sebagai yatim di dalam asuhan lbuku. Ibuku tidak mampu membayar seorang guru untuk mengajariku. Tetapi, guru itu ridha dan senang jika aku menjadi penggantinya. Maka setelah aku menamatkan al-Qur-an, aku hadir di masjid dan berkumpul bersama para ulama untuk menghafal hadits atau masalah agama, sementara tempat tinggal kami terletak di Jalan Bukit al-Khaif. Aku menulis (apa yang aku dapatkan) di atas tulang. Setelah banyak, tulang-tulang (yang berisi tulisan itu) aku masukkan ke dalam sebuah bejana besar."
Imam asy-Syafi'i رحمه الله berkata: "Aku datang ke Makkah ketika berusia sepuluh tahun atau sekitar itu. Setelah aku bergabung dengan sanak saudara di sana dan ketika salah seorang dari mereka melihatku bersemangat untuk mencari ilmu, ia pun menasehatiku: 'Janganlah tergesa-gesa dalam (mempelajari) ilmu ini dan bersungguh-sungguhlah atas apa yang bermanfaat bagimu.' Maksudnya, bekerja mencari nafkah. Beliau berkata: "Maka kujadikan kelezatanku dalam menuntut ilmu sehingga Allah عزّوجلّ menganugerahkan rizki karenanya." Selanjutnya, ia berkata: "Aku miskin, tidak punya harta, dan aku belajar ketika masih kecil. Untuk mendapatkan ilmu, aku harus pergi ke perpustakaan dan menggunakan bagian luar dari kulit yang aku jumpai untuk menuliskannya."
Imam asy-Syafi'i begitu tekun belajar sehingga ia dapat menghafal al-Qur-an pada usia 7 tahun dan hafal kitab al-Muwaththa' (karya Imam Malik رحمه الله, -pent.) dalam usia 10 tahun. Pada saat ia berusia 15 tahun (ada yang mengatakan 18 tahun). Imam asy-Syafi'i berfatwa setelah mendapat izin dari syaikhnya yang bernama Muslim bin Khalid az-Zanji رحمه الله. Imam asy-Syafi'i رحمه الله menaruh perhatian yang besar kepada sya'ir dan bahasa sehingga ia hafal sya'ir dari suku Hudzail.
Bahkan, ia hidup bergaul bersama mereka selama sepuluh atau dua puluh tahun menurui satu riwayat. Kepada merekalah Imam asy-Syafi'i belajar bahasa Arab dan balaghah. Imam asy-Syafi'i belajar banyak hadits kepada para syaikh dan imam. Dia membaca sendiri kitab al-Muwaththa' di hadapan Imam Malik bin Anas رحمه الله dengan hafalan sehingga Imam Malik pun kagum terhadap bacaan dan kemauannya. Imam asy-Syafi'i رحمه الله juga menimba dari Imam Malik رحمه الله; ilmu para ulama Hijaz setelah ia mengambil banyak ilmu dari Syaikh Muslim bin Khalid az-Zanji رحمه الله. Selain itu, Imam asy-Syafi'i رحمه الله juga mengambil banyak riwayat dari banyak ulama, juga belajar al-Qur-an kepada Isma'il bin Qasthanthin (yang diriwayatkan, -ed) dari Syibl, dari Ibnu Katsir al-Makki, dari Mujahid رحمه الله, dari Ibnu 'Abbas رضي الله عنهما, dari Ubay bin Ka'ab رضي الله عنه dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
Pembahasan Ketiga:
PENGEMBARAAN IMAM ASY-SYAFFI رحمه الله
DALAM MENCARI ILMU
Setelah Imam asy-Syafi'i رحمه الله hafal al-Qur-an al-Karim di Makkah, beliau pun senang akan sya'ir dan bahasa sehingga ia selalu bolak-balik ke suku Hudzail untuk menghafal sya'ir-sya'ir mereka. Yang tampak adalah bahwa ia telah hafal banyak dari sya'ir-sya'ir mereka sejak kecil, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Abarri melalui jalur ar-Rabi' bin Sulaiman", ia berkata: "Aku mendengar Imam asy-Syafi'i berkata: 'Ketika aku berada di sebuah tempat belajar, aku mendengar seorang guru mengajarkan suatu kalimat lalu aku menghafalnya.' Katanya lagi: 'Aku keluar dari Makkah sesudah menginjak usia baligh. Setelah itu, aku menetap di tengah-tengah suku Hudzail di pedusunan. Aku mempelajari bahasa dan mengambil ucapan-ucapan mereka. Sungguh, mereka adalah kabilah Arab yang paling fasih bahasanya."
Imam al-Hakim رحمه الله meriwayatkan melalui jalur Mush'ab az-Zubairi, ia berkata: "Imam asy-Syafi'i membaca sya'ir-sya'ir Hudzail dengan cara dihafal. Kemudian, ia berkata kepadaku: 'Jangan kamu ceritakan ini kepada siapa pun.' Di permulaan malam, ia mengulang-ulang pelajarannya bersama ayahku hingga shubuh." Pada awalnya, Imam asy-Syafi'i belajar sya'ir, sejarah, dan peperangan bangsa Arab, juga sastra, dan setelah itu baru belajar fiqih. Yang mendorongnya mendalami ilmu fiqih adalah karena ketika Imam asy-Syafi'i pergi menaiki seekor binatang, ia pun membaca bait-bait sya'ir. Mendengar bacaan itu, berkata kepadanya sekretaris orang tuanya, Mush'ab bin 'Abdullah az-Zubairi: "Orang seperti kamu jika menjadi penyair akan hilang perangainya sebagai manusia, kecuali engkau belajar fiqih." Dari kejadian tersebut tergugahlah hati Imam asy-Syafi'i رحمه الله untuk mendalami fiqih. Sesudah itu, ia pun mendatangi Muslim bin Khalid az-Zanji, seorang mufti Makkah, dan berguru kepadanya. Selanjutnya, Imam asy-Syafi'i pergi ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik.
Diriwayatkan bahwa yang menyuruhnya mendalami fiqih adalah syaikhnya sendiri, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji رحمه الله, seperti disebutkan dalam riwayat al-Baihaqi melalui jalur Abu Bakar al-Humaidi رحمه الله, ia berkata: "Imam asy-Syafi'i bercerita: 'Aku keluar untuk belajar nahwu dan sastra. Kemudian, aku berjumpa dengan Syaikh Muslim bin Khalid az-Zanji رحمه الله lalu ia bertanya kepadaku: 'Hai, anak muda, dari mana asalmu?' Aku menjawab: 'Dari keluarga yang berasal dari Makkah.' 'Di mana kamu tinggal,' tanyanya lagi. Aku menjawab: 'Di Jalan Bukit al-Khaif.' 'Dari suku apa?' tanyanya lagi. 'Dari keturunan 'Abdi Manaf.' jawabku. Maka Syaikh Muslim berkata: 'Bagus, bagus. Allah عزّوجلّ telah memuliakanmu di dunia dan akhirat. Alangkah baiknya jika engkau mempelajari fiqih."
Apa pun yang melatarbelakangi Imam asy-Syafi'i رحمه الله mempelajari fiqih, keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa setelah menghafal al-Qur-an, Imam asy-Syafi'i رحمه الله pergi ke suku Hudzail di sekitar Makkah untuk mempelajari bahasa mereka dan menghafal sya'ir-sya'irnya. Setelah itu, ia mengubah orientasinya untuk mendalami fiqih dan berguru kepada seorang mufti Makkah, yaitu Syaikh Muslim bin Khalid az-Zanji رحمه الله. Sesudah Imam asy-Syafi'i banyak menimba ilmu darinya, barulah ia mengadakan pengembaraan pertama ke Madinah.
A. PENGEMBARAANNYA KE MADINAH DAN PERTEMUANNYA DENGAN IMAM MALIK BIN ANAS رحمه الله
Sebelum pergi ke Madinah untuk menemui Imam Malik, Imam asy-Syafi'i رحمه الله terlebih dahulu mempersiapkan diri dengan menghafal kitab al-Muwaththa'. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ia hafal kitab tersebut dalam usia sepuluh tahun. Riwayat lain menyebutkan ia hafal pada usia tiga belas tahun. Tentang perjalanannya untuk bertemu dengan Imam Malik, Imam asy-Syafi'i bercerita sebagai berikut: "Aku keluar dari Makkah untuk hidup dan bergaul dengan suku Hudzail di pedusunan. Aku mengambil bahasa mereka dan mempelajari ucapannya. Mereka adalah suku Arab yang paling fasih. Setelah beberapa tahun tinggal bersama mereka, aku pun kembali ke Makkah. Kemudian, aku membaca sya'ir-sya'ir mereka, menyebut peristiwa, dan peperangan bangsa Arab. Ketika itu, lewatlah seorang dari suku az-Zuhri, ia berkata kepadaku: 'Hai, Abu 'Abdillah, sayang sekali jika keindahan bahasa yang engkau kuasai tidak diimbangi dengan ilmu dan fiqih.' 'Siapakah orang yang patut aku temui?' tanyaku. Ia menjawab: 'Malik bin Anas, pemimpin ummat Islam.' Imam asy-Syafi'i رحمه الله berkata: 'Maka timbullah minatku untuk mempelajari kitab al-Muwaththa'. Untuk itu, aku meminjam kitab tersebut pada seorang laki-laki di Makkah. Setelah menghafalnya, aku pergi menjumpai Gubernur Makkah dan mengambil surat untuk aku berikan kepada Gubernur Madinah dan Imam Malik bin Anas.
Sesampainya aku di Madinah, aku memberikan surat tersebut kepada Gubernur. Setelah membaca surat itu, Gubernur Madinah berkata: 'Wahai, pemuda, aku lebih suka jalan kaki dari pedalaman Madinah ke pedalaman Makkah daripada harus menghadap Imam Malik. Aku tidak pernah melihat kehinaan itu hingga aku berdiri di depan pintunya.' Aku berkata kepadanya: 'Jika ia melihat gubenur yang menuju kepadanya, tentu dia akan siap hadir.' Gubernur Madinah menjawab: 'Tidak mungkin. Andaikan aku datang berkendaraan bersama pengawalku dalam keadaan berlumuran debu lembah, barulah ia mau melayani hajat kita.' Sesudah itu, aku pun membuat janji dengan Imam Malik pada waktu 'Ashar lalu berangkatlah kami kepadanya.
Setelah sampai di rumah Imam Malik, pria yang mendampingi kami mengetuk pintu. Keluarlah seorang budak wanita hitam. 'Beritahukanlah kepada tuanmu, bahwa kami datang dan berada di depan pintu,' tutur Gubernur Madinah. Budak wanita itu pun masuk. Setelah lama menunggu, budak itu keluar dan mengatakan kepada kami: 'Kalau punya masalah, harap ditulis, dan akan diberikan jawabannya secara tertulis pula. Bila ingin belajar hadits, diharap datang pada jadwal yang telah ditentukan. Karena itu, kembalilah!' Mendengar keterangan budak wanita itu, Gubernur Madinah berkata: 'Katakan kepada tuanmu, saya membawa surat dari Gubernur Makkah. Ada yang ingin dibicarakan berkaitan dengannya.' Budak wanita itu masuk kembali lalu keluar lagi dengan membawa kursi. Tidak lama kemudian keluarlah Imam Malik رحمه الله, seorang syaikh berbadan tinggi dan penuh wibawa mengenakan baju gamis (hijau).
Gubernur Madinah lantas menyerahkan surat itu. Kemudian, gubernur itu berkata: 'Pemuda ini seorang yang terhormat, baik akhlak dan kepandaiannya. Maka sampaikanlah hadits kepadanya.' Mendengar ucapan itu, Imam Malik mencampakkan surat tersebut lalu berkata: 'Subhanallah, ilmu Rasulullah صلى الله عليه وسلم diambil dengan cara-cara ini.' Aku melihat sang gubernur pun takut untuk bicara dengan beliau. Kemudian, aku maju dan memberanikan diri, aku berkata: "Semoga Allah memperbaikimu. Aku adalah keturunan Muththalib, semoga Allah tetap menjadikan tuan sebagai orang yang shalih.' Imam Malik bin Anas رحمه الله memandangku sesaat, seakan-akan ia mempunyai firasat, kemudian ia bertanya: 'Siapa namamu?' Aku menjawab: 'Muhammad.' Ia berkata: 'Hai, Muhammad, bertakwalah kepada Allah. Tinggalkanlah maksiat, maka engkau akan menjadi orang besar.' Aku menjawab: 'Ya, juga seorang yang diberi kemuliaan.' Imam Malik berkata: 'Datanglah besok, dan akan ada orang yang akan membacakan kitab itu (al-Muwaththa') untukmu.' Aku berkata: 'Sesungguhnya saya dapat menghafalnya."
Imam asy-Syafi'i melanjutkan: "Besoknya aku datang pagi-pagi dan mulailah aku membaca kitab itu. Namun, acapkali saya ingin menghentikan bacaan karena segan kepadanya. Imam Malik رحمه الله tertarik kepada bacaan dan i'rab saya yang bagus." Imam Malik berkata: 'Hai, anak muda, bacalah lagi.' Akhirnya, aku membaca kitab karangannya itu di hadapannya dalam beberapa hari saja. Setelah itu, aku tinggal di Madinah hingga Imam Malik bin Anas wafat."
Kemudian, Imam asy-Syafi'i menceritakan pengembaraannya ke negeri Yaman.
Yang jelas, tinggalnya Imam asy-Syafi'i رحمه الله di Madinah tidak terus-menerus, melainkan diselingi oleh kepulangannya ke Makkah untuk menengok ibunya. Dalam kepulangannya itu, ia menyempatkan diri mendengarkan sya'ir-sya'ir suku Hudzail dan belajar kepada ulama Makkah.
Sejumlah riwayat dan keterangan menyebutkan bahwa Imam asy-Syafi'i رحمه الله pergi ke Madinah dalam usia tiga belas tahun, yakni sekitar tahun 163 H. Kemudian, ia pulang pergi antara Madinah, Makkah, dan perkampungan Hudzail meskipun kebanyakannya ia menetap di Madinah mendampingi Imam Malik bin Anas رحمه الله hingga beliau wafat pada tahun 179 H. Setelah itu, barulah Imam asy-Syafi'i رحمه الله pulang ke Makkah sesudah memperoleh banyak ilmu dari Imam Malik. Maka mulailah nama dan keilmuannya terkenal, padahal umurnya pada saat itu baru 29 tahun. Pada fase ini Imam asy-Syafi'i telah berguru kepada Sufyan bin 'Uyainah, Muslim bin Khalid az-Zanji, Ibrahim bin Abu Yahya, dan Malik bin Anas رحمه الله di Madinah. Selain itu, ia pun belajar kepada ulama lainnya, sebagaimana dituturkan oleh Mush'ab az-Zubairi: "Imam asy-Syafi'i telah mengambil hampir semua ilmu yang dimiliki oleh Imam Malik bin Anas dan menghimpun ilmu para syaikh yang ada di Madinah."
B. PENGEMBARAANNYA KE YAMAN
Sekembalinya dari Madinah ke Makkah, Imam asy-Syafi'i رحمه الله sibuk dengan ilmunya. Sementara itu, jiwanya sangat gandrung terhadap ilmu sekalipun ia tidak mampu membeli kitab-kitab karena miskin. Begitulah sifat para ulama yang telah dianugerahi oleh Allah عزّوجلّ kelezatan meraih ilmu. Mereka tidak akan pernah merasa puas dengan ilmu yang dimilikinya. Rasulullah صلى الله عليه وسلم pun telah menyatakan hal itu dalam haditsnya:
مَنْهُوْمَانِ لَا يَشْبَعَانِ طَالِبُ الْـعِلْمِ وطَالِبُ دُنْيَا
"Dua orang yang rakus yang tidak pernah merasa kenyang: pencari ilmu dan pencari dunia."
Jiwa Imam asy-Syafi'i sangat haus akan ilmu ulama Yaman, sementara yang tersisa dari para ulama Yaman yang merupakan pemuka ulama adalah sahabat Ibnu Juraij , yaitu Hisyam bin Yusuf dan Mutharrif bin Mazin . Ibnu Juraij sendiri mengambii ilmu dari Imam 'Atha. Namun, karena tidak memiliki biaya cukup, Imam asy-Syafi'i رحمه الله tidak dapat pergi ke Yaman. Ia sendiri telah mendengar dari teman-teman dekatnya bahwa Yaman adalah gudang ilmu, baik ilmu firasat maupun ilmu lainnya sehingga ia berminat untuk berangkat ke negeri tersebut. Hal ini hanya diketahui oleh para sahabat dekatnya dan orang-orang yang bergaul dengannya.
Oleh karena itu, ketika ada seorang Thalibi menjadi pejabat di Yaman, ibunya mendatangi saudara-saudara Imam asy-Syafi'i, meminta agar memohon kepada pria tersebut untuk bersedia pergi bersama Imam asy-Syafi'i ke Yaman. Kemudian, ia pun menyetujuinya, tetapi ibu Imam asy-Syafi'i tidak mempunyai (bekal) yang dapat diberikan kepada Imam asy-Syafi'i. Maka ibunya pun menggadaikan rumah seharga 16 dinar kemudian uang itu diberikan kepadanya.
Imam asy-Syafi'i رحمه الله menceritakan kepergiannya ke negeri Yaman: "Aku berangkat dengan pria itu dengan biaya tersebut. Sesampainya di Yaman, aku diberi suatu pekerjaan. Karena kerjaku bagus, pekerjaanku ditambah. Ketika para pekerja Makkah pulang pada bulan Rajab, mereka pun memuji-mujiku hingga aku menjadi buah bibir di sana. Setelah itu, aku pulang dari Yaman. Ketika aku menghadap Ibnu Abi Yahya, yang aku pernah belajar kepadanya, aku pun mengucapkan salam. Dia mencelaku: 'Engkau belajar kepadaku, tetapi kemudian engkau bekerja? Ingat! Apabila sesuatu telah memasuki dunia seseorang, dia akan betah tinggal di sana. ' Mendengar ucapannya itu, aku pamit. Kemudian, aku menemui Sufyan bin 'Uyainah. Setelah aku mengucap salam, ia menyambutku lalu berkata: 'Informasi tentang-mu telah kudengar. Engkau dikenal orang banyak, apa yang engkau perbuat karena Allah Ta’ala akan kembali kepadamu. Sebaiknya engkau jangan berlebihan.' Imam asy-Syafi'i berkata: 'Nasihat Sufyan bin 'Uyainah ini lebih menggugah hatiku daripada nasihat Ibnu Abi Yahya.'"
Selanjutnya, Imam asy-Syafi'i رحمه الله menceritakan kepulangannya dari Yaman, sebagian kegiatannya di negeri itu, kegigihannya menegakkan keadilan, dan kesungguhannya dalam mencari ilmu sehingga namanya dikenal oleh banyak orang. Barangkali ia dibenci atas prestasinya itu oleh pecinta dunia karena mereka takut ia mendapat simpati dari orang-orang sehingga terjadi pertentangan di tubuh pemerintahan. Oleh karena itu, seorang panglima Khalifah Harun ar-Rasyid mengirim surat kepada Khalifah Harun ar-Rasyid yang isinya: "Orang-orang khawatir terhadap bahaya kaum 'Alawiyyin karena di kalangan mereka ada seorang pemuda yang bernama Muhammad bin Idris yang dengan lisannya dapat berbuat lebih berbahaya ketimbang pembunuh dengan pedangnya. Oleh karena itu, jika tuan memiliki kepentingan terhadap negeri Hijaz, asingkanlah mereka darinya." Maka Imam asy-Syafi'i رحمه الله diasingkan ke Irak dalam keadaan diikat tangannya bersama beberapa orang 'Alawiyyin.
Inilah sekilas tentang kepergiannya ke negeri Yaman. Cerita ini menunjukkan bahwa ketika ia menetap di Yaman, ia sempat pulang ke Makkah. Inilah yang menjadikan sebagian penulis berpendapat bahwa kepergiannya ke negeri Yaman dilakukannya berkali-kali. Pendapat ini bisa dibenarkan jika dilihat seringnya Imam asy-Syafi'i pulang ke Makkah, tetapi jika ditilik dari asal kepergiannya pertama kali, maka itu hanya satu kali, tidak berkali-kali. Yaitu, ia pergi dengan tujuan menuntut ilmu lalu karena seorang pejabat Yaman dari keturunan Thalibiyyin melihat Imam asy-Syafi'i رحمه الله butuh biaya untuk mencari ilmu, maka ia memberinya pekerjaan agar cita-citanya tercapai.
Ketika prestasinya baik, ia diberi pekerjaan tambahan, namun Imam asy-Syafi'i رحمه الله senantiasa mencari celah untuk meraih ilmu hingga akhirnya setelah terkenal, ia pun mendapat cobaan.
0 comments:
Post a Comment